Anjing menggonggong kafilah berlalu. Tampaknya pepatah ini cocok dilabelkan kepada pemerintah dalam rencana pembangunan PLTU Batang. Meskipun protes warga terus menerus, semangat merealisasikan proyek yang masuk bagian MP3EI ini tak pernah surut. Pembangunan seakan ‘wajib’ meskipun harus mengubah kawasan konservasi perairan laut daerah (KKLD) dan mengancam tempat hidup tak kurang 10.961 nelayan. Juga ribuan petani yang lahan produktif mereka ‘dipaksa’ menjadi lahan proyek.
PLTU Batang akan dibangun di lahan seluas 700 hektar berkapasitas 2.000 mega watt (MW) oleh PT Bimasena Power Indonesia. Abdul Salim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, ironis karena proyek ini akan mengubah lahan pertanian produktif dan KKLD yang menjadi sumber pangan perikanan masyarakat Batang dan Jawa Tengah.
Nelayan-nelayan terdampak PLTU ini tersebar di enam desa, yaitu Ponowareng, Karanggeneng, Wonokerso, Ujungnegoro, Sengon (Roban Timur) dan Kedung Segog (Roban Barat).
Demi memuluskan proyek ini, Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005, tertanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang, dianulir.
Muncul Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011, tanggal 19 September 2011. Muncul lagi, SK Bupati Batang Nomor 523/194/2012 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pesisir Ujung Negoro-Roban dan Sekitarnya. Kawasan konservasipun menyusut. “Sebelumnya luas mencapai 6.893,75 hektar dengan panjang bentang pantai sejauh tujuh km,” katanya dalam rilis kepada media Rabu (5/6/13).
Empat desa yang termasuk KKLD Ujungnegoro – Roban Kabupaten Batang itu meliputi Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng, Desa Ponowareng dan Desa Kedung Segog, Kecamatan Roban. Nasib serupa juga dialami petani di desa-desa ini.
Pada Hari Lingkungan Hidup 5 Juni lalu, masyarakat nelayan tradisional Kabupaten Batang menyerukan Presiden SBY memenuhi hak konstitusional mereka. “Mereka meminta akses ke laut dan mendapatkan lingkungan hidup, perairan bersih dan sehat.”
Sutiyamah, perempuan nelayan Batang tergabung dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan, perolehan ikan di perairan Batang sangat tinggi. Dalam waktu lima sampai eman jam nelayan melaut bisa membawa pulang pendapatan berkisar Rp400-Rp500 ribu. Dalam kondisi baik, nelayan bisa meraup penghasilan Rp2-Rp3 juta. “Keluarga nelayan di Batang, bisa hidup layak,” katanya.
Jumlah nelayan Kabupaten Batang mencapai 10.961 orang, namun bila dihitung bersama istri dan anak-anak mereka, sekitar 54.805 jiwa hidup dari sektor perikanan. Karno, nelayan tradisional Batang menambahkan, jika proyek PLTU lanjut, nelayan tradisional dan lima tempat pelelangan ikan (TPI) tersebar di enam desa dipastikan tergusur. Padahal, nelayan tradisional Demak, Pati, Jepara, Kendal, Semarang, Tawang, bahkan dari Wonoboyo, Surabaya, Gresik, Pemalang, Gebang dan Indramayu juga mencari ikan di kawasan pesisir Batang.
Andiono Direktur LBH Semarang menjelaskan, potensi perikanan di Batang, seperti ikan, udang, cumi, ranjungan, kepinting dan kerang sangat besar dan menjadi sumber penghidupan masyarakat Batang dan sekitar.
Tak hanya menggusur enam desa, rencana PLTU Batang ini berpotensi mengganggu perekonomian serta keberlanjutan lingkungan hidup di 12 desa sekitar lokasi proyek. Desa-desa ini adalah Desa Juragan, Sumur, Sendang, Wonokerto, Bakalan, Seprih, Tulis, Karang Talon, Simbang Desa, Jeragah Payang, Simbar Jati, dan Gedong Segog.
Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, mendesak pemerintah membatalkan rencana pembangunan PLTU Batang. Apalagi penetapan Pantai Ujungnegoro – Roban sebagai KKLD karena kawasan ini melindungi tiga obyek penting dalam menjaga ekosistem.
Pertama, kawasan Karang Kretek yang memiliki peran penting melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional. Kedua, kawasan situs Syekh Maulana Maghribi, berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang. Ketiga, kawasan wisata Pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industri pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang.
Aksi-aksi protes masyarakat petani dan nelayan terus berlanjut. Mereka pun mendapatkan teror, ancaman sampai penangkapan-penangkapan. Aksi tak hanya di daerah, tetapi sampai ke pemerintah pusat di Jakarta.
Pada Selasa (30/4/13), sekitar 500an warga Batang aksi di depan Kantor Kementerian Perekonomian. Saat itu, Hatta Rajasa, selaku Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus ketua MP3EI tak bisa hadir dengan alasan sedang bersama Presiden. Lucky Eko Wuryanto, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, menemui warga.
Saat mendengar ‘curhat’ warga, Lucky mengaku prihatin dan akan menindaklanjuti masalah ini. “Kami yang di sini tak bisa peka menangkap apa yang terjadi di lapangan. Tetapi, dari Menko tak ada niatan masalah jadi seperti ini,” ujar dia.
Dari atas mobil bak terbuka, Lucky meminta warga bersabar. Dia akan menyampaikan semua keberatan warga. “Kami harap ada langkah dilakukan. Kami akan dengarkan semua pihak, baik institusi maupun masyarakat.” Dia meminta, warga kembali ke desa sambil menunggu penyelesaikan kasus ini.
Selang beberapa hari setelah itu, dalam statemen kepada media, Lucky mengatakan, pembangunan PLTU Batang, tetap berjalan sesuai rencana. Seperti dikutip dari Jakarta Post, 11 Mei 2013, dia mengatakan, pemerintah akan melakukan berbagai cara guna memastikan proyek PLTU Batang, berjalan lancar. Protes-protes dan kontroversi yang muncul seputar pembangunan ini oleh warga dan organisasi lingkungan pada dasarnya menyesatkan.
Dikutip dari Jpnn.com, 12 Mei 2013, Lucky mengatakan, pembangunan PLTU kemungkinan awal tahun depan. Pembangunan ini mengalami banyak hambatan, salah satu pembebasan lahan, hingga perkiraan awal selesai 2017 mengalami kemunduran setahun. Namun, pembebasan tanah sudah mencapai 80 persen dan diperkirakan Juni dan Juli masalah tuntas.
Menurut dia, pembangunan PLTU menggunakan teknologi terkini, Ultra Super Criticel hingga tidak ada pencemaran seperti di Tanjung Jati atau di lokasi lain yang menyebabkan polusi.