Momo dan Yana, ayah dan anak ini divonis delapan bulan penjara ini pada 4 April 2013, resmi ditahan. Mereka ini warga Pengalengan, Jawa Barat (Jabar) yang bersengketa lahan dengan Perusahaan Daerah Agribisnis dan Pertambangan (PDAP) sejak 2003. Tak terima putusan, upaya banding pun diajukan sejak majelis hakim selesai mengetok palu sidang di Pengadilan Bale Bandung.
Kini, LBH Bandung mempermasalahkan prosedur penahanan kedua warga ini. “Sekarang yang jadi permasalahan penahanan Momo dan Yana, menurut kami inskontitusional,” kata Arip Yogiawan, Direktur Eksekutif LBH Bandung, Senin (3/6/13).
Yogi mengatakan, penahanan Momo dan Yana bermasalah karena sampai detik ini PN Bandung belum mengeluarkan surat penetapan penahanan. Sedang Momo dan Yana, sudah ditahan di LP Jelekong, Ciparay, Bandung. Mereka berencana melaporkan kasus ini ke Komnas HAM.
Penangkapan Momo dan Yana berawal pada Senin 24 Oktober tepat pukul 14.00 segerombolan orang datang ke rumah Sumpena meminta menyerahkan lahan seluas 50 tumbak. Namun, Sumpena tidak ada di rumah. Mereka pulang dan kembali lagi sore dengan jumlah massa lebih banyak.
“Segerombolan orang itu melakukan pematokan mulai dari lahan sebelah kanan kantor PDAP terus merambat ke samping sampai kira-kira 30 lahan dipatok. Petani penggarap mulai berdatangan dari segala arah. Sekitar seratus orang. Mereka datang untuk menghadang sekaligus menghentikan upaya pematokan,” kata Dije, koordinator Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Pangalengan.
Sekitar pukul 17.10 terjadi bentrokan antara petani penggarap dengan para pematok lahan. Petani penggarap mengejar pematok lahan hingga mereka terdesak dan masuk ke kantor PDAP, mengamankan diri.
“Menjelang magrib petani penggarap terus berdatangan dari berbagai kampung. Saat itu mencapai lima ratus orang. Semua mengepung kantor PDAP dan meminta semua orang di dalam keluar. Adu fisik tak terhindarkan saat preman bayaran PDAP keluar dari ruangan itu. Akhirnya mereka melarikan diri,” kata Dije.
Selepas Magrib, keadaan makin memanas. Hari sudah gelap, kabut disertai udara dingin mulai turun. Massa smakin emosi karena selain para preman, tak ada lagi yang keluar dari kantor PDAP. Saat itu aksi pelemparan mulai terjadi hingga menyebabkan pos satpam depan kantor PDAP, sebuah dispenser dan televisi, rusak.
“Orang-orang PDAP baru bisa keluar pukul 20.40 setelah mendapat pengawalan ketat kepolisian sektor Pangalengan, Koramil dan satu panser Dalmas. Setelah orang-orang PDAP dievakuasi, massa pun membubarkan diri.”
Setelah peristiwa pengepungan kantor PDAP itu, Momo dan Yana dilaporkan PDAP ke polis. Padahal, kata Dije, keduanya tidak ada di lokasi saat kejadian.
Yogi menceritakan, konflik antara petani penggarap dengan PDAP terjadi sejak 2003. Proses penyelesaian berlarut larut. Mereka tidak pernah menemukan titik kesepakatan. Hingga berujung upaya kriminalisasi terhadap beberapa petani penggarap.
“Tanah garapan petani di Pangalengan itu kan dulu lahan perusahaan daerah milik Pemprov Jabar bernama PD Mamin. Perusahaan itu menguasai lahan karena mempunyai hak pengelolaan lahan.” Namun, bertahun-tahun PD Mamim menelantarkan lahan itu karena ketidakmampuan daya dukung finansial. “Lahan itupun dimanfaatkan petani, mulai 2000,” ucap Yogi.
Saat ini ada upaya pengusiran oleh PDAP. PDAP merupakan BUMD hasil likuidasi PD Mamin. Salah satu upaya pengusiran dengan mengkriminalisasi beberapa petani yang menggarap lahan itu.
Sebelum kasus Momo dan Yana mencuat, tahun 2012, petani Pangalengan bernama Sutarman dikriminalisasi dengan pasal menguasai tanah tanpa izin. Dia divonis hukuman percobaan tiga bulan penjara. Setelah itu Momo dan Yana dengan tuduhan melakukan kekerasan.
Yogi mengatakan, kedua orang itu muncul sebagai tersangka diduga karena perusahaan melihat mereka ini pengurus AGRA. “Kalau berbicara soal pidana kan seharusnya detail siapa pelaku.Tidak bisa karena dia pengurus himpunan tani lalu dituduh bertanggungjawab di balik kejadian itu. Karena tanggungjawab pidana kan tidak bisa dialihkan.”
Sebelumnya, beberapa konflik antara para petani dengan PDAP pernah terjadi. Tahun 2006, perusahaan bersama preman berusaha membuldozer lahan garapan petani dengan dalih dipakai. Karena ada tanaman warga, mereka bertahan.
“Ada konflik fisik. Tetapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Masyarakat memblokir becko. Kasus itu difasilitasi DPRD tetapi pertemuan dengan DPRRD hanya menyelesaikan konflik. Waktu itu masing-masing pihak hanya diminta menahan diri,” kata Yogi.
Status Lahan Garapan
Sebenarnya, ada upaya melegalisasi tanah. Namun, situasi saat ini, belum semua anggota siap. “Kalau organisasi akan melegalisasikan, pasti akan ada reaksi keras dari PDAP dan pemerintah. Sampai sekarang ada juga provokasi dari beberapa elemen masih sering terjadi,” kata Sutarman, warga Pangalengan.
Sutarman mengatakan, upaya legalisasi tanah sempat akan dilakukan pengurus AGRA di ranting Cieurih. Mereka akan melegalisasikan separuh tanah seluas 20 hektar. “Satu anggota dipungut Rp800 ribu, tapi sampai sekarang surat tanah belum keluar. Karena belum ada persetujuan dari pemerintah.”
Yogi menambahkan, sebenarnya UU Pokok Agraria mengatakan, tanah tidak boleh diterlantarkan. Satu ketentuan di dalam UU Pokok Agraria menyebutkan, hak atas tanah hilang karena ditelantarkan dan tidak diurus.
“Hak melekat itu adalah hak milik. Sedang hak mengelola lahan dan hak guna usaha, itu bukan hak milik. Bahwa tanah itu tidak boleh ditelatarkan, dan menyebabkan kehilangan hak. Tidak ada satu pun pejabat yang berani mengambil langkah ini. Seharusnya kalau memang mau serius segera dinyatakan lahan itu dulu ditelantarkan.” Pemprov, jika mau sebenarnya bisa melepaskan hak atas lahan itu dan mendistribusikan kepada petani.
Apa kata perusahaan? PDAP tetap mengklaim tanah seluas 134 hektar itu hak mereka. Perusahaan ini didirikan 23 September 1998, hasil akuisisi dari PD Kertasari Mamin dan tiga perusahaan daerah.
“Saya tidak sepakat kasus itu dikatakan sebagai kriminalisasi. Ini harus dipertanyakan kembali. Kriminalisasi seperti apa yang kita lakukan? Kita tidak pernah melakukan kekerasan atau pengusiran kepada para petani. Sebenarnya tidak ada konflik,” kata Asep Suryana, Direktur PDAP, Jumat (12/4/2013).
Menurut dia, yang terjadi warga memaksakan kehendak menggarap lahan yang sudah jelas hak perusahaan. “Itu terjadi sejak 2004. Kita justru mengajak mereka bermitra agar tidak ada pihak yang dirugikan.”
Asep mengatakan, program kemitraan dengan para petani ditawarkan sesuai surat rekomendasi Ketua DPRD Bandung pada 2005. Isi surat rekomendasi itu menganjurkan konflik di Pangalengan diselesaikan secara kekeluargaan agar tidak ada pihak yang dirugikan.
“Kami berkali-kali upaya sosialisasi program kemitraan dengan para petani penggarap. Namun tidak pernah menemukan titik temu. Padahal kami sudah mengikuti keinginan mereka agar ada bagi hasil adil,” ucap Asep.
Point tawaran kerjasama antara PDAP dan petani penggarap itu antara lain, PDAP menyediakan bibit dan pupuk tanaman holtikultura, petani penggarap boleh menggarap lahan. Nanti, ada pembagian hasil yang disebut dengan istilah maro, atau 50:50.
“Kita terus upaya pendekatan agar program kemitraan ini tetap bisa berjalan. Namun sejak 2008 memang tidak ada upaya lagi. Kami menemukan jalan buntu karena tidak ada kesepakatan. Baru 2010 program kemitraan dijalankan kembali.”
Sejak dibentuk 1998, program PDAP masih berjalan normal. Dia bekerjasama dengan berbagai pihak mengelola lahan di Pangalengan. Termasuk dengan pemerintah Jepang untuk pembibitan kentang.
Tahun 2005, konflik mencuat. Lahan garapan petani diratakan buldozer. Hal ini membuat konflik antara petani penggarap dengan PDAP makin runcing. “Memang waktu itu perusahaan menginginkan yang menduduki lahan secara paksa, dikeluarkan secara paksa juga. Tapi itu kan bukan solusi yang baik. Itu juga bukan PDAP yang melakukan, ada security service yang menawarkan jasa bisa mengelurakan penggarap yang menduduki lahan hak kami,” kilah Asep.
Namun dia mengelak dan menyatakan tak perlu membuka lembaran lama. “Semua yang sudah terjadi biarlah menjadi cerminan. Jadi pelajaran ke depan.”
Setelah konflik 2005, PDAP menawarkan kemitraan dengan para petani penggarap di Pangalengan. Sekitar 300 petani penggarap tercatat ikut ambil bagian. Tahun 2010, musyawarah dilakukan beberapa kali mengundang banyak pihak seperti masyarakat di Desa Sukamanah dan Margamekar, pejabat Muspika baik dari kecamatan, polsek, hingga koramil.
Namun tidak berjalan mulus. Meski beberapa kali pembahasan mengenai program kemitraan, antara PDAP dan petani penggarap lain tak pernah menemukan titik temu. Buntut dari perselisihan itu dari sekian banyak petani penggarap itu, Sutarman, Sumpena dan Agit dilaporkan PDAP ke kepolisian.
“Tujuan kami melaporkan ketiga orang itu untuk membuka kesadaran petani yang lain. Bahwa, apa yang mereka lakukan menduduki lahan hak orang lain adalah salah di mata hukum. Kami menampung informasi baik bari petani maupun muspika untuk mengetahui orang yang kalau kita proses secara hukum, petani yang lain terbuka hatinya. Itu tujuan kami.”
Asep mengatakan, pelaporan ketiga petani penggarap ini sudah berdasarkan surat rekomendasi dari DPRD Bandung tahun 2005. Bahwa jika dalam penyelesaian masalah tidak menemukan titik kesepakatan, maka dianjurkan untuk menempuh jalur hukum.
Menurut Asep, yang mematok lahan di sekitar kantor PDAP itu bukan perusahaan tetapi petani penggarap yang sudah bermitra dengan mereka. Pematokan lahan penting agar PDAP bisa menghitung kebutuhan bibit dan pupuk yang diperlukan petani. Namun pematokan belum usai, keributan sudah terjadi. Ratusan petani penggarap mendatangi kantor PDAP melakukan protes keras atas pematokan lahan itu