Suatu pagi di awal Juni 2013, puluhan anak-anak dari dua sekolah dasar di Bali tampak ceria saat menyusuri areal hutan mangrove di kawasan Desa Tuban, Kabupaten Badung. Ditemani sejumlah mahasiswa dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana dan para guru, mereka berjalan di atas jalan setapak dari kayu dan bambu untuk lebih mengenal hutan bakau dan ekosistem Teluk Benoa.
Sebagian besar anak rupanya baru pertama kali melihat pohon bakau. “Senang diajak lihat bakau. (Saya) baru pertama kali ke sini,” ujar I Gede Muliartha Wiguna, 8 tahun siswa kelas 2 SD No. 10 Jimbaran.
Hari itu, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup sedunia, Conservation International (CI) Indonesia bekerjasama dengan Universitas Udayana dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Badung, sengaja menggelar program pendidikan tentang mengenal hutan bakau dan ekosistem Teluk Benoa.
“Kami ingin tanamkan kepedulian lingkungan sejak dini, terutama agar mereka tahu betapa Teluk Benoa ini punya fungsi ekosistem yang luar biasa,” jelas Made Iwan Dewantama dari CI Indonesia.
Ya, Teluk Benoa. Rupanya belum banyak masyarakat Bali yang mengetahui betapa teluk yang terbentang antara Pulau Serangan sampai Nusa Dua ini sebenarnya memegang peranan penting bagi Bali selatan. Teluk Benoa merupakan satu-satunya benteng yang secara alamiah berfungsi melindungi wilayah Bali selatan dari berbagai bencana seperti banjir, tsunami, dan lainnya. Ironisnya, kawasan teluk ini pula lah yang justru semakin terdegradasi oleh berbagai aktivitas merusak lingkungan akibat pembangunan tidak terkendali. “Kalau tidak ada upaya segera untuk menyelamatkan Teluk Benoa ini, tidak mustahil wilayah Bali selatan akan tenggelam, ” kata Iwan.
Di masa lalu, Teluk Benoa sebenarnya merupakan bentangan hutan mangrove sepanjang puluhan kilometer. Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai juga ada di wilayah teluk ini.
Menurut peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, I Gede Hendrawan, salah satu fungsi kawasan Teluk Benoa adalah sebagai pelindung kawasan Bali selatan dari bencana tsunami dan abrasi. “Bali selatan termasuk daerah rawan tsunami, karena ada lempeng tektonik di selatan Bali. Secara alamiah, mangrove di kawasan Teluk Benoa ini sebenarnya sangat bermanfaat melindungi Bali selatan terutama Denpasar dan Badung. Karena kalau ada tsunami, kalau tidak ada mangrove, habis semua,” ujar Hendrawan yang juga Pembantu Dekan 3 bidang kemahasiswaan di Fakultas Kelautan dan Perikanan.
Tak hanya itu, Teluk Benoa juga merupakan muara dari sejumlah sungai besar seperti Tukad Badung dan Tukad Mati. Tukad merupakan sebutan sungai dalam bahasa Bali.
“Kalau terjadi sedimentasi di kawasan teluk ini, maka bisa dipastikan wilayah Denpasar dan sebagian Badung akan tenggelam. Karena air sungai kesulitan mengalir ke laut,” jelasnya.
Ironisnya, sejumlah proyek terus mendegradasi kawasan Teluk Benoa. Kawasan teluk ini terus didesak oleh pembangunan fisik di atas lahan bakau yang diurug, hingga berubah fungai menjadi ruko, hotel, juga perumahan yang secara kasat mata dapat dilihat di sepanjang Jl. By Pass Ngurah Rai dari wilayah Serangan hingga Nusa Dua.
Megaproyek reklamasi Pulau Serangan di era orde baru dan pembangunan Pelabuhan Benoa merupakan bagian tak terpisahkan dari perusakan Teluk Benoa. Dijelaskan Hendrawan, sebuah penelitian yang dilakukan kelompok peneliti Universitas Udayana menemukan bahwa sebelum reklamasi Serangan dan pembangunan pelabuhan Benoa, perputaran air laut di kawasan Teluk Benoa sangat bagus. “Perputaran arus (tide exchange) air yang bagus berdampak pada ekosistem mangrove yang juga menjadi bagus saat itu,” kata Hendrawan
Namun pasca dibangunnya dua proyek tersebut, perputaran arus air menjadi terhambat. Sebanyak 50 persen air terperangkap di areal teluk karena perputaran arus yang tidak sempurna. “Akibatnya, terjadi sedimentasi di kawasan Teluk Benoa. Ini jelas berbahaya karena teluk ini merupakan muara dari sejumlah sungai besar. Semua zat polutan yang terbawa dari daratan, juga mengendap sehingga pencemaran di kawasan teluk semakin berat, merusak hutan bakau maupun meracuni ikan,” Hendrawan menambahan.
Beban terbaru yang harus ditopang Teluk Benoa adalah pembangunan jalan tol di atas perairan oleh konsorsium yang terdiri dari sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), didukung Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Badung. Jalan sepanjang 12 kilometer itu terbentang di sepanjang Teluk Benoa, menghubungkan Pelabuhan Benoa-Bandara Ngurah Rai- Nusa Dua.
Meski di awal pihak konsorsium mengklaim hanya menggunakan sedikit lahan mangrove di titik Pelabuham Benoa, Bandara Ngurah Rai, dan Nusa Dua, namun ternyata proyek ini sejak awal melakukan proses pengurugan laut dengan kapur. Dalihnya, pengurugan hanya dilakukan sementara dalam proses pembangunan, untuk membawa materiil tiang pancang ke tengah laut.
Dalam Amdalnya di awal, pelaksana proyek menyatakan hanya akan melakukan pemasangan tiang dengan ponton. Namun dalam praktiknya, mereka melakukan pengurugan dengan alasan ponton tidak dapat digunakan karena pasang surut air yang cukup tinggi. Ironisnya, demi proyek yang dirancang untuk APEC Summit, Amdal proyek itu pun direvisi. Pelaksana proyek juga berjanji akan mengeruk kembali batu kapur yang diurug ke laut bila proyek tersebut telah rampung.
“Sayangnya, kami belum sempat melakukan penelitian tentang dampak jalan di atas perairan ini untuk ekosistem di Teluk Benoa. Tetapi yang pasti, jalan ini akan mengubah pola arus, mengingat ada banyak tiang pancang dibangun untuk menopang jalan ini,” jelas Hendrawan.
Pihaknya juga tegas meminta pelaksana proyek jalan tol di atas perairan agar berpegang pada janjinya, mengeruk kembali kapur yang telah diurug ke laut. “Kalau pengurugan itu tidak diperbaiki, jelas akan sangat merusak karena air tidak mengalir. Bali selatan akan tenggelam,” Hendrawan mengingatkan.