Populasi Badak di Sumatera dan Kalimantan Harus Disilangkan Demi Mencegah Kepunahan

Sebuah studi baru berargumen bahwa sebaiknya upaya konservasi untuk menyelamatkan badak Sumatera dilakukan dalam sebuah unit tungal, yaitu dengan menyatukan badak Sumatera yang ada di pulau Sumatera dan Kalimantan, hal ini sekaligus memberikan dukungan akademis terhadap proposal yang dinilai kontroversial yang berupaya memundahkan badak liar dari Malaysia ke Indonesia.

Studi yang dibuat oleh sebuah tim peneliti dan pakar badak yang diterbitkan dalam jurnal Oryx ini mengatakan bahwa perbedaan genetik antara badak di kedua pulau itu sangat sedikit. Mengingat kondisi yang sudah dinilai berbahaya megingat populasi badak diperkirakan kurang dari 100 individu, para ahli berpendapat bahwa untuk memastikan kemampuan bertahan badak Sumatera harus diutamakan mengingat minimnya perbedaan genetik diantara kedua populasi tersebut.

“Dalam tulisan kami, kami mendiskusikan pro dan kontra dalam menyatukan konservasi badak Sumatera di pulau Sumatera dan Kalimantan sebagai sebuah unit tunggal,” ungkap penulis utama penelitian ini, Benoit Goosens, Direktur Danau Girang Field Centre di Malaysia, dalam pernyataannya. “Untuk spesies seperti badak Sumatera, dimana faktor waktu menjadi sangat penting untuk mencegah kepunahan, kami harus mempertimbangkan sejauh mana jarak genetik dan geografis harus dipertimbangkan dalam menentukan intervensi konservasi yang paling diperlukan.”

“Perbedaan genetik sangat minimal dan kami sangat yakin bahwa adanya perbedaan tersebut harus membuat pemisahan unit konservasi antara badk di kedua populasi di kedua pulau tersebut.”

Goosens memberi contoh tentang apa yang terjadi dengan badak Jawa dimana penelitian yang memfokuskan terhadap perbedaan genetik menjadi perangkap bagi spesies yang sudah mendekati kepunahan ini.

“Kendati hasil yang jelas menunjukkan bahwa populasi badak Jawa di Ujung Kulon (Indonesia) dan Cat Tien (Vietnam) mewakili unit evolusi yang signifikan, namun pertimbangan demografis harus mengesampingkan masalah genetik dalam jangka pendek. Pemerintah Indonesia dan Vietnam didesak untuk bertukar badak Jawa sebelum terlambat. Namun, karena tidak ada tindakan yang diambil, akhirnya individu terakhir badak Jawa di Vietnam mati di Cat Tien pada bulan April 2010,” ungkap Goosens. “Kami tak ingin hal yang sama terjadi terhadap badak Sumatera dan kami sangat mendorong untuk melakukan tindakan sekarang dan bertukar sperma dan sel telur (dan kemungkinan juga individu badak itu sendiri) antara individu yang ditangkarkan di Malaysia dengan di Indonesia, serta di kebun binatang Cincinnati di Amerika Serikat.”

Tulisan ini keluar kurang dari dua bulan setelah para pakar konservasi melakukan pertemuan Sumatran Rhino Crisis Summit di Singapura menyetujui aksi serupa.

Kondisi badak Sumatera bernama Puntung sehari setelah dimasukkan ke dalam penangkaran bulan Desember 2011.

Populasi badak Sumatera telah berkurang cepat dalam beberapa waktu terakhir dan diperkirakan saat ini tinggal berjumlah 100 individu saja di alam liar di Sumatera dan Kalimantan. Selain ancaman akibat menyusutnya habitat mereka dan perburuan dianggap sebaga ancaman klasik bagi badak Sumatera, ancaman terbaru berupa rendahnya kepadatan popuasi juga menjadi penyebab kesulitan para badak ini menemukan pasangan mereka. Untuk mengatasi hal ini, sejumlah pakar konservasi meyakini bahwa dengan memisahkan badak Sumatera di penangkaran tersendiri dan sangat terlindungi sebagai harapan terbaik untuk spesies ini. Upaya untuk memfasilitasi perkawinan juga perlu untuk mempercepat pertambahan populasi badak.

“Dengan kondisi spesies yang sudah di ujung tanduk, kepunahan itu sesuatu yang pasti jika manusia tidak melakukan dua elemen terpenting. Pertama adalah membina kolaborasi yang  terbuka dan sepenuhnya antara pemerintahan yang ada, sehingga berbagai keputusan bisa diambil dengan landasan basis ilmiah sepenuhnya dan bukan sekedar kebanggaan nasional. Saya kira hal itu sudah ditunjukkan lewat hasil yang diraih dari pertemuan tersebut,” ungkap salah satu penulis penelitian ini, John Payne, yang juga Direktur Borneo Rhino Alliance (BORA), yang melakukan konseptualisasi dan mengorganisir pertemuan ini. “Hal lain adalah menggunakan semua teknologi terkini dalam reproduksi untuk mendorong kelahiran anak badak, dan kita tidak hanya menyandarkan pada perkembangbiakan natural, yang akan menjadi terlalu lambat untuk mencegah populasi menjadi nol.”

Sementara, Direktur Sabah Wildlife Department, Laurentius Ambu, mengatakan bahwa Malaysia tengah mempertimbangkan untuk mengirim seekor badak muda ke Amerika Serikat untuk dikawinkan dengan betina di Kebun Binatang Cincinnati, Amerika Serikat.

“Kami memahami perlunya pertukaran bibit antara berbagai negara, yaitu Malaysia dan Indonesia. Aksi untuk melakukan bank genetik dan inseminasi buatan atau pembuahan buatan sedang diupayakan di Sabah dan berbagai tempat lainnya,” ungkapnya dalam pernyataannya. “Kami sangat serius mempertimbangkan untuk mengirim seekor individu jantan bernama Tam ke Cncinnati Zoo di Amerika Serikat untuk kawin dengan betina mereka. Dengan melakukan hal ini, kami akan membuat langkah bersejarah untuk menjaga keberlangsungan salah satu mamalia paling purba dan kharismatis di Bumi.”

CITATION: Benoît Goossens et al (2013). Genetics and the last stand of the Sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis. Oryx DOI: http://dx.doi.org/10.1017/S0030605313000045 (About DOI), Published online: 09 May 2013

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,