Jogja Makin Istimewa Dengan Tenaga Listrik Hijau dari Alam Raya

Ada hal yang tidak biasa akan anda jumpai jika anda berkunjung kampung nelayan di Pantai Baru, Srandakan, Bantul di Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan sekedar kapal yang berjajar disana, namun juga panel surya dan kincir angin berjajar rapi di areal kampung nelayan ini. Kincir angin dengan tinggi berkisar 15 meter terinstalasi sebanyak 33 turbin, dan 170 panel surya milik Pokja Poncosari diharapkan bisa menjadi sumber energi listrik ramah lingkungan yang semakin luas di masa mendatang. Saat ini, sebagian besar lampu-lampu di pinggir jalan di kawasan itu sudah menyala dengan bantuan energi matahari dan angin. Begitu juga dengan kios-kios pedagang yang ada di pesisir pantai semuanya menggunakan energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (PLTH). “PLTH ini adalah yang terbesar dan yang pertama di Indonesia,” kata Nu’man Rifa’i, Ketu Kelompok Kerja Eduwisata Energi Terbarukan Poncosari.

Di akhir April 2013 silam, warga desa tersebut berkolaborasi dengan Earth Hour Jogja membuat pertunjukan musik bertema “Energi Baru, Suara Baru” menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Felix Krisnugraha, selaku koordinator Earth Hour Jogja kepada Mongabay Indonesia mengatakan, pertunjukan ini dibuat untuk mempromosikan penggunaan energi terbarukan kepada masyarakat Yogyakarta. “Kami ingin menunjukkan bahwa energi terbarukan itu bisa digunakan untuk suatu pertunjukan musik modern yang membutuhkan energi listrik dalam pementasannya,” ungkap Felix.  Selain itu, kegiatan ini sebagai penutup peringatan Earth Hour yang berlangsung 23 Maret lalu dan peringatan Hari Bumi 22 April lalu. “Pemerintah harus segera beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, dan tinggalkan energi fosil (batubara dan migas),” sambung Felix dalam sambutannya.

Pagelaran musik kini bisa digelar dengan menggunakan energi terbarukan dari panel surya dan kincir angin yang ramah lingkungan lho. Foto: Tommy Apriando

Selama ini sebagian besar energi listrik berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbondioksida yang menjadi salah satu penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Dalam penelitian Greenpeace Indonesia, untuk PLTU di Batang Jawa Tengah saja, akan melepaskan emisi karbon hingga 10,8 juta ton per tahun. Selain itu, dampak dari pembakaran energi listrik yang bersal dari batubara  akan menghasilkan berbagai polutan beracun ke udara seperti NOx(Nitrogen Oksida), SOx (Sulfur Oksida), PM 2,5 (Particulate Matter) dan Merkuri. Polutan-polutan beracun inilah menyebabkan berbagai dampak serius bagi kesehatan bagi masyarakat.

Oleh karena itu, Nu’man rifa’i menambahkan, dengan adanya PLTH ini, energi listriknya saat ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat setempat yang lebih ramah lingkungan. Saat ini, energi PLTH digunakan masyarakat untuk memproduksi 1.000 kilogram es balok per hari, mengisi ulang AKI nelayan, untuk digunakan melaut, memompa air sumur renteng untuk kebutuhan petani di pesisir pantai, apalagi ketika pada musim kemarau tiba. “Selain itu, energi listrik yang dihasilkan juga digunakan untuk penerangan jalan umum,” kata Nu’man Rifa,i menjelaskan.

Proyek pembangunan PLTH sendiri dilakukan atas kerjasama Kementerian Ristek, Univesitas Gajah Mada (UGM), LAPAN, BAPPEDA dan beberapa instansi terkait lainnya. Sejauh ini PLTH memang belum sepenuhnya memuaskan. Beberapa persoalan yang terjadi misalnya, kecepatan angin yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik berkisar antara 3 – 12 meter/detik, akan tetapi, terkadang kecepatan angin di kawasan tersebut tidak sampai 3 meter/detik.  Hal ini menyebabkan, baling-baling kincir angin tidak mampu menghasilkan energi gerak yang cukup untuk menghasilkan energi listrik. “Hingga saat ini, listrik yang berhasil dipanen sudah cukup lumayan, yakni sekitar 800-900 KW dari kapasitas total yang mencapai 22.000 KW,” Nu’man menambahkan.

Kerajinan Masyarakat yang tergabung dalam Pokja energi Terbarukan Poncosari. Foto: Tommy Apriando

Surtini, seorang pedagang di pesisir pantai Baru senang dengan hadirnya PLTH ini. Menurutnya, kehadiran PLTH berdampak pada semakin bertambahnya pengunjung ke Pantai Baru. “Pemerintah bisa terus mengembangkan PLTH agar bermanfaat untuk semua kalangan,” kata Surtini.

Drs. Putut Indriyono dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM sekaligus, peneliti energi terbarukan mengatakan, kedepannya potensi Eduwisata dari energi terbarukan di Pantai Baru akan terus dimaksimalkan untuk mensinergikan energi yang ramah lingkungan ini bermanfaat untuk perekonomian masyarakat disekitar Pantai Baru. Adanya PLTH juga menjadi pembuktian bahwa energi terbarukan mampu digunakan untuk menunjang perekomian bagi masyarakat pesisir pantai dan juga membantu kebutuhan energi para nelayan untuk melaut. “Kita semua berharap energi yang ramah lingkungan ini, bisa diterapkan juga di berbagai daerah lain yang berdampak pada perekonomian yang baik pula nantinya,” kata pak Putut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,