Setiap Tahun Nyaris Setengah Juta Biawak Disulap Menjadi Tas di Indonesia

Beberapa jenis kadal raksasa kini semakin terancam keberadaannya akibat perdagangan kulit satwa dan perburuan untuk dijadikan satwa peliharaan, hal ini terungkap dalam sebuah studi baru yang dimuat dalam jurnal Herpetological Conservation and Biology. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim pakar dari Indonesia dan Jerman ini ditemukan bahwa monitor lizard atau biawak air tawar di Asia Tenggara dibunuh atau dipindahkan dari habitat mereka dalam jumlah yang masif. Di Indonesia sendiri, ekspor kulit biawak air tawar ini (Varanus salvator) untuk dibuat tas dan tali jam tangan telah mengorbankan sekitar 450.000 individu kadal raksasa setiap tahunnya.

“Keindahan warna, nilai kelangkaan dan status perlindungan yang tinggi yang justru meningkatkan permintaan akan kulit biawak,” ungkap salah satu penulis laporan ini dari Helmholtz Centre for Environmental Conservation (UFZ), bernama Mark Auliya.

Biawak air semakin laris di pasar perdagangan satwa. Foto: Rhett A. Butler

“Harga di lapangan mencapai empat digit (ribuan dollar), untuk sepasang bahkan bisa mencapai 5 digit (puluhan ribu dollar). Bahkan satwa sebesar Komodo saja ikut jadi korban perdagangan ilegal, kendati aturan perdagangan satwa secara internasional lewat CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) tidak memperbolehkan perdagangan jenis spesies ini,” tambah Auliya.

Berbagai jenis kadal raksasa ini juga berhadapan dengan ancaman dari para petani yang melindungi hewan ternak mereka, perdagangan satwa dan bahkan sumber protein.

Dalam studi ini, para penulis memberikan catatan khusus terkait minimnya informasi terkait kadal-kadal raksasa. “Karena alasan itulah kami menciptakan identifikasi yang komprehensif terhadap semua jenis biawak, termasuk di dalamnya foto-foto,” ungkap Evy Arida dari Museum Zoologi Bogor. “Hal ini akan membantu para pemilik otoritas dan imigrasi untuk meningkatkan penegakan hukum untuk memastikan konservasi yang lebih berkelanjutan bagi biawak di Indonesia.”

Komodo, juga terancam perdagangan liar. Foto: Rhett A. Butler

“Pihak konsumen seharusnya juga harus sadar akan tanggung jawab mereka saat membeli reptil hasil tangkapan,” tambah Auliya.

Studi ini merekomendasikan untuk menekan kuota ekspor terhadap beberapa jenis kadal raksasa dan membentuk kuota bagi spesies yang belum terlindungi. Mereka juga mengadvokasi penegakan hukum yang lebih keras, serta melakukan pelatihan bagi pihak-pihak terkait untuk menekan dan mencegah aktivitas perdagangan ilegal.

Sementara peneliti dari UFZ dan Zoological Research Museum di Bonn, Jerman, Alexander Koenig melihat hal ini sebagai keragaman yang disepelekan di Asia Tenggara, terutama terkait distrbusi biawak dan hubungannya satu sama lain. Di tahun 2010, para peneliti Jerman menemukan tiga spesies kadal baru di Filipina.

“Sejak tahun 2010, kami sudah mengidentifikasi setidaknya 10 spesies kadal baru di Asia Tenggara dan Papua. Salah satunya adalahkadal air Quince yang ditemukan di Maluku tahun 1997 dan kadal pohon biru yang ditemukan tahun 2001. Spesies yang disebutkan terakhir tersebut ditemukan di Pulau Batanta, di sekitar Raja Ampat, Papua Barat,” jelas Koenig.

CITATION:Koch, André, Thomas Ziegler, Wolfgange Böhme, Evy Arida, and Mark Auliya. 2013. Pressing Problems: Distribution, threats, and conservation status of the monitor lizards (Varanidae: Varanus spp.) of Southeast Asia and the Indo-Australian Archipelago. Herpetological Conservation and Biology 8(Monograph 3):1-62.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,