Laporan Walhi Kalteng ini dibuat dengan sampel di lima kabupaten lewat analisis data dan pemantauan lapangan pada 10 perusahaan yang beroperasi di wilayah-wilayah itu.
Walhi Kalimantan Tengah (Kalteng) mengeluarkan laporan berisi analisis data dan pemantauan lapangan terhadap 10 perusahaan di lima kabupaten yang masuk wilayah moratorium. Hasilnya, ditemukan banyak pelanggaran di lapangan seperti membuka kebun di lahan gambut, beroperasi tanpa ada pelepasan kawasan hutan, beroperasi di kawasan konservasi, tak memiliki Amdal sampai izin sudah dicabut tetapi tetap beroperasi.
Adapun lima kabupaten dan 10 perusahaan yang menjadi pantauan dalam riset ini yakni, Kabupaten Pulau Pisang (PT Karya Luhur Sejati, dan PT Suryamas Ciptaperkasa), Kabupaten Kapuas (PT Rezeki Alam Sejahtera, PT Sakti Mait Jaya Langit. Lalu, Kabupaten Katingan-Gunung Mas (PT Arjuna Utama Sawit, dan PT Kalimantan Hamparan Sawit), Kabupaten Kota Waringin Timur (PT Maju Aneka Sawit, PT Buana Artha Sejahtera dan PT Suka Jadi Sawit Mekar). Kemudian di Kabupaten Seruyan (PT Wanasawit Subur Lestari/WSLL II, dan PT Wanasawit Subur Lestari III).
Dalam laporan itu diperlihatkan profil perusahaan, sekaligus temuan-temuan fakta di lapangan, berikut aturan-aturan yang dilanggar plus sanksi yang sebenarnya bisa diberikan kepada mereka.
Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, mencontohkan, pada monitoring di 10 perusahaan, antara lain PT. Suryamas Cipta Perkasa dan PT. Rezeki Alam Sejahtera, PT. Sakti Mait Jaya Langit, PT. Arjuna Sawit Utama, dan PT. Buana Artha Sejahtera, beraktivitas tak prosedural. “Tetapi tidak ada upaya penegakan hukum,” katanya Rabu(8/5/13). Bahkan, ada PT Maju Aneka Sawit, sudah mengantongi hak guna usaha (HGU) tetapi belum pelepasan kawasan hutan.
Bukan itu saja, dari perusahaan-perusahaan sampel penelitian ini hampir semua berkonflik dengan masyarakat sekitar. “Mulai dari keberatan masyarakat atas pencemaran sungai, status hak tanah yang digusur tanpa ganti rugi bahkan kriminalisasi aparat hukum.”
Carut marut di Kalteng ini tak lepas dari ketidaksingkronan penggunaan ruang mengakibatkan banyak pelanggaran status kawasan hutan. Kasus didominasi aktivitas perkebunan sawit dan pertambangan. Keadaan tambah parah karena dukungan pemerintah daerah yang menerbitkan izin tanpa diikuti tanggung jawab pengawasan atas aktivitas perusahaan itu.
Padahal, aktivitas pemberian perizinan tak hanya administrasi tak prosedural juga mengarah pada tindakan korupsi. “Sebab, pemberian izin jelas-jelas berafliasi dengan kepentingan pejabat dan keluarga untuk mendapatkan keuntungan hingga menyebabkan kerugian negara.”
Menurut dia, salah satu kasus yang bisa jadi rujukan, termasuk yang dipantau dalam field monitoring adalah PT. Kharisma Unggul Centratama (KUC) dialihkan ke PT. WSLL di Kabupatan Seruyan, masuk Best Agro International Grup. Dalam beberapa dokumen rujukan, terjadi korupsi oleh Bupati Seruyan atas kewenangan memberikan izin lokasi dan Menteri Kehutanan memberikan izin pelepasan kawasan hutan tidak prosedural telah mengakibatkan kerugian negara.
Dokumen temuan BPK tahun 2009 pun jelas menyebutkan pelanggaran atas pencaplokan wilayah Taman Nasional Tanjung Puting oleh perusahaan itu. Fakta di lapangan, perusahaan masih terus melakukan pelanggaran, dengan membuka wilayah gambut yang masuk peta indikatif pemberian izin baru (PIPIB) dan berkonflik dengan masyarakat sekitar.
Pelanggaran-pelanggaran hukum sektor kehutanan di Kalteng, juga terjadi karena kurang maksimal pengawasan dari pemerintah daerah selaku pemberi izin. “Tanpa ada pengawasan, pelanggaran kehutanan tidak bisa ditindak sesuai peraturan berlaku.”
Tak hanya itu, faktor lain, penegakan hukum tidak dijalankan oleh aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan dan PPNS di Kemeterian dan Dinas. Bahkan, ada aturan-aturan yang memungkinkan mencabut perizinan tak prosedural dari level UU, peraturan menteri sampai surat edaran pejabat setempat tetapi tak mampu menjerat pelanggaran hukum perusahaan.
Mengenai kebijakan moratorium, karena tak ada sanksi tegas bagi pelanggar hingga tak memberikan efek jera. Juga tak ada kepastian hukum bagi wilayah yang seharusnya terlindungi itu. Pengecualian dalam Inpres, menjadi ‘peluang emas’ dan menjadi dominan terutama perizinan sawit yang sudah terbit sebelum kebijakan ini berjalan. Izin-izin yang diterbitkan bupati maupun rekomendasi gubernur di kawasan moratorium pun masih terjadi.
Dari berbagai permasalahan dan pelanggaran kehutanan itu, Walhi Kalteng mengeluarkan beberapa rekomendasi. Pertama, melanjutkan moratorium hutan dengan membangun prasyarat dan indikator lingkungan dan sosial dengan memperkuat status hukum dari kebijakan ini hingga memiliki sanksi tegas dan komitmen kuat dari berbagai pihak.
Kedua, penegakan hukum, dengan review perizinan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang jelas-jelas beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan di Kalteng. Penegakan hukum ini, bisa dimulai dengan mengidentifikasi perizinan –perizinan tidak prosedural, dan aktivitas ilegal di wilayah dan di luar moratorium.
Ketiga, konflik di Kalteng terhubung dengan wilayah-wilayah konsensi untuk perkebunan dan pertambangan tinggi. Untuk itu, perlu membangun mekanisme pengaduan yang jelas. Lalu mendorong satu skema resolusi konflik. Tujuannya, untuk menyelesaikan konflik yang ada dan meminimalisir ke depan.
Keempat, mengindentifikasi wilayah penting yang memiliki fungsi ekosistem dan sumber-sumber penghidupan rakyat seperti kawasan lindung masyarakat adat dan kawasan kelola masyarakat.
Jika ingin membaca Laporan Pemantauan Moratorium Kalteng, sila klik di sini