Sejak berlayar dari Jayapura menuju Manokwari, Kapal Greenpeace Rainbow Warrior melego jangkar di perairan Teluk Cendrawasih. Mendokumentasikan keindahan dan kekayaan anekaragaman hayati bumi nusantara dan mempublikasikannya secara luas adalah tujuan tur mereka kali ini. Rabu pagi (15/5/2013) tim kampanye dibagi dua. Satu tim mendokumentasikan keindahan dasar laut dan tim lainnya menyaksikan keindahan pedalaman hutan di Kwatisore, Distrik Nabire, Papua Barat.
Hikmat Soeriatanuwijaya begitu antusias saat diberi tahu akan pergi ke hutan masyarakat adat di Desa Kwatisore. Maklum, selama bekerja di Greenpeace sejak awal 2009, yang ia saksikan hanyalah kerusakan hutan yang luar biasa di Sumatra dan Kalimantan.
Dengan menggunakan kapal karet yang terdapat di Kapal Rainbow Warrior, pada jam sembilan pagi waktu setempat, bersama aktivis Greenpeace lainnya dan videographer Barli Fibriady, mereka menyeberang ke daratan lalu melanjutkan perjalanan darat yang melelahkan. Mendaki bukit terjal, berlumpur dan kadang menemui binatang yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. “Hati-hati ini ada ular kecil tapi berbahaya dan bisanya mematikan,” kata pemandu lokal ketika seekor ular kecil warna abu-abu sepanjang 20 sentimeter melintas di depan mereka. Uniknya ular itu berkaki tapi bukan salamander. “Saya tidak tahu jenis dan namanya,” ujar Hikmat kepada Mongabay Indonesia.
Satu jam berikutnya, mereka tiba di Desa Kwatisore dan disambut kepala desa Mathias Numberi dan sejumlah tetua masyarakat. Setelah berbincang singkat lalu mereka menuju hutan adat tidak jauh dari pemukiman masyarakat.
“Hutan-hutan ini terletak tepat di belakang rumah-rumah kami dan itulah sumber kehidupan kami. Yang paling penting adalah hutan memberi kami air. Jika hutan tidak ada, maka tidak akan ada air bersih untuk kami. Dan masyarakat di sini menghidupi diri mereka dari hutan.”kata Mathias.
Kami pun tertegun diam. Menurut Hikmat, selama di Indonesia, Greenpeace telah berkampanye untuk menyerukan pentingnya melindungi hutan dengan mendesak pemerintah melaksanakan peraturan yang bisa memastikan perlindungan hutan. Pihaknya juga berkampanye mendesak pihak industri untuk menghentikan praktik merusak mereka dan mengubahnya menjadi bisnis yang lebih berkelanjutan dengan tidak terlibat dalam deforestasi.
“Sebagian besar kami sangat akrab dalam ide dan konsep, tapi masyarakat di Kwatisore justru hidup bersama gagasan ini bertahun-tahun, melindungi hutan mereka sejak berdirinya desa pada tahun 1967. Alasan mereka sangat sederhana dan jujur: Karena hutan memberi kami kehidupan!,” ujar Hikmat.
Seperti kata penduduk desa, jika tidak ada hutan yang tersisa maka tidak akan ada air bagi mereka. Mungkin hanya akan ada bencana seperti banjir atau longsor karena rumah mereka tepat berada di bawah perbukitan. Jika tidak ada hutan yang tersisa maka tidak akan ada laut yang sehat di bawah mereka. Dan tidak akan ada sumberdaya yang membawa keuntungan ekonomi bagi mereka.
“Kami memperoleh uang dengan memanfaatkan pohon Mahosi dan Gaharu yang biasanya digunakan dalam industri parfum,” kata Agustinus, salah satu penduduk desa yang terlibat dalam perlindungan kawasan Gaharu di kampungnya.
Kehadiran Greenpeace sendiri ke desa tersebut adalah dalam rangka sebagai saksi keindahan alam dan kearifan masyarakat lokal mengelola sumberdaya alam. Perjalanan ke desa yang begitu melelahkan namun telah terbayar sudah dengan pelajaran kearifan lokal masyarakat. Pembelajaran itulah yang nantinya akan dikabarkan ke seluruh dunia melalui internet dan jaringan media massa.
“Kami belajar banyak dari desa ini,” kata Teguh Surya, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia. “Kami menyaksikan bagaimana pentingnya hutan bagi masyarakat yang bergantung padanya dan memberi mereka kehidupan dan sumbermata pencaharian. Dan mereka menjaga hutan dengan sangat baik. Ini bisa menjadi pejalaran penting bagi industri dan pemerintah untuk mengelola hutan dengan cara berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan hari ini masih tidak terlalu kuat untuk melindungi hutan. Greenpeace mendesak pemerintah untuk segera bertindak melindungi hutan-hutan Indonesia. Ini termasuk memperkuat kebijakan moratorium perlindungan hutan dengan memulainya meninjau ulang izin yang sudah ada,”
Sementara pada waktu yang bersamaan, tim dokumentasi laut yang dipimpin juru kampanye laut Greenpeace Asia Tenggara, Mark Dia, bersama aktivis lingkungan yang juga pemimpin redaksi majalah DiveMag, Riyanni Djangkaru, blogger Nila Tansil dan penulis lepas serta fotografer Paul Hilton mulai menyusuri keindahan alam bawah laut Teluk Cendrawasih yang dikenal sangat baik sebagai tempatnya ikan hiu paus. Ketika menyelam di terumbu karang Tridacna masih di Teluk Cendrawasih, para penyelam disambut oleh ratusan lumba-lumba.
“Kami menyaksikan secara langsung kehidupan laut yang luar biasa di perairan Papua yang alami,” kata Mark Dia, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara. “Kami ingin menyampaikan pada dunia tentang kekayaan alam laut Indonesia yang rapuh, bagaimana mereka menghadapi keterancaman, dan apa yang kita diperlukan untuk melestarikan mereka. Kita semua perlu bertindak bersama, mengerti kondisi laut dan melindungi kandungannya.”
Rainbow Warrior sendiri melakukan tur dari Pelabuhan Numbay, Jayapura pada 9 Mei 2013 lalu untuk memulai tur yang bertemakan “100% Indonesia: Bersama Melindungi Hutan dan Laut Kita. Dua hari lalu Tur merapat di Pelabuhan Manokwari dan Sabtu ini akan bergerak lagi menuju Sorong dan Raja Ampat. Tur kapal akan berakhir setelah sebulan penuh berkampanye di Indonesia saat tiba di Jakarta. Presiden SBY sendiri telah menyatakan keinginannya untuk menyambut Rainbow Warrior saat menerima Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional Kumi Naidoo tahun lalu di kantor kepresidenan.