Para ahli di Universitas New South Wales Australia telah menyusun sebuah sistem baru Daftar Merah yang mengidentifikasi ekosistem-ekosistem di dunia yang kini berada dalam resiko tinggi kerusakan. Daftar Merah ini, mirip dengan daftar yang dibuat oleh IUCN yang menyusun satwa-satwa yang terancam punah.
Dalam penelitian ini menggambarkan bagaimana kerangka kerja sistem penilaian ini dilakukan di 20 ekosistem di seluruh dunia, termasuk delapan diantaranya di Australia. Hasil penelitian ini dimuat dalam jurnal PLoS ONE tanggal 8 Mei 2013.
Dalam Daftar Merah Ekosistem Paling Terancam di Dunia ini tidak ada ekosistem dari Indonesia yang masuk daftar terancam, duapuluh ekosistem tersebut tersebar di Australia, Senegal, Kazakhstan, Jerman, Afrika Selatan, Madagaskar, Karibia, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Venezuela.
Berbagai ancaman dan kerusakan yang terjadi di dunia telah mengancam ekosistem dan hal ini memengaruhi keragaman hayati dan juga manfaat yang bisa diberikan alam kepada manusia, termasuk air bersih, pertanian dan produksi di sektor perikanan. “Hal ini adalah meruapakan salah satu tantangan paling besar dalam konservasi dan kita perlu sebuah sistem yang lebih baik untuk memahami resiko-resiko terhadap ekosistem yang ada di dunia, sehingga kita bisa membuat berbagai keputusan yang dengan basis informasi yang lengkap terkait pengelolaan lingkungan yang berada dalam koridor keberlanjutan,” ungkap Profesor David Keith dari Pusat Lahan Basah, Sungai dan Bentang Alam (AWRLC) di UNSW. “Kini untuk pertamakalinya, kita memiliki metode yang konsisten untuk mengidentifikasi berbagai ekosistem yang terancam di dunia, baik itu daratan, air bersih dan ekosistem kelautan.”
Hal senada juga disampaikan oleh penulis lain dalam penelitian ini, Profesor Richard Kingsford yang juga Direktur dari AWRLC. “Hal yang paling penting dalam penelitian ini adalah, hal ini memfokuskan perhatian terhadap berbagai habitat yang menjadi rumah bagi kergaman hayati kita. Kita bisa melihat hasil penelitian ini terhadap ratuan atau bahkan ribuan spesies yang hidup di dalam ekosistem tersebut.”
Metode ini melakukan evaluasi terhadap berbagai gejala resiko yang dihasilkan melalui berbagai proses degradasi di dalam ekosistem. “Perubahan dalam distribusi dalam sebuah ekosistem, kondisi fisik lingkungan dan komponen-komponen spesies bisa memberikan kita data terkait kerasnya resiko yang diterima oleh ekosistem tersebut, dan gejala ini sekarang bisa dinilai dengan sebuah sistem yang terstandarisasi kendati ekosistemnya berbeda-beda di berbagai wilayah,” ungkap Profesor Keith lebih lanjut.
Sistem yang baru ini, diakui oleh para ahli memang jauh lebih fleksibel, sangat memungkinkan untuk menangani berbagai sumber informasi, tergantung dari proses-proses pesifik yang terjadi yang menyebabkan kerusakan di dalam sebuah ekosistem. Dalam studi yang dimuat di jurnal PLoS ONE ini, implementasi sistem baru ini digambarkan dengan penerapan di dalam 20 studi kasus di berbagai jenis habitat, mulai dari hutan tropis, lahan basah, terumbu karang dan ekosistem utama dunia lainnya.
“Hasil penelitian ini adalah sebuah terobosan besar bagi tantangan dalam pengelolaan ekosistem menjadi lebih berlanjut. Kita bisa mengaplikasikannya secara global, nasional dan melewati batas-batas negara untuk menghasilkan laporan kondisi lingkungan yang konsisten,” sambung Dr. Emily Nicholson dari Pusat Keunggulan dalam Keputusan Lingkungan di Universitas Melbourne yang juga menulis dalam penelitian ini.
Sementara Dr. Jon Paul Rodriguez dari Pusat Ekologi dari Pusat Penelitian Sains di Institut Venezuela menyatakan bahwa kerangka kerja yang dibangun oleh tim ini menjadi sebuah langkah kritis menuju pembangunan lingkungan dan seluruh ekosistemnya yang juga menjadi program dari IUCN yang akan diselesaikan tahun 2025.
CITATION: David A. Keith, Jon Paul Rodríguez, Kathryn M. Rodríguez-Clark, Emily Nicholson, Kaisu Aapala, Alfonso Alonso, Marianne Asmussen, Steven Bachman, Alberto Basset, Edmund G. Barrow, John S. Benson, Melanie J. Bishop, Ronald Bonifacio, Thomas M. Brooks, Mark A. Burgman, Patrick Comer, Francisco A. Comín, Franz Essl, Don Faber-Langendoen, Peter G. Fairweather, Robert J. Holdaway, Michael Jennings, Richard T. Kingsford, Rebecca E. Lester, Ralph Mac Nally, Michael A. McCarthy, Justin Moat, María A. Oliveira-Miranda, Phil Pisanu, Brigitte Poulin, Tracey J. Regan, Uwe Riecken, Mark D. Spalding, Sergio Zambrano-Martínez. Scientific Foundations for an IUCN Red List of Ecosystems. PLoS ONE, 2013; 8 (5): e62111 DOI: 10.1371/journal.pone.0062111