,

Suara dan Seruan dari Daerah Menanti Perpanjangan Moratorium

“Menghitung hari, detik demi detik…Masa kunanti apa kan ada.” Kutipan lirik lagu yang dibawakan Krisdayanti ini tampaknya senada dengan penantian banyak pihak akan keberlangsungan moratorium hutan dan lahan yang bakal berakhir 20 Mei 2013. Waktu tinggal menghitung hari, tetapi belum ada tanda-tanda Presiden SBY akan mengeluarkan instruksi Presiden (inpres) perpanjangan ini. Desakan datang dari berbagai pihak, baik di pusat maupun daerah.

Di Kalimantan Barat (Kalbar), sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak moratorium hutan dan lahan di Indonesia, segera dilanjutkan. Jika tidak, khawatir membuka peluang bagi pemanfaatan hutan menjadi ajang konsolidasi sumber daya finansial oleh berbagai aktor dalam persiapan momentum politik 2014. “Ini sangat rentan,”  kata M Hermayani Putera, Manajer Program Kalbar WWF-Indonesia, di Pontianak, Minggu(5/5/2013).

Dia mengatakan, komitmen moratorium itu sangat penting terlebih hingga saat ini, finalisasi RTRW masih belum selesai. Dari aspek spasial,  seperti ini menjadi masa sangat krusial. “Bisa kita lihat hasil akhir koordinasi antar-sektor terkait upaya mempertahankan hutan yang masih ada versus usulan melepaskan kawasan hutan untuk kepentingan berbagai sektor.”

Untuk itu, fungsi pemantauan hutan, baik oleh lembaga yang diberi mandat di tingkat pemerintahan maupun yang diinisiasi berbagai pihak di luar pemerintah, perlu diperkuat.

Hal senada dikemukakan Sekretaris Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalbar Agus Sutomo.  Dia menilai, pernyataan Menteri Kehutanan (Menhut) terkait komitmen moratorium itu tidak memiliki kekuatan apapun, selain hanya cuap-cuap. “Jika memang betul, Menhut harus bisa membuktikan pernyataan melalui tindakan lebih nyata melalui kebijakan Presiden RI,” ucap dia.

Menurut Sutomo, jika komitmen memperpanjang moratorium kawasan hutan ini terlambat, maka akan menjadi peluang investasi politik dari pemerintahan yang korup. “Mereka akan kembali menjarah hutan dan merusak kawasan hutan.

Hendrikus Adam, Koordinator Devisi Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat (Kalbar), mengatakan, Inpres Moratorium sesungguhnya perintah yang tidak wajib karena tidak ada kekuatan bersifat memaksa.

Namun, perpanjangan moratorium sebagai upaya penyelamatan ekologi khusus hutan dan manusia di sekitar kawasan itu, penting. Dengan moratorium ini, diharapkan tak hanya menekan deforestasi dan degradasi hutan—yang belum terlihat pada moratorium sesi pertama—juga penyelesaian konflik-konflik agraria. “Sampai saat ini  belum terlihat progres penyelesaian sengketa agraria yang menempatkan warga sebagai korban kebijakan pembangunan.

Suara meminta perpanjangan juga datang dari Koalisi LSM yang tergabung dalam Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK). Mereka mendesak pemerintah agar hutan alam di luar kawasan konservasi yang masih tersisa di Kalbar tetap dipertahankan. Mereka mengingatkan, kondisi hutan tanaman industri (HTI) di Kalbar berdasarkan data Balai Pemantauan Pemafaatan Hasil Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah X sudah mencapai 2.429.807 hektar.

Lalu, SK. 3803/Menhut-VI/BRPUK/2012 tentang penetapan peta indikatif pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, di Kalbar,  sudah ditetapkan seluas 827.614 hektar untuk HTI. Ke depan, Kalbar akan memiliki 3.257.421 hektar HTI. Angka ini 23 persen dari luas daratan Kalbarr. “Dari hasil analisis tutupan lahan pada kawasan yang dicadangkan Menhut, kawasan HTI masih banyak yang di hutan alam,” kata Baruni Hendri, juru bicara RPHK.

Selain pada hutan alam, HTI yang akan dikembangkan ada di tengah-tengah dan sekitar permukiman. Ke depan, harus menjadi perhatian pemerintah, baik provinsi dan kabupaten untuk tidak mudah memberikan rekomendasi pengembangan HTI. “Pemprov dan pemkab jangan mudah merekomendasi kawasan, terutama di lokasi yang masih memiliki hutan alam dan di tengah-tengah pemukiman. Ini dikawatirkan memicu konflik baik lingkungan maupun sosial,”  ujar Baruni.

Sulhani, Koordinator RPHK, menambahkan, hasil pantauan RPHK di beberapa lokasi HTI di Kalbar, masih ditemukan perusahaan yang mengabaikan aspek kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat di sekitar. “Walapun HTI itu legal, tapi aspek kelestarian masih dipertanyakan. Kita masih menemukan peredaran ilegal satwa yang dilindungi seperti orangutan dan bekantan yang dipicu pengembangan kawasan untuk HTI.”

Di Kalbar, masih ada hutan alam di luar kawasan konservasi yang memiliki nilai penting bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat. Untuk itu, RPHK mendesak pemerintah me-review kembali kriteria dan indikator dalam menentukan kawasan yang akan dikembangkan untuk pembangunan HTI di dalam SK. 3803/Menhut-VI/BRPUK/2012.

Di Sulawesi juga menyuarakan hal sama. Ahmad Pelor, Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) mendesak pemerintah segera memperpanjang  kebijakan moratorium ini. Menurut dia, moratorium semestinya tidak diukur dengan waktu dua tahun, empat tahun, atau lima tahun. “Moratorium diukur dengan hasil, yaitu tata kelola kehutanan membaik dan rehabilitasi kawasan-kawasan hutan kritis secara terencana, sistematis, serta melibatkan rakyat sekitar atau di dalam hutan.”

Ahmad Pelor mengungkapkan, Walhi Sulteng mendukung kebijakan moratorium pengeluaran izin baru di kawasan hutan. Namun, dalam konteks Sulteng atau Sulawesi, kebijakan ini, tidak disertai komitmen kuat dan pengawasan efektif pada level implementasi.

Akibatnya, kebijakan seperti tidak tidak menjadi acuan bagi pemerintah daerah. Terbukti, banyak aktivitas pertambangan mineral tetap berlangsung di kawasa hutan, seperti di Morowali bahkan sampai masuk dalam kawasan konservasi  yaitu Cagar Alam Morowali.

“Selain itu kami juga menduga, perusahaan perkebunan sawit, seperti PT Sawindo Cemerlang di Kabupaten Banggai, Sulteng, terus mengkonversi ilegal kawasan hutan menjadi perkebunan,” katanya kepada Mongabay, Jumat (3/5/13).

Dia mengatakan, jika ada jeda menuju waktu perpanjangan cukup mengkhawatirkan. Bisa jadi,  masa ini menjadi momentum bagi Kementerian Kehutanan buru-buru mengeluarkan izin pengelolaan hutan baru bahkan izin penggunaan kawasan hutan bagi pertambangan dan perkebunan skala besar.  “Apalagi kita tahu saat ini, hampir seluruh pemerintah daerah mengusulkan perubahan kawasan hutan, jika ditaksir angka mencapai jutaan hektar melalui revisi rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten dan kota.”

Senada diungkapkan Ketua Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo, Ahmad Bahsoan. Menurut dia, ada kecurigaan besar jika sampai 20 Mei belum ada perpanjangan. Sebab, ada permintaan pemerintah daerah yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan agar menyisakan waktu bagi pemberian izin pelepasan kawasan hutan.

Dalam konteks Gorontalo, kata Bahsoan, meski sudah ada enam perusahaan sawit yang beraktivitas di kawasan hutan di Kabupaten Pohuwato, namun ada empat kabupaten lagi yang bergairah mengurus izin investasi sawit. Empat kabupaten itu adalah Boalemo, Gorontalo Utara, Bone Bolango, dan Kabupaten Gorontalo. “Perusahaan skala besar ini pasti akan berusaha mencari celah agar bisnis sawit masuk Gorontalo dengan cara mengubah kawasan hutan.”

Keadaan ini sangat berbahaya, jika pemerintah daerah dan perusahaan skala besar sudah bekerja sama memuluskan rencana perubahan kawasan hutan dan lahan.  Untuk itu, dia mendesak pemerintah pusat segera memperpanjang moratorium hutan dan lahan.

Suara permintaan perpanjangan juga muncul dari Jawa Barat (Jabar). Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar mengatakan,  Inpres  Moratorium harus segera diperpanjang sebelum masa berlaku habis.  Jika tidak ada  perpanjangan waktu, pihak yang berkepentingan atas izin pengelolaan hutan akan menggunakan rentang waktu yang ada untuk mengobral izin. Akibatnyanya, masalah pengelolaan hutan akan makin bertumpuk dan kerusakan hutan terus bertambah.

Namun, dia juga mengoreksi Inpres penting yang sangat lemah dalam melindungi kawasan hutan. “Moratorium hanya terbatas pada penundaan penerbitan izin baru dan rentang waktu regulasi itu tergolong singkat, hanya dua tahun,” kata Dadan.

Untuk memperkuat Inpres,  moratorium harus berdasarkan capaian, misal, berapa banyak masalah pengelolaan hutan diselesaikan. Salah satu menyangkut proses perizinan yang melangkahi prosedur. “Kita nilai dua tahun tidak cukup dan tak menghasilkan apa-apa. Pada praktik meski tidak sebanyak sebelum moratorium, pemberian izin pengelolaan hutan masih marak.”

Jika dilihat, data statistik Kemenhut selama dua tahun ini, sudah ada izin-izin baru baik eksplorasi, eksploitasi maupun pelepasan kawasan hutan lindung. “Artinya dua tahun ini sangat kurang dari segi waktu.”

Menurut Dadan, moratorium boleh diberhentikan jika pemerintah telah mencapai capaian baik dalam menjaga hutan. “Antara lain, review dan penegakan hukum lingkungan bagi para pemegang izin yang melanggar aturan.” Perpanjangan moratorium saja tidak cukup. Pemerintah harus memperbaiki tata kelola hutan, lebih melindungi dan kontrol bagi masyarakat.

Senada dengan Dadan, Sekjen Forum Komunikasi Pecinta Alam (FKPA) kabupaten Bandung, Dani Dardani. Dia mengatakan, moratorium harus diperpanjang dengan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat. “Kalau hanya perpanjang moratorium ya percuma. Pemberdayaan masyarakat perlu karena penguasaan hutan oleh lembaga pemerintah awal kerusakan.”

Jika masyarakat dilibatkan akan tumbuh rasa memiliki dan menjaga hutan. “Pengelolaaan juga harus berhubungan dengan konsep-konsep konservasi yang sesuai masyarakat,” ucap Dani.

Upaya kerja sama erat antara pemerintah dan  masyarakat untuk bersama mengelola hutan seharusnya lebih intens.“Hutan di Jabar sekitar 600 ribu hektar kritis. Itu ulah Perhutani. Siapa dulu yang mengelola hutan? Kita lalu menyalahkan siapa lagi kalau bukan Perhutani. Bukannya hutan, air dan udara dikelola oleh negara dan diperuntukkan kesejahteraan rakyat, namun praktik berbeda.”  Laporan kontributor Kalimantan Barat, Sulawesi dan Jawa Barat.

Kerusakan Cagar Alam Morowali terjadi karena dibabat tambang. Tanpa prosedur perizinan dipenuhi perusahaan tambang bisa beroperasi dan merusak hutan. Moratorium perpanjangan diharapkan mampu memperbaiki sistem buruk seperti ini tak hanya menghentikan perizinan. Foto: Jatam Sulteng
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,