Diantara rintik gerimis hujan yang dingin menusuk tulang di suatu hari Minggu, seekor anak orangutan duduk termangu di atas sebuah papan dan ia berusaha meraih kawat besi yang menjadi kandangnya. Hal ini terjadi tak jauh dari tepian hutan hujan tropis yang dilindungi di Sumatera.
Si bocah orangutan ini telah duduk di kandangnya selama enam bulan. Sama seperti nasib spesies-spesies lain yang berhasil dikandangkan di Aceh, semua kini memilki label harga.
Sebuah wajah perdagangan satwa secara ilegal secara terbuka di negeri ini. “Ini kebun binatang, tetapi anda boleh membelinya,” ungkap istri si pemilik orangutan. Harga seekor orangutan sekitar dua juta rupiah, dan seekor kucing bengal (leopard cat) dihargai sekitar 250 hingga 500 ribu rupiah.
Fenomena ini bak lingkaran setan. Bulan Maret silam, seorang anggota organisasi konservasi di Sumatera yang bekerja menghadang kasus perdagangan satwa ilegal ini menjadi saksi perdagangan seekor bayi anak beruang madu. Sekitar seminggu setelahnya, dua ekor beruang juga menyusul masuk kandang. Kini semuanya sudah tak ada. Sudah laku.
Primata memang seringkali menjadi komoditi perdagangan, atau bahkan mati karena kurang perawatan. Delapan bulan lalu, tiga ekor orangutan juga dikandangkan disini, ungkap para saksi, bersama dengan owa yang kemudian mati. Sementara satu orangutan sudah tidak ada, kemungkinan besar sudah terjual. Saat banjir besar melanda tanggal 10 Mei silam, warga setempat mengatakan bahwa satu orangutan lepas dan satu lainnya mati tenggelam.
Perdagangan satwa yang terancam di Indonesia adalah sebuah aktivitas ilegal, namun jarang sekali ada tindakan penegakan hukum, ungkap beberapa organisasi yang ada di wilayah ini. Seiring dengan meningkatnya penebangan hutan di Aceh untuk perkebunan dan pertambangan, perdagangan satwa ilegal ini pun meningkat. Menurut Sumatran Orangutan Quarantine Centre dari 143 kasus penangkapan orangutan di propinsi ini tak satupun pelaku yang diganjar hukuman.
Di sebuah pasar sayur dekat kampung, seorang pedagang burung yang ditemi oleh reporter menyodorkan menu makanan dari satwa-satwa dilindungi yang bisa disediakannya jika kita memesan dua minggu sebelumnya. Diantaranya adalah burung rangkong, orangutan dan owa yang dihargai sekitar satu juta rupiah.
Kendati satwa-satwa di wilayah Kandang ini dimasukkan ke dalam kandang mereka selama tiga tahun, namun otoritas lokal nampaknya tak berkutik dihadapan sang pemilik yang bernama Limbat, yang dikenal kaya oleh orang setempat dan tak tersentuh.
Pada hari Minggu itu pula, sekitar 15 spesies lain yang diambil dari hutan sekitar juga dipamerkan. Semua disimpan di kandang atau diikat ke pohon. Di dekat si orangutan, empat ekor beruk meringkuk di kandang yang sangat sempit dan penuh dengan sampah. Di dekatnya, dua ekor monyet lain diikat ke pohon, sementara tali berwarna hijau terikat di lehernya.
Selain satwa-satwa itu, masih ada kukang, binturong yang tengah mengendus tangan orang yang menonton, seekor trengiling, tupai dan lainnya.
Saat banjir di bulan Mei silam, seekor buaya besar lepas ke sebuah danau yang berbatasan dengan kandang-kandang ini, namun para penduduk berhasil menangkapnya dan kini buaya itu meringkuk di sebuah kolam kecil yang hanya cukup untuk tubuhnya yang diisi sedikit air.
Diantara satwa yang tidak masuk kurungan, ada seekor rusa sambar yang terikat erat di pohon. Sendi kaki kiri depannya rusak saat menerjang jerat kawat. Kaki yang luka tersebut kini diluruskan dan diikat sedemikian rupa. Sementara dua ekor burung, yaitu bangau dan kowak abu juga terikat erat di tiang.
Di sisi lain lokasi perdagangan satwa ini, sebuah warung beratap seng yang berdentam akibat air hujan menawarkan berbagai jenis minuman dingin untuk para pengunjung. Sayang, saat itu tak seorang pun mampir ke warung.