,

Percepat Penetapan Hutan Adat, Presiden Harus Turun Tangan

Berbagai kalangan baik dari organisasi maupun perorangan menandatangani deklarasi masyarakat sipil untuk mendorong percepatan penetapan hutan adat Indonesia.

Mahkamah Konstitusi telah membuka jalan baru lewat keputusan hutan adat bukan hutan negara. Namun,  dengan masih tercantum ketentuan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 yang menyebutkan keberadaan masyarakat adat dikukuhkan lewat perda, bisa menjadi batu sandungan penetapan hutan adat ini. Untuk itu, diperlukan kemauan politik kuat dari Presiden dalam mendorong implementasi keputusan MK ini.

“Jangan sampai putusan MK hanya jadi penghias kertas, itu yang kita tak mau. Perlu putusan politik  dari Presiden,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat Deklarasi Masyarakat Sipil untuk Hutan Adat Indonesia, di Jakarta, Senin (27/5/13).

Pemerintah diminta tak melepaskan begitu saja pekerjaan ini kepada daerah. Jika Pusat lepas tangan, sama saja membiarkan konflik-konflik agraria terus berlanjut bahkan berpotensi makin memanas. Untuk itu, harus ada terobosan dalam menjawab Pasal 67 UU Kehutanan Tahun 1999 ini. Jadi, perlu ada kebijakan lebih jelas, misal lewat Instruksi Presiden (Inpres). “Apakah Presiden minta ke Menteri Dalam Negeri, atau bagaimana. Ini yang harus ada terobosan.”

Jika hanya berharap dan menanti daerah membuat perda bisa memakan waktu sangat lama. Sebab, menelurkan satu perda memerlukan biaya tinggi alias mahal. “Bisa jadi tak akan pernah ada.”

Abdon memperhitungkan, satu perda di kabupaten biaya sekitar Rp400 juta-Rp700 juta, baru bupati dan DPRD bisa bekerja. Artinya,  jika ada 10 hutan adat perlu 10 perda. “Ini bisa sampai Rp4-Rp7 miliar  untuk bisa mengakui hutan adat di satu kabupaten.  Saya tak yakin secara politik bupati dan DPRD mau lakukan ini. Ini terbukti 14 tahun pelaksanaan UU Kehutanan no 41 sampai hari ini, tak satu hutan adatpun diperdakan. Tak ada.”

Nirarta Samadhi, Deputi V UKP4 membenarkan, perlu keputusan politik dari pimpinan negara ini. “Demi membangun suasana positif menuju ke arah sana . Apakah Inpres yang pas, itu mesti dikembalikan kepada beliau (Presiden).” Dengan keputusan itu, membuka kesempatan untuk membuat proses baru.  “Rasanya perlu dicoba segera penerbitan proses batas-batas ini.

Mengapa penetapan hutan adat ini perlu kerja cepat? Jika tidak, hutan-hutan adat akan habis terbabat. Abdon mengatakan, musuh hutan adat itu sebenarnya banyak sekali. Saat ia masuk hutan negara, pemerintah merasa sebagai negara bisa melakukan berbagai hal. “Hingga cepat sekali pemerintah berikan izin-izin di seluruh kawasan hutan, termasuk hutan adat. Ia dibuat kabur sedemikian rupa. Izin itu jadi musuh, bisa HPH, HTI, kebun sawit, tambang. Belum lagi cukong-cukong kayu.

Dari identifikasi AMAN, hutan yang masih terpelihara baik berada di hutan adat dan sedang terancam. Banyak sekali izin keluar di hutan adat dan sebagian masih ‘tidur’ alias belum beroperasi. Dengan keputusan MK ini, review perizinan perlu dipercepat. “Moratorium bisa jadi momen tepat. Jika Presiden dan jajaran tak bergerak ini bisa terlambat.”

Senada diungkapkan Kasmita Widodo, Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Menurut dia, perlu kerja cepat menetapkan hutan adat ini. Sebab, begitu banyak hutan adat terancam perizinan perusahaan besar. Dia mencontohkan, di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, ada satu kecamatan, tiga atau empat kampung berada di kawasan hutan—saat ini masih masuk hutan negara –dan di APL buat kebun sawit.

Bagaimana jika hutan adat sudah ‘dikuasai ‘ perusahaan? Menurut Abdon, kala hak diakui, akan ada banyak pekerjaan rumah. Ada renegoisasi. Menyelesaikan kasus hutan adat yang sudah terlanjur ‘diserahkan’ ke perusahaan oleh pemerintah, misal, perlu ada diskusi proses pemulihan hak, restitusi hak. “Bisa ambil aspirasi dari Afrika Selatan. Atau misal, izin masih berlaku tunggu sampai selesai, atau dirunding ulang, pemerintah bisa memfasilitasi bagaimana menyelesaikan itu.”

Pandangan AMAN, jika putusan MK dilaksanakan dengan baik, bisa mengurangi konflik-konflik agraria. Tak hanya bermanfaat bagi masyarakat adat, investor pun punya kepastian berusaha. “Ini akan sumbang iklim yang baik bagi pengusaha. Daripada lahan besar tapi berkonflik, lebih baik kecil dikit tapi pasti. Ini awal rekonsiliasi nasional jika dilakukan dengan baik.”

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, juga angkat bicara. Menurut dia, mengimplementasikan keputusan MK ini memang tantangan berat. “Berbicara hutan itu tak hanya lahan, tapi juga ekosistem, bagaimana yang sudah dikonversi? Keputusan MK ini hutan adat, bukan tanah adat. Inilah mengapa perlu upaya segera menahan laju konversi ini.”

Diapun berpendapat sama, bahwa perlu upaya nasional dalam pemetaan hutan adat ini. “Presiden harus turun tangan. Penting langkah politik Presiden.” Dia menilai, kebijakan moratorium saja tak cukup. Terlebih pada hutan adat yang tumpang tindih dengan perizinan perusahaan tetapi belum beroperasi hingga ada potensi masalah.

Dengan pengakuan hutan adat ini, ucap Abetnego, bisa menjadi jalan pemenuhan demokratisasi sumber daya alam bagi masyarakat. Sebab, selama ini, penguasaan lahan didominasi perusahaan-perusahaan lewat izin usaha maupun proyek-proyek konservasi besar.

Selain itu, keputusan ini juga akan mempengaruhi sektor pertambangan, terkait penetapan wilayah pertambangan (WP). Putusan MK terdahulu terhadap judicial review UU Migas mengisyaratkan, izin tambang harus persetujuan masyarakat. “Nah, putusan MK tentang hutan adat ini  harus menjadi referensi bagi pemerintah dalama membuat aturan turunan terkait WP ini,” ujar dia.

Tak hanya itu, poin penting lain, kata Abetnego,  pemerintah juga harus melihat lagi putusan MK ini kala menerapkan PP 60/61 tahun 2012 mengenai pelepasan kawasan hutan akibat ‘investasi keterlanjuran.’ “Bukan mustahil, kawasan hutan yang akan dilepaskan itu merupakan hutan adat.”

Sikap Komnas HAM

Dalam acara ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyampaikan pandangan atau putusan MK ini. Sandra Moniaga, Anggota Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM mengatakan, keputusan MK ini salah satu bentuk koreksi negara atas kebijakan yang tak didasari penghormatan HAM. Dengan putusan ini, hendaknya menjadi pintu masuk langkah-langkah pemulihan hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayah adat, termasuk hutan adat.

Komnas HAM juga mendorong pemerintah dan pemerintah daerah segera menindaklanjuti keputusan ini. “Dengan mengkaji ulang, merevisi, dan melengkapi peraturan perundang-undangan melalui proses partisipatif dan segera.”

Komnas HAM merekomendasikan, ke-12 kementerian dan lembaga negara yang terlibat percepatan pengukuhan kawasan hutan memastikan seluruh aksi terkait pemulihan hak masyarakat adat. “Mengimbau semua pihak menghormati HAM dalam proses pemulihan hak dan wilayah adat ini.” Kepolisian dan aparat keamanan lain juga diminta tak refresif hingga tak menciptakan kekerasan dalam proses pemulihan ini.

Setelah pembacaan sikap Komnas HAM ini, deklarasi masyarakat sipil pun dimulai. Jefri Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch, membacakan isi deklarasi. Perwakilan organisasi dan individu pun hadir saat itu. Ada dari Telapak, Forest Watch Indonesia, Epistema Institute, Yayasan Perspektif Baru, Kemitraan, Ford Foundation, Samdhana Institute, Walhi dan lain-lain.

Wimar Witoelar, saat menandatangani Deklarasi Masyarakat Sipil untuk Hutan Adat Indonesia. Foto: Sapariah Saturi
Chalid Muhammad, koordinator Institut Hijau Indonesia, satu di antara belasan orang yang secara simbolis mulai menandatangani Deklarasi Masyarakat Sipil untuk Hutan Adat Indonesia di Jakarta, Senin (27/5/13).Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,