Limbah Kimia Beracun Salah Satu Sumber Penyakit Utama di Negara Berkembang

Paparan bahan kimia berbahaya dari sisa-sisa limbah beracun lebih berpeluang menciptakan krisis kesehatan di masyarakat di beberapa negara berkembang dibanding disebabkan oleh beberapa penyakit yang disebabkan oleh nyamuk malaria dan polusi udara. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang menghimbau untuk sesegera mungkin membersihkan limbah beracun di negara-negara tersebut.

Dalam penelitian yang diterbitkan hari Sabtu 4 Mei 2013 silam di jurnal Environmental Health Perspectives, para peneliti mengalkulasi ‘angka kesehatan dari hilangya kehidupan’ terkait gangguan berbagai gangguan kesehatan, ketidakmampuan atau kematian dini manusia akibat terpapar limbah kimia dari 373 lokasi limbah beracun di India, Filipina dan Indonesia. Sekitar 8,6 juta orang diperkirakan beresiko terpapar bahan kimia beracun di lokasi-lokasi ini tahun 2010 silm, dan dengan mengalkulasi seberapa besar setiap individu terpapar bahan kimia ini, para peneliti bisa menentukan dampak terhadap kesehatan mereka.

Limbah beracun di Sungai Citarum, berpotensi sebarkan penyakit berbahaya bagi anak-anak dan warga yang mengonsumsinya. Foto: Greenpeace

Dari hasil kalkulasi para peneliti, muncullah angka 828.722 tahun angka hilangnya kesehatan dalam hidup terkait gangguan kesehatan, ketidakmampuan atau kematian dini -atau 828.722 tahun kehidupan yang disesuaikan- menurut temuan studi ini. Standar A disability-adjusted life year atau DALY ini adalah ukuran yang digunakan oleh WHO (World Helath Organization) untuk mengukur keseluruhan beban penyakit, dimana satu DALY mewakili hilangnya satu tahun yang setara dengan nilai kesehatan penuh. Di negara yang sama di dalam penelitian ini, malaria menyebabkan hilangnya DALY sebesar 725.000, sementara polusi udara di tahun 2008 menyebabkan hilangya 1,4 juta tahun, menurut Dr. Kevin Chatham-Stephens, peneliti kesehatan masyarakat dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai.

“Angka DALY yang diperkirakan di dalam studi ini secara potensial menempatkan dampak dari limbah beracun setara dengan penyakit-penyakit lain yang umum di masyarakat, seperti malaria dan polusi udara, yang juga menyebabkan tingginya angka hilangnya kesehatan,” ungkap Dr. Chatham-Stephens.

Timah dan kromium heksavalen adalah limbah utama yang ditemukan dalam studi ini, dan menyebabkan berbagai penyakit, ketidakmampuan dan kematian. Timah bisa menyebabkan kerusakan syaraf, gangguan pencernaan dan kerusakan jantung, dengan kandungan timah yang lebih tinggi di kalangan anak-anak akan menyebabkan rendahnya nilai kecerdasan dan meningkatnya kemungkinan cacat mental. Sementara kandungan kromium yang tinggi akan meningkatkan kemungkinan terkena penyakit kanker paru-paru.

“Penelitian ini menyoroti beberapa penyakit utama dan sebelumnya dianggap sebagai penyakit yang tidak diperhitungkan di negara berpendapatan rendah dan menengah,” ungkap Dr. Philip Landrigan, Dekan Kesehatan Global di Icahn School of Medicine dan salah satu penulis penelitian ini. “Langkah berikutnya adalah menargetkan langkah intervensi seperti pembersihan lokasi dan menekan paparan terhadap manusia di setiap negara dimana terdapt limbah kimia secara berlebihan.

Selain menemukan bahwa paparan limbah beracun menyebabkan resiko kesehatan serius bagi masyarakat, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa membersihkan lokasi tersebut akan menekan resiko ini secara signifikan. Dalam mengalkulasi dampak kesehatan dan hilangnya usia sehat, para peneliti mengasumsikan bahwa setiap individu yang tinggal di dekat lokasi tersebut secara otomatis terkena dampak seumur hidup mereka, dan sebagian besar negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tak memiliki program remediasi dari limbah beracun yang sudah mapan. Dengan membersihkan lokasi yang terpapar limbah beracun, maka diharapkan bisa menyelamatkan usia kesehatan masyarakat sebanyak 798.405 tahun, dan secara signifikan menekan resiko kesehatan bagi masyarakat.

Studi yang berjudul ‘The Burden of Disease from Toxic Waste Sites in India, Indonesia and the Philippines in 2010′ ini dipresentasikan oleh Dr. Chatham-Stephens di pertemuan tahunan Pediatric Academic Societies di Washington DC hari Senin 6 Mei 2013 silam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,