, ,

Model Pembangunan Abai Lingkungan Picu Bencana di Gorontalo

Model pembangunan yang tak memperhatikan lingkungan memicu bencana di Gorontalo.  Demikian diungkapkan Rugaya Biki, Kepala Bidang Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup, Riset, dan Teknologi Informasi Gorontalo.

Kondisi lingkungan di Gotontalo, katanya, cukup parah, dan terus mengalami degradasi akibat model pembangunan tidak berwawasan lingkungan. “Pembangunan tidak menggunakan kaidah-kaidah ekologi,” katanya saat dialog publik bertajuk, “Bersama Kita Selamatkan Masa Depan Lingkungan Gorontalo” di Gorontalo, Kamis (13/6/13).

Di Gorontalo, setiap tahun mengalami kehilangan dua persen tutupan hutan, karena alih fungsi, penambang emas tanpa izin, illegal logging, dan usaha-usaha perkebunan. Untuk perkebunan sawit, saat ini di Kabupaten Pohuwato, sudah ada enam perusahaan mendapatkan izin sawit per konsesi sekitar 20.000 hektar. “Jika dikalikan enam, perusahaan sawit itu telah merusak120.000 hektar hutan di Kabupaten Pohuwato.”

Masalah lain, sungai-sungai juga mengalami pencemaran sedang, ringan, dan berat. “Galian C juga intens menyumbang perusakan lingkungan.”

Untuk pencemaran laut dan wilayah pesisir juga sangat parah. Dalam 10 tahun terakhir diperkirakan 6.000 hektar hutan mangrove rusak, sedangkan tutupan terumbu karang tersisa 70 persen.“Yang sedang kami lakukan konservasi berbasis peningkatan kapasitas masyarakat,” ucap Rugaya.

Senada diungkapkan Nur Hidayati, Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Nasional. Menurut dia, penyebab utama krisis lingkungan hidup karena alih fungsi lahan, pencemaran, degradasi dan deforestasi. “Baik oleh pembukaan pertambangan, perkebunan besar, pariwisata, industri dan pembangunan infrasturuktur di areal tanaman pangan dan atau daerah penyangga,” ujar dia.

Menurut Yaya, panggilan akrabnya, banjir yang masih melanda sebagian wilayah Gorontalo, bukanlah bencana ekslusif di daerah itu, namun dialami berbagai daerah lain di Indonesia. “Penyebab bencana adalah model pembangunan.”

Pada 2012, terjadi 503 kali banjir dan longsor yang menewaskan 125 orang, kebakaran hutan dan lahan 17.000 hektar dan diperkirakan 470 daerah aliran sungai rusak. “Dampak-dampak krisis ekologi ini adalah korban nyawa, produktivitas rakyat turun, dan sumber penghidupan rakyat hilang.”

Tak hanya itu. Krisis lingkungan ini seringkali menyebabkan konflik agraria,  terutama di sektor perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, dan infrastruktur.

Saat ini, program pembangunan yang digalakkan pemerintah pusat dan harus diikuti pemerintah daerah adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Program ini basis utama adalah ekstraksi sumber daya alam (SDA).

MP3EI tak menawarkan model pembangunan berbeda dari rancang bangun ekonomi sebelumnya: berbasis perusahaan skala besar dan eksploitasi SDA. Sedang kebijakan dan kelembagaan saat ini tak mampu menjawab persoalan dan dampak dari implementasi MP3EI.

“Hampir dapat dipastikan model pembangunan ini akan makin meningkatkan krisis lingkungan hidup, konflik agraria dan konflik sosial, serta pelanggaran HAM.”

Dialog publik ini rangkaian kegiatan Hari Lingkungan Hidup 2013 digelar oleh Forum Lingkungan Gorontalo. Ia terdiri dari lembaga, seperti Japesda, AJI Kota Gorontalo, Jurnal Kebudayaan Tanggomo, Perkumpulan Kelola, Akademi Berbagi, dan Wire-G, serta Walhi Nasional.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,