Walhi menilai putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh yang memenangkan gugatan PT Kalista Alam sebagai tindakan ketidakpahaman majelis hakim terhadap urgensi penegakan hukum lingkungan.
Walhi pun mengeluarkan beberapa pandangan. Pertama, kesalahan terbesar dalam putusan ini, majelis hakim melupakan dasar pencabutan SK bukan hanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri (PPTUN).
“Harusnya, hakim juga melihat keputusan TUN yang lama bertentangan dengan Undang-Undang,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional dalam pernyataan kepada media, Jumat (3/5/13).
Kedua, keputusan TUN yang baru, dikeluarkan pejabat TUN yang sah, jadi tidak ada basis argumentasi keputusan itu harus dicabut. Ketiga, seharusnya gugatan PT Kalista Alam menunggu putusan MA, dan sepatutnya PTUN Banda Aceh mengesampingkan gugatan ini dan menunggu hasil MA. “Sesungguhnya di dalam UU PTUN perkara ini seharusnya final di pengadilan tinggi dan tidak perlu kasasi.”
Keempat, dalam konteks krisis lingkungan hidup, majelis hakim tidak memahami substansi dan urgensi perlindungan lingkungan hidup dan rakyat dengan pengeluaran SK pencabutan izin kepada PT. Kalista Alam.
Abetnego mengatakan, Walhi sebagai tergugat interven akan banding terhadap putusan PTUN Banda Aceh. “Kami mendorong Gubenur Aceh tidak menyerah dengan aktor perusak lingkungan.” Walhi berharap, Gubernur Aceh melakukan upaya hukum yang sama sebagai bagian komitmen pemerintah memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan masyarakat.
Pemerintah Aceh Pastikan Banding
Pemerintah Aceh pun memastikan banding atas putusan PTUN Banda Aceh ini. “Ini demi kemaslahatan umat, demi kepentingan lingkungan hidup di Aceh,” kata Kepala Biro Hukum Setdaprov Aceh, Edrian seperti dikutip dari Acehterkini.com, di Banda Aceh, Jumat(3/5/13).
Pemerintah Aceh tak main-mana dalam melestarikan lingkungan. Untuk itu, banding akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Pengacara Gubernur Aceh, Kamaruddin berpendapat sama akan segera banding.
Menurut dia, majelis hakim yang menangani perkara nomor 18/G/2012/PTUN-BNA itu tidak paham Undang-Undang No 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. UU ini sebagai dasar pertimbangan SK yang diterbitkan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah itu berlaku dalam jangkauan daerah wilayah Aceh.
“Aturan MA itu bersifat sektoral bahwa kewenangan mengeluarkan SK adalah Gubernur Aceh, jadi wilayah jangkauan berlaku SK itu adalah wilayah Aceh.” Berdasarkan UU MA itu, apabila SK dikeluarkan dan berlaku dalam wilayah jangkauan daerah tidak boleh di kasasi.”
Kamaruddin mengatakan, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengeluarkan SK nomor 525/BP2T/5078/2012 tentang pembatalan izin usaha perkebunan budidaya itu atas pertimbangan PTTUN Medan. Putusan PPTUN memerintahkan Gubernur Aceh mencabut izin IUP-B Kalista Alam.
“Pertimbangan hukum yang menyatakan Gubernur Aceh harus tunggu kasasi itu adalah pandangan yang sangat keliru. Harusnya PTUN Medan mengeluarkan penetapan PT. Kalista Alam tidak boleh mengajukan kasasi, apalagi tergugat II intervensi, saat Walhi Aceh menggugat Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.”
Dia mengatakan, secara proporsional, Mahkamah Agung seharusnya menolak permohonan kasasi tergugat II intervensi yaitu PT. Kalista Alam. Sedang tergugat I waktu itu Gubernur Aceh periode 2007-2012 tidak kasasi ke MA.
Pada 2 Mei 2013, majelis hakim PTUN Banda Aceh dipimpin Yusri Arbi memenangkan gugatan PT Kalista Alam terhadap SK pencabutan izin usaha perkebunan budidaya (IUP-B oleh Gubernur Aceh.
Dalam amar keputusan majelis hakim menyatakan, SK pencabutan izin usaha bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sebab, Gubernur mengeluarkan putusan yang belum berkekuatan hukum tetap karena perkara sedang proses pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung. Putusan Hakim juga memerintahkan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mencabut SK No. 525/BP2T/5078/2012 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya terhadap PT. Kalista Alam.