, ,

Banjir Rendam Aceh Dampak Pembangunan Abaikan Ekosistem dan DAS

Kayu-kayu hanyut dari Rawa Tripa, yang memenuhi Muara Sungai (Babah Kuala) Krueng Tripa,
bisa menyebabkan pendangkalan sungai hingga makin mengancam masyarakat
dan lingkungan sekitar. Tak heran, kala hujan turun, air mudah meluap.
Foto: Koalisi Penyelamat Rawa Tripa

Sejak awal April 2013, banjir sudah merendam desa-desa di Nagan Raya, Aceh. Ketinggian air mencapai dua meter. Hujan deras itu menyebabkan Sungai Krueng Sueneuam, Krueng Tripa dan Krueng Ie Mirah,  meluap. Bulan ini, sejak Jumat(10/5/13)-Sabtu(11/5/13), banjir juga melanda empat kabupaten lain, yakni Aceh Selatan, Singkil, Simeulue, termasuk Nagan Raya.  Bencana banjir ini, dinilai sebagai salah satu dampak pembangunan yang kurang memperhatikan pengelolaan ekosistem dan daerah aliran sungai (DAS).

Di Nagan Raya,  banjir terjadi di sejumlah desa di Kecamatan Darul Makmur,  dan di Kecamatan Tripa Makmur, kawasan yang tak jauh dari ‘hutan-hutan sawit.’ ”Tiga hari lalu, Darul Makmur dan Tripa Makmur juga banjir. Jadi ini sudah kedua kali. Semua daerah banjir ini berada di sekitar Rawa Tripa yang sudah rusak,” kata Indrianto, aktivis Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh, dikutip dari Kompas.com.

Desa-desa yang mengalami banjir terparah antara lain, Pulo Kruet dan Sumber Makmur di Kecamatan Darul Makmur, serta Desa Kutatrieng, Babah Lueng, Lubuk YPK dan Ujung Krueng di Kecamatan Tripa Makmur. Ketinggian banjir umumnya di atas satu meter.

Di Aceh Selatan, menyebabkan banjir di enam kecamatan, yakni Sawang, Kluet Tengah, Kluet Utara, Bhagia, Bakongan, dan Kluet Selatan. Ribuan rumah terendam mencapai ketinggian hingga 2,5 meter.

Data BNPB menyebutkan, ada enam kecamatan di Aceh Selatan terkena banjir ketinggian mencapai 2,5 meter. Di Kecamatan Kluet Tengah, 13 desa terendam dengan 6.630 jiwa terdampak, Kecamatan Bakongan 270 keluarga atau 1.070 jiwa dan di Kecamatan Sawang 65 keluarga.

Di Kabupaten Aceh Singkil, banjir merendam 16 desa dengan ketinggian satu meter pada Jumat (10/5/13). Sebanyak 4.569 keluarga atau 19.611 jiwa terdampak oleh banjir. Di Kabupaten Simeulue, banjir merendam 10 kecamatan mulai pukul 02.00. Banjir dipicu oleh hujan selama lima hari berturut-turut disertai angin kencang.

Tata Ruang Perhatikan DAS

Teuku Muhammad Zulfikar,  Direktur Eksekutif  Walhi Aceh mengatakan,  banjir yang melanda deberapa Kabupaten seperti Bireuen, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Pidie, Pidie Jaya dan Aceh Tengah, selayaknya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. “Bisa dipastikan selain hujan deras pemicu banjir, kerusakan hutan dan lingkungan di wilayah hulu menjadi faktor penyebab utama banjir besar di beberapa wilayah  itu,” katanya dalam pernyataan kepada media.

Menurut dia, perlu dipastikan seberapa banyak wilayah kawasan hutan yang masih baik dengan luasan kawasan berhutan yang cukup dan mampu menjadi penampung curah hujan menjadi air tanah. Dengan kehadiran banjir ini, patut diduga birokrasi memberi andil paling besar dibanding pihak lain. Sebab, birokrasi memiliki kewenangan dan kekuasaan besar menjalankan seluruh aspek kegiatan pada suatu wilayah terkait pengelolaan ekosistem serta DAS.

Zulfikar mengatakan, salah satu penyebab banjir karena upaya konservasi hutan dan DAS tak konsisten baik oleh masyarakat itu terlebih pemerintah daerah.  Termasuk,  dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh masih mengabaikan upaya terbaik dalam pengelolaan ekosistem dan DAS. Kenyataan, penataan ruang hanya memandang ruang sebagai wadah untuk hidup atau tempat tinggal dan kegiatan sosial ekonomi semata.

Bencana beruntun ini, katanya, dampak penggunaan tata ruang yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan. Hingga menyebabkan akumulasi kerusakan terus menerus dan menyebabkan bencana. Untuk itu, penyusunan RTRW Aceh,  penting melakukan pendekatan pada pengelolaan ekosistem, DAS dan bencana. “Hingga menjadi satu kesatuan ekosistem, managemen terpadu pengelolaan DAS dengan bertumpu pada bencana sebagai aspek penyusun tata ruang dapat diterapkan.”

Pengelolaan sumberdaya air, katanya, tidak dapat dilakukan dalam batas administrasi karena ekosistem tata air mengikuti geografis. Secara geografis, kabupaten dan kota merupakan bagian dari satu bahkan beberapa DAS. Ekosistem DAS dapat menjadi pemersatu daerah karena setiap daerah memiliki kepentingan sama.

Saat ini, hampir seluruh wilayah DAS di Aceh mengalami kerusakan sangat parah. Banyak faktor penyebab kerusakan  antara lain, masih marak berbagai aksi perambahan hutan dan penebangan kayu ilegal. Konversi lahan baik kepentingan perkebunan skala besar maupun pertambangan, baik tambang skala kecil seperti galian C maupun pertambangan besar, juga pemicu.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, Aceh memiliki sembilan wilayah sungai besar. Empat wilayah sungai menjadi kewenangan dan tanggungjawab Pusat, lima Pemerintah Aceh dan kabupaten maupun kota. Kesembilan wilayah sungai  itu antara lain, Wilayah Sungai Aceh – Meureudu (luas 23.550,34 Km), Sungai Jambo Aye (13.884,06 Km), Wilayah Sungai Woyla – Batee (5.621,00 Km), Wilayah Sungai Alas – Singkil (10.090,13 Km), Wilayah Sungai Pase – Peusangan (21.185,00 Km). Lalu, Wilayah Sungai Tamiang – Langsa  (12.970,90 Km), Wilayah Sungai Teunom – Lambeso (17.335,26 Km), Wilayah Sungai Baru – Kluet (10.004,70 Km),  dan Wilayah Sungai Pulau Simeulue (1.980,00 Km).

Data Balai Wilayah Sungai Sumatera I menyebutkan, ada sembilan wilayah sungai di seluruh Aceh mengalirkan air ke 481 anak sungai lain, salah satu terbesar Krueng Pase-Peusangan, membelah tiga kabupaten, yaitu Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tengah.  Induk Sungai Peusangan itu memiliki 107 anak sungai tersebar di wilayah pesisir timur Aceh.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,