Sepuluh hari lagi Instruksi Presiden nomor 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut akan berakhir. Sejak ditetapkan pada tahun 2011 kebijakan presiden ini semakin lemah karena lobi dari perusahaan bahkan dari kementrian yang seharusnya mematuhi kebijakan ini sehingga mengakibatkan pengurangan jumlah hutan di Indonesia semakin cepat dan juga telah menimbulkan ketidakadilan dalam masalah tenurial, terutama hak kepemilikan pada kalangan masyarakat lokal dan adat.
Seperti yang baru-baru ini terjadi di daerah Kuala Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, provinsi Riau, 2 orang warga tewas dan seorang karyawan PT. Duta Palma I tewas akibat sengketa lahan. PT. Duta Palma yang sudah beroperasi sejak tahun 2008 di daerah Kuala Cenaku sebenarnya hanya mengantongi ijin konsesi seluas 5.000 hektar ini dalam kenyataannya telah membabat habis kawasan hutan seluas 40.000 hektar dimana di dalam kawasan tersebut terdapat kawasan seluas 27.000 hektar yang telah dijanjikan oleh bupati Indragiri Hulu untuk dijadikan kawasan hutan adat.
Kawasan ini juga tercantum dalam peta kawasan moratorium yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Menurut Mursyid, tokoh masyarakat desa Kuala Cenaku, total kawasan yang diserobot oleh PT. Duta Palma I dari desa mereka dan desa tetangga mereka, desa Kuala Baru seluas 1.800 hektar. Hingga saat ini desa Kuala Cenaku dan desa Kuala Baru masih belum berhasil meminta ganti rugi atas tanah desa mereka yang telah dikuasai oleh PT. Duta Palma I.
“Kehidupan masyarakat desa kami justru semakin melarat sejak perusahaan ini masuk ke desa kami” ujar Mursyid. Dulu, desa Kuala Cenaku merupakan lumbung padi kabupaten Indragiri Hulu tapi sekarang masyarakat desa sudah tidak menanam padi lagi karena lahan 1.800 hektar yang telah dikuasai oleh PT. Duta Palma I tersebut sebagian adalah areal persawahan mereka.
Masyarakat desa Kuala Cenaku pun tidak mau menanam padi lagi karena terlalu banyak hama yang menyerang padi sehingga biaya perawatan padi memakan biaya yang terlalu besar dan tidak sebanding dengan padi yang dihasilkan. Disamping menyerang padi hama juga menyerang tanaman kepala sawit yang ditanam oleh masyarakat desa. Serangan hama ini terjadi akibat hilangnya hutan.
Masyarakat desa Kuala Cenaku yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan seperti rotan dan damar pun kehilangan mata pencarian seiring dengan musnahnya hutan. Masyarakat desa juga sudah tidak bisa mencari ikan lagi di sungai akibat racun rumput yang dipakai untuk memusnahkan rumput di kawasan yang telah dibabat hutannya serta limbah pabrik CPO PT. Duta Palma I mencemari sungai mereka. Hingga saat ini baik pemerintah kabupaten Indragiri Hulu maupun pemerintah propinsi Riau belum menunjukkan tanda-tanda untuk menyelesaikan masalah ini.
Dari analisis peta moratorium versi kedua dengan versi ketiga yang dilakukan oleh Greenpeace menunjukkan terdapat pengurangan wilayah yang dilindungi moratorium, sementara banyak konsesi yang masih tumpang tindih dengan hutan yang seharusnya dilindungi oleh moratorium dan berlanjutnya ketidakseragaman atas definisi hutan serta lahan gambut.
Menurut Yuyun Indradi, Juru Kampanye Hutan Greenpeace ketika ditemui di Riau terdapat setidaknya 1,7 juta hektar lahan yang termasuk dalam kawasan hutan yang juga merupakan kawasan konsesi milik perusahaan HTI maupun perkebunanan sawit.
Meskipun kebijakan moratorium pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut ini sudah berjalan selama dua tahun namun belum menunjukkan adanya perbaikan kondisi hutan dan tata kelola kehutanan karena sampai saat ini banyak perusahaan yang masih melakukan penghancuran hutan dalam kawasan moratorium tersebut. “Moratorium ini harus diperpanjang dengan memperkuat penegakan hukum” tegas Yuyun dan menurutnya perpanjangan moratorium ini harus lebih berfokus pada perlindungan hutan dengan menerapkan moratorium hutan berbasis capaian.