,

Diduga Bocor dan Tak Tepat Sasaran, Kiara Desak Penghentian Program Coremap

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah menghapus program Coremap atau program pengelolaan terumbu karang karena diduga mengalami kebocoran penggunaan dana dan tak tepat sasaran. Dari hasil temuan BPK akhir 2012, program yang menggunakan sumber dana sebagian besar dari utang luar negeri di Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia, ini dinilai kurang efektif.

Untuk itu, Kiara telah mengirimkan surat kepada Presiden RI, Ketua DPR dan Ketua Komisi DPR, mendesak penghentian program ini.  Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Kiara, mengatakan, dalam surat itu Kiara mengingatkan Presiden, mengenai hasil temuan BPK November-Desember 2012, terhadap audit BPK terhadap program Coremap II ini. Laporan BPK itu mengenai hasil pemeriksaan kinerja atas perlindungan ekosistem terumbu karang tahun 2011 sampai semester I 2012 pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas dan kabupaten maupun kota di Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan, Tanjung Pinang dan Makassar.

Poin-poin laporan BPK itu antara lain menyebutkan, program Coremap II, pertama,  mata pencarian alternatif (MPA), dana bergulir dan pembangunan prasarana sosial belum seluruhnya sesuai desain yang diperlukan masyarakat pesisir. Kedua, BPK juga mengeluarkan indikator kondisi biofisik terumbu karang dan tutupan karang hidup dibandingkan setelah program itu tidak ada perubahan signifikan. “Bahkan mengalami penurunan dari kondisi awal,” kata Halim, awal Mei lalu.

Ketiga, pada beberapa kabupaten, program Coremap II tak memiliki dampak signifikan pada peningkatan kelestarian terumbu karang dan perbaikan pendapatan masyarakat. Keempat, pengelolaan dana bergulir tak menggunakan prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban semestinya. Kelima, pengawasan dan evaluasi atas penggunaan dan pelaporan dana bergulir tak dapat dipakai sebagai capaian program ini. Keenam, pelaporan dan penggunaan dana bergulir tak efektif dan tak optimal.

“Jadi kami meminta Presiden segera menghentikan program konservasi berbasis utang. Ini merugikan negara, tidak tepat sasaran, ditemukan manipulasi program, dan pelanggaran lain.”

Kiara mengidentifikasi penyelewengan dana Coremap II mencapai Rp11,401 miliar. Dana  ini, semestinya untuk keperluan masyarakat nelayan melalui implementasi empat komponen, pertama, pembangunan pusat informasi dan penyadaran perlindungan terumbu karang, kedua, penghidupan alternatif untuk mereduksi tekanan atas ekosistem karang. Ketiga, pengawasan kawasan konservasi laut dan keempat, sarana fisik seperti posyandu, bangsal kerja dan bangunan mandi, cuci, kakus (MCK).

Mida Saragih, Koordinator Devisi Pengelolaan Pengetahuan Kiara, dalam rilis kepada media menyebutkan,  penyebab umum kebocoran dana adalah kelemahan rencana dan panduan tata kerja Coremap.  Dia menjelaskan, tidak ada syarat-syarat calon penerima dukungan MPA dan program dana bergulir. Hingga, kelompok-kelompok instan yang belum tentu mewakili masyarakat nelayan bisa mengakses modal usaha.

Bahkan, kelompok-kelompok itu bisa mengakses program tanpa analisa kelayakan usaha dan pengembalian dana terlebih dulu. Program MPA dan dana bergulir pun menjadi tidak tepat sasaran. Padahal, dana itu semestinya untuk masyarakat pesisir yang bakal mengembangkan mata pencaharian alternatif.

Bukan itu saja. Lembaga keuangan mikro (LKM) yang bertugas menyalurkan dana tidak menjalankan aturan pengguliran modal MPA secara tertib. “Seperti memberikan dana melebihi batas ketetapan,” katanya, Jumat (10/5/13).  Belum lagi, pengawasan dan penagihan pengembalian dana berlangsung secara asal-asalan. LKM membiarkan pengurus hanya di tingkat desa untuk mengatasi kemacetan pengembalian dana.

Kondisi ini diperparah mekanisme pelaporan implementasi Coremap II tidak terbuka.  Mida mencontohkan, pada pengadaan alat radio sistem MCS Rp1,8 miliar, pelaporan penunggakan pengembalian modal usaha MPA di Kota Bintan dan Batam dengan total Rp6,712 miliar. “KKP sebagai pelaksana Coremap, semestinya memberi laporan pertanggungjawaban atas kebocoran-kebocoran dana itu secara terbuka kepada publik,” ucap Mida.

Dia mengaskan kembali, ke depan, proyek konservasi ekosistem pesisir dan laut yang didukung utang luar negeri tidak perlu ada. “Semua itu bakal memperkaya sekelompok oknum,  dan menjadi beban bagi perekonomian nasional.”

Pada periode 2004-2011, total anggaran Coremap II mencapai lebih dari Rp1,3 triliun. Sebagian dana berupa utang luar negeri dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Periode 2014-2019 menambah utang konservasi baru US$80 juta dari Bank Dunia dan ADB.

Coremap Berlanjut

Sementara itu, Coremap II telah berakhir dan tahun ini, akan ditindaklanjuti dengan Coremap III merupakan fase pelembagaan. Sudirman Saad, Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) KKP seperti dikutip dari mindcommonline.com mengatakan, kelanjutan program ini tidak terlepas dari penilaian tim independen, termasuk Bank Dunia yang menunjukkan pengelolaan terumbu karang program ini dinilai sangat baik.

Penilaian  itu, tidak terlepas dari acuan monitoring LIPI.  Dimana secara umum indikator biofisik yang dicapai program Coremap II meningkat. Penilaian ini sesuai data Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Terinci BPK 2012 sejalan data CRITC LIPI yang  menyatakan terjadi peningkatan tutupan karang hidup 71 persen dan di Daerah Perlindungan Laut (DPL) terjadi peningkatan 57 persen  Untuk populasi ikan karang, rata-rata mengalami peningkatan tiga persen di setiap lokasi.

Untuk tutupan karang di kabupaten terpilih cenderung tetap karena periode 2009 – 2010 isu perubahan iklim memberi dampak cukup signifikan pada ekosistem terumbu karang. “Ini ditunjukkan pemutihan karang  atau coral bleaching di beberapa wilayah perairan laut Indonesia, termasuk Coremap II seperti Wakatobi, Buton, Biak dan Lingga.”

Pencapaian positif, katanya, terlihat pada indikator sosial ekonomi. Berdasarkan hasil Implementation Completion Report (ICR) Coremap II, wilayah-wilayah program Coremap menunjukkan hasil memuaskan terhadap pentingnya konservasi ekosistem terumbu karang. Ini terlihat dari capaian indikator public awareness sebesar 75 persen melebihi 70 persen yang ditargetkan.

“Walaupun,  ada sebagian kecil alternatif usaha mengalami kemacetan dan berhenti produksi karena minim pengetahuan teknis usaha yang dikembangkan.”

Evaluasi Coremap II 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,