Pertambangan di hulu Sungai Ciliwung ini ditengarai menjadi penyebab kerusakan hulu sungai ini. Ia berakibat banjir di kawasan hilir seperti Jakarta dan sekitar
Laporan Walhi Jawa Barat (Jabar) kepada kepolisian atas kasus kerja sama operasi (KSO) Perum Perhutani dengan 12 perusahaan tambang di wilayah Kabupaten Bogor, sudah berjalan lima bulan. Sayangnya, belum ada perkembangan berarti. Walhi menilai, Polda Jabar terkesan tak serius, lamban dan tak transparan dalam menangani kasus ini.
Zenzi Suhadi, pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar, Walhi Nasional mengatakan, proses penyidikan sudah lima bulan dengan fakta dokumen, dan aktivitas menunjukkan perusahaan-perusahaan pemegang KSO Perhutani menambang sebelum dan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan.
Fakta ini mengindikasikan, Polda Jabar sengaja mengulur waktu dan memendam kasus agar perusahaan mempunyai kesempatan mengurus izin. “Atau kalau tidak, ini skenario Polda meredam protes dengan menjalankan penyelidikan tetapi tidak menegakkan hukum,” katanya di Jakarta, Selasa (11/6/13).
Dia mengungapkan, jika Polda Jabar mempunyai spirit penegakan hukum lingkungan, seharusnya memiliki inisiatif menyidik menggunakan pasal dan UU lain seperti UU Lingkungan Hidup. Juga Kepmen Lingkungan Hidup tentang baku mutu air terhadap pencemaran perusahaan ke anak sungai yang menjadi sumber air bersih bagi penduduk di hilir.
Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar mengatakan, sejak dilaporkan 21 Januari 2013, Walhi sudah mendapatkan surat dua kali. Surat tertanggal 12 Februari dan 24 April dari Devisi Propam Polri itu menjelaskan mengenai perkembangan penyelidikan tindak pidana atas perusahaan-perusahaan itu.
Namun, Walhi Jabar tak mendapatkan informasi detail terkait perkembangan Polda Jabar. Dalam surat itu disebutkan Polri sudah meminta keterangan 40 saksi. “Saksi-saksi ini kita gak tahu. Juga mengenai penyitaan barang bukti dokumen,” ujar dia.
Sampai saat ini, ke-12 perusahaan tambang itu sudah ada yang berhenti tetapi masih ada yang beroperasi. Dadan pun merasa aneh. “Maret kita ke sana, rata-rata masih beroperasi. Polda belum menghentikan operasi perusahaan, padahal di surat dikatakan penyitaan barang bukti dokumen.”
Dia menilai, Polda Jabar terlalu lamban untuk menangani kasus ini secara lebih serius. “Padahal barang bukti sudah lengkap, mulai dari surat perjanjian, foto dan film.”
Dadan juga menyayangkan sikap Polda Jabar yang terkesan menghindar dari media terkait perkembangan kasus ini. “Dengan selalu mengatakan, mereka memberikan update ke Walhi Jabar.”
Dalam kasus ini, Perhutani diduga melanggar UU Kehutanan nomor 41 tahun 1999, yaitu pertambangan di kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan. Pasal 38 ayat 3 UU Kehutanan menyebutkan, “penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batas luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.”
Pasal 50 ayat 3 butir (g) menyatakan, setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan. Barang siapa sengaja melanggar diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
“Kasus Perhutani dan KSO, jelas-jelas pelanggaran hukum, merugikan negara dan masyarakat serta berpotensi mengakibatkan bencana ekologi,” kata Dadan.
Pertambangan di hulu Sungai Ciliwung ini ditengarai menjadi penyebab kerusakan hulu sungai ini. Ia berakibat banjir di kawasan hilir seperti Jakarta dan sekitar. “Proses penegakan hukum perkara ini harus cepat, obyektif dan terbuka. Ini untuk kepentingan masyarakat umum.”
Untuk itu, Walhi mendesak Polda Jabar segera menetapkan tersangka dalam kasus dan tidak menutup-menutupi informasi perkembangan penyidikan perkara ini. Walhi juga mendesak gelar perkara terbuka melibatkan publik dan pihak yang berkepentingan. “Kami minta kasus ini diproses hukum ke pengadilan.” Walhi meminta Kementerian Kehutanan proaktif menyikapi pelanggran UU Kehutanan ini.
Paul, Panit I Tipidter Polda Jabar mengatakan, proses penyelidikan lambat karena yang dilaporkan bukan hanya Perhutani, tetapi 12 perusahaan lain. Kondisi ini menyebabkan, penyidikan memakan waktu cukup lama. “Penyidikan kasus ini terus berjalan. Kita sudah penyelidikan hingga proses investigasi ke lokasi di Bogor. Tapi masih harus memanggil beberapa saksi,” katanya pada medio Mei 2013 kepada Mongabay.
Mahmud, Staf Humas Perhutani Jabar-Banten, mengatakan, Perhutani sudah memenuhi panggilan Polda Jabar untuk memberikan keterangan atas dugaan pelanggaran itu. Menurut dia, praktik KSO sudah dihentikan sejak 2006. “Itu pun dikeluarkan sudah berdasarkan peraturan berlaku. Jadi tidak bertentangan dengan hukum. Soal tuduhan KSO tidak ada izin menteri kehutanan itu tidak benar.” Mengenai pemberian izin KSO tanpa izin Menteri Kehutanan, kata Mahmud, tidak benar. “Semua perizinan sudah berdasarkan peraturan.”
Cabut PP 72
Satu lagi penyebab kekisruhan dalam tata kelola hutan di Jawa adalah tumpang tindih aturan hingga berpotensi mengabaikan UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Yakni, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 tahun 2010 tentang Perum Perhutani. Aturan ini memberikan kewenangan berlebihan dan menghilangkan fungsi pengawasan negara atas tata kelola hutan berkelanjutan.
PP pun seakan berkuasa mengalahkan UU. “Walhi mendesak pencabutan PP nomor 72 dan mendorong perubahan kebijakan tatakelola hutan Jawa yang lebih adil, lestari dan berkelanjutan. “