, ,

Perda Hutan Adat Kajang Ditargetkan Selesai Tahun Ini

Masyarakat adat Kajang dan hutan adat Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang selama ini masuk hutan negara, dalam waktu dekat segera mendapatkan kepastian status.

Setelah dibahas sejak 2008, tahun ini, peraturan daerah (perda) hutan adat Kajang ditargetkan selesai. Perda ini diperlukan untuk mendapatkan pengakuan hutan adat milik masyarakat adat Kajang bukan milik negara. Ini sesuai keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian pasal dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Hal ini menjadi pembahasan utama dalam Refleksi Perda Hutan Adat Kajang yang digelar di Balai Adat Tana Toa, Senin (17/6/13). Refleksi ini dihadiri langsung Wakil Bupati Bulukumba, Syamsudin;  Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Bulukumba, Ammatoa Kajang atau pimpinan tertinggi dalam masyarakat adat Kajang. Juga lembaga non pemerintah yang ikut mendorong perda hutan adat Kajang seperti World Agroforestry Center (Icraf) dan para pihak lain.

Misbawati, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba, mengungkapkan, perda masyarakat adat dan hutan adat Kajang sudah direncanakan sejak 2008. Namun ada beberapa kendala hingga belum terealisasi. “Perda ini sangat dibutuhkan karena terkait dengan kewenangan mengurus kawasan hutan. Nah, di dalam hutan adat itu ada lembaga adat, kami tidak bisa ikut campur dan mencarikan solusi bagi masyarakat adat Kajang,” katanya.

Hutan adat milik masyarakat Kajang luas 331.17 hektar dan masih diklaim milik negara dengan status hutan produksi terbatas (HPT) sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan di tahun 1990. Karena status HPT jadi bisa dieksploitasi. Namun, karena hutan ini milik adat Kajang, jadi bagi siapa saja yang masuk kena denda adat.  Keadaan ini, menjadi masalah bagi Dinas Kehutanan. Solusi pun dicari. “Hasil kajian kami, hampir semua masyarakat adat Kajang sangat membutuhkan perda tentang hutan adat.”

Dia mengatakan, karena kelembagaan adat yang begitu kuat, hutan adat di Tana Toa, satu-satunya hutan yang masih hijau dan lestari di Bulukumba. “Artinya, masyarakat Kajang membuktikan cara mereka sangat tepat dalam mengelola hutan. Inilah kenapa sangat diperlukan pengakuan masyarakat adat dan hutan adat melalui perda. Sudah ada draf raperdanya.“

Senada diungkapkan Syamsudin, Wakil Bupati Bulukumba. Menurut dia, perda terhadap hutan adat sangat diperlukan guna menyelamatkan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah Bulukumba, selalu bergandengan tangan dengan Ammatoa Kajang. Ammatoa juga banyak memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah. “Yang jelas, peralihan hutan produksi terbatas di kawasan adat akan menjadi perhatian dalam pembangunan. Kami akan terus bersinergi dengan masyarakat adat Kajang.”

Sultan, Kepala desa Tana Toa, juga pemangku adat Kajang mengatakan, perda itu sangat perlu sebagai legalitas formal bagi masyarakat adat mengelola hutan adat. Sultan bertugas sebagai penghubung luar dan dalam masyarakat adat Kajang. “Masyarakat adat Kajang ini warisan dunia. Kepentingan adat Kajang juga kepentingan masyarakat adat seluruh rakyat Indonesia.”

Agus Mulyana, fasilitator dari Center for International Forestry Research (Cifor) mengatakan, di Kajang ada titik keseimbangan antara hubungan masyarakat adat dan hutan adat yang ingin mempelajari praktik-praktik tata kelola hutan yang baik dan bertanggung jawab. Untuk itu, peran pemerintah dalam melahirkan regulasi yang melindungi masyarakat adat dan hutan sangat diperlukan.

Enggar Paramita, Communications Officer dari Agroforestry dan Forestry (Agfor) Sulawesi, menambahkan, bersama para pihak sangat mendorong perda masyarakat adat dan hutan adat Kajang.

Agfor sendiri bertujuan meningkatkan mata pencarian adil dan berkelanjutan, bersumber pada agroforestry dan kehutanan, untuk masyarakat di pedesaan di Sulawesi, termasuk pada masyarakat adat Kajang. “Untuk mencapai tujuan ini, Agfor Sulawesi fokus pada tiga komponen yang saling terkait, mata pencahrian, tata kelola, dan lingkungan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,