Catatan Pelayaran Rainbow Warrior: Penyu Belimbing dan Kearifan Lokal Yenbuba

Setelah nyaris dua minggu kapal legendaris Greenpeace Rainbow Warrior melempar jangkar di perairan Raja Ampat, Papua Barat Indonesia. Awalnya sang kapten, Pep Barball yang berkebangsaan Spanyol tidak ingin melego jangkar karena khawatir bisa merusak terumbu karang. Namun setelah dipandu masyarakat setempat, jangkar pun dilepas.

Keberadaan Rainbow Warrior di Raja Ampat sebagai bagian dari kampanye tur kapal “100% Indonesia: Bersama Melindungi Hutan dan Laut” yang berlayar sejak 9 Mei 2013 dari Jayapura hingga 9 Juni mendatang di Jakarta. Berbeda dengan kampanye yang konfrontatif pada tahun-tahun sebelumnya saat Rainbow Warrior mengunjungi Indonesia, kali ini justru ingin mendokumentasikan dan merayakan kekayaan hayati nusantara baik di laut maupun di hutan.

Raja Ampat adalah sebuah gugusan pulau hijau yang indah di hamparan surga kehidupan bawah laut milik Indonesia warisan dunia. Hamparan surga bawah laut diklaim terlengkap di dunia dengan 537 spesies terumbu karang atau 75 persen dari total spesies terumbu karang dunia. Belum termasuk jenis biota lain yang belum terdata. Indonesia memiliki  banyak surga bawah laut, tetapi Raja Ampat adalah yang paling besar.

“Indonesia menargetkan 20 juta hektar wilayah laut sebagai kawasan konservasi tahun 2020. Dan 30 persennya disumbangkan Raja Ampat,” kata Salmon Weyai, staf pengawasan dan pengendali laut, UPTD dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Raja Ampat yang memang diundang ke kapal Greenepace selama pelayaran dari Manokwari hingga Raja Ampat, Kamis (23/5/2013).

Keindahan alam bawah laut Papua, salah satu hasil dari kearifan masyarakat lokal dalam menjaga alam mereka. Foto: Greenpeace Indonesia

Menurut Mark Dia, jurukampanye laut regional Greenpeace Asia Tenggara, sebelum ke di Raja Ampat, Rainbow Warrior berhenti beberapa mil dari pantai utara Papua, Jamursba Medi, Kabupaten Tambraw. Pantai ini berhadapan langsung dengan samudra pasifik dan sangat terlindungi karena dibatasi oleh berbukitan yang masih alami. Garis pantai pasir putih sepanjang 18 kilometer adalah tempat peneluran terbesar di Pasifik bagi spesies penyu terbesar di dunia – Leatherback Turtle (Dermochelys coriacea)  atau penyu belimbing.

“Penyu belimbing kini menjadi spesies langka dan hampir punah berdasarkan CITES (konvensi internasional untuk perdagangan spesies punah) dan Jamursba Medi, tempat penting bagi penyu belimbing di pasifik ini kini terancam rusak oleh pembangunan jalan trans Papua. Greenpeace hadir di sini untuk menjadi saksi keterancaman satwa dilindungi ini,” ujar Mark Dia.

Tim dokumentasi Greenpeace yang dibantu masyarakat setempat berhasil merekam empat penyu Belimbing dan dua penyu punggung datar (flatback turtle). Di ujung barat pantai Jamursba Medi, tim menemukan hutan di lereng bukit telah hancur untuk proyek jalan trans Papua. Proyek ini sendiri akan menghubungkan Kota Sorong dan Manokwari. Meski sudah ada jalan untuk menghubungkan dua kota ini, namun pemerintah merasa perlu membangun alternatif meski mengancam pantai milik penyu belimbing sejak ribuan tahun lalu.

Pemerintah bukannya tanpa usaha. Menurut Yacobus Iwanggin (49), Kepala Resor BKSDA Kabupaten Tambraw, awal tahun ini bekerjasama dengan departemen kelautan dan perikanan, telah memasang jerat pengaman predator di perbatasan hutan dan pantai. Selain ancaman pembangunan trans Papua, penyu belimbing yang bisa melepaskan puluhan telur untuk satu kali waktu ini juga terancam oleh predator pemakan telur dan tukiknya seperti biawak dan babi hutan.

“Jerat ini kita pasang 1 kilometer lebih. Memang tidak sepanjang pantai ini tapi ini cukup efektif menekan ancaman predator,” katanya.

Setelah mendokumentasikan penyu belimbing bertelur untuk keberlangsungan generasinya, kapal berlayar ke Raja Ampat, tempat terakhir di Papua yang dikunjungi Rainbow Warrior kali ini sebelum bertolak ke Benoa, Bali dan Jakarta. Raja Ampat adalah surga perairan dangkal milik Indonesia dan telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi daerah laut (KKLD)  berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Raja Ampat tahun 2006 dengan luas enam KKLD sekitar 900 ribu hektar.

Tim dokumentasi bawah laut yang terdiri dari Mark Dia, jurukampanye Greenpeace, Paul Hilton, jurufoto dan Barly Febriadi juruvideo langsung menyelam di perairan dangkal dekat pulau Kri dan berhasil merekam kehidupan bawah laut yang indah meski visibilitinya tidak terlalu bagus. Menurut warga setempat, jarak pandang bawah laut  yang bagus ada di kuwartal ketiga setiap tahunnya. Meski demikian jumlah ikan dan variasinya tergolong sangat kaya dibandingkan taman nasional laut teluk Cendrawasih di Nabire, lokasi yang juga didokumentasikan Greenpeace minggu lalu.

Di hari kedua, ketika tim dokumentasi selesai diving terakhir, juru video Greenpeace Barly Febriadi dan aktivis Greenpeace berangkat menuju Kampung Yenbuba di Distrik Mansuar yang berjarak hanya satu km dari Rainbow Warrior. Masyarakat nelayan Yenbuba memiliki kearifan lokal untuk menjaga laut di sekitarnya agar tetap lestari. Pada April lalu mereka baru saja mendeklarasikan komitmen pelestarian laut di sepanjang areal Tanjung Sapor Samyam seluas 2.500 hektar. Deklarasi ini juga diikuti sejumlah kampung di antaranya Yenwaupnor dan Yenbekwan yang berarti di sepanjang wilayah deklarasi, masyarakat tidak akan mengambil ikan karena akan dijadikan sebagai kawasan wisata laut.

“Dulu kami akui sering mengambil ikan dengan cara yang tidak baik seperti potassium dan bom. Tapi sejak ada penyuluhan tentang pentingnya melestarikan laut, kami sadar. Sekarang kami menangkap ikan di luar kawasan deklarasi itu,” ujar Ayub Sawiyai, Kepala Kampung Yenbuba.

Pantai dan laut yang begitu indah di pulau-pulau sekitar Mansuar kini disiapkan menjadi tujuan wisata yang juga didukung pemerintah setempat. Dari keindahan pantai dan laut dan komitmen pelestarian itulah masyarakat Yenbuba dan sekitarnya kini mendapat sumber ekonomi alternatif melalui jasa pariwisata. Kearifan lokal masyarakat Yenbuba ini sebenarnya bukanlah satu-satunya cara masyarakat Raja Ampat menjaga lingkungannya.

Selain deklarasi April lalu itu, juga ada budaya Sasi dan Kakes. Sasi adalah ritual adat yang dilakukan untuk menerapkan moratorium atau jeda terhadap sesuatu dan dalam hal ini jika Sasi dilakukan untuk daerah tertentu di laut, maka pada waktu tertentu tidak boleh ada aktifitas pengambilan ikan di daerah tersebut.

“Sampai pada Sasi itu dibuka lagi, baru boleh diambil. Tapi kadang juga ada sasi terbatas yang bisa mengambil beberapa jenis ikan saja sebagaimana yang ditetapkan sebelum ritual dan makin banyak penghasilannya karena (ikannya) tidak diambil dalam beberapa waktu,” kata Ayub lebih lanjut.

Indonesia sendiri punya aturan hukum untuk menjaga kekayaan alamnya, namun biasanya keterbatasan sumberdaya manusia dijadikan alasan lemahnya penegakkan hukum. Greenpeace Indonesia tahun ini meluncurkan kampanye laut di samping kampanye yang sudah ada yakni hutan, iklim dan energi serta air bebas beracun.

“Greenpeace mendorong pemerintah untuk memastikan penjagaan ekosistem laut dari aktivitas perusakan dan mengakhiri penangkapan ikan berlebihan (overfishing) dan menangani illegal fishing. Jika saja kearifan lokal dipahami pemerintah sebagai modal perlindungan ekosistem laut, maka tidaklah banyak sumberdaya manusia dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengawasi laut nusantara. Dan anugerah kekayaan alam Indonesia yang luar biasa ini dapat terjaga untuk warisan generasi penerus di masa depan,” ujar Arifsyah, Jurukampanye laut Greenpeace Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,