, ,

Perahu Phinisi, Antara Sejarah dan Hutan Kajang yang Terancam

Perlu ada aksi cepat para pemangku kepentingan di Bulukumba mengatasi keterbatasan pasokan kayu bitti. Hingga pembuatan perahu phinisi tetap berjalan, pasokan kayu tersedia tanpa mengancam hutan, terutama di Tana Toa yang masih memiliki pasokan kayu bitti.

Pada abad ke 14, putra mahkota kerajaan Luwu menggunakan phinisi berlayar menuju negeri Tiongkok. Dia lalu memperistri putri Tiongkok bernama We Cudai.  Demikian kutipan naskah La Gagaligo, sebuah epik besar di Sulawesi Selatan (Sulsel). Cuplikan ini menggambarkan perahu phinisi, khas Sulsel ini tangguh dalam mengarungi samudera. Ia juga penuh sejarah.

Kini, di tengah pasokan kayu sulit, pembuatan perahu phinisi pun menimbulkan persoalan baru, terutama bagi masyarakat adat Kajang di Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

Mengapa? Karena salah satu bahan utama dan wajib dalam membuat perahu phinisi dari kayu bitti atau kayu gofasa kini mulai berkurang di sebagian besar kawasan di Sulsel. Hanya di hutan milik masyarakat adat Suku Kajang, di Tana Toa, kayu ini masih melimpah. Bukan mustahil jika kayu bitti sudah habis dari kawasan lain, hutan adat Suku Kajang menjadi sasaran perambahan.

Kayu bitti (Vitex cofasus) bahan utama membuat rangka lambung kapal karena bentuk cenderung bengkok atau melengkung. Asar Said Mahbub, dosen Kehutanan Universitas Hassanudin Makassar, kayu bitti banyak tersebar di beberapa wilayah di Sulsel, namun mulai berkurang.

Kayu jenis ini relatif masih terjaga dan berkualitas bagus ada di Tana Toa, Kajang.  Kayu ini disenangi perajin, karena tidak disenangi cacing laut  dan melengkung alami. “Karena untuk membuat lambung kapal, kayu tidak boleh lurus dan disambung. Harus dipakai kayu yang bengkok alami. Itu hanya ada pada bitti,”  katanya kepada Mongabay, Rabu(19/6/13).

Kayu bitti makin bengkok makin mahal, per kubik dihargai Rp 2,5 juta. Menurut perajin perahu, bitti kualitas nomor satu ada di Kajang.  “Kenapa kualitas sangat bagus, karena disebarkan burung lewat kotoran di hutan adat Kajang.” Bitti, tidak hanya ada di Sulsel juga tersebar di tempat lain, seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi Tenggara.

Pusat pembuatan perahu phinisi di Sulsel ada di Desa Tana Beru, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Di sepanjang pesisir pantai di desa itu terlihat kapal-kapal masih berbentuk rangka berjejer rapi menghadap laut. Puluhan kayu bitti dengan panjang dua meter tertumpuk dan bercampur dengan kayu-kayu bekas lain. Di sini banyak phinisi dibuat sesuai pesanan.

Pemesan phinisi tidak hanya dari dalam negeri, juga luar negeri. Mustari, pengolah kayu yang bekerja di PT Phinisi Semesta Bulukumba mengatakan, saat ini mereka mengerjakan pesanan dari luar negeri dengan harga Rp1,7 miliar. Phinisi dikerjakan tujuh orang dengan kapasitas 300 ton berbobot 2,5 ton. Mereka mendapat bayaran Rp150 juta.

Menurut dia, bahan-bahan phinisi dari kayu ulin atau kayu besi dan kayu bitti. Kayu ulin didapat dari Sultra, dan kayu bitti dari Kabupaten Bone dan Sinjai. “Tapi kayu bitti mulai berkurang di Bone dan Sinjai. Paling banyak kami dapat dari Kajang.”

Untuk satu batang kayu bitti berusia 30-40 tahun sepanjang rata-rata dua meter, harga Rp50 ribu. Hal sama diungkapkan Jawali, pekerja kapal lain. Menurut dia, kapal yang mereka buat ini dipesan orang Arab Saudi. Ia jenis kapal pesiar tetapi belum selesai dan sudah berjalan satu tahun. “Pemesan belum memberikan uang tambahan.” Kapal itu rencana akan dibawa ke Bali. Biasa, satu mereka selesai kerjakan tujuh sampai 10 bulan.

Jawali mengatakan, mereka senang jika pemesan kapal dari luar negeri atau pengusaha ikan bukan pemerintahan. Sebab, kalau pemesan dari kantor dinas pemerintahan, uang banyak dipangkas. “Saat ini termasuk banyak pemesan. Dalam satu tahun ada sekitar 20 kapal.”

Agus Mulyana, peneliti dari Center for International Forestry Research (Cifor), miris dengan kondisi bitti di Kabupaten Bulukumba, khusus di Kajang. Jika dikalkulasi, kayu usia sampai 30-40 tahun itu dibeli dengan harga Rp50 ribu per batang dan dijadikan kapal Rp1,7 miliar.

Jika pekerja kapal berjumlah tujuh orang itu dibayar Rp150 juta, rata-rata mereka mendapat Rp2 juta perbulan selama bekerja 10 bulan.“Secara ekonomi pekerja kapal phinisi itu rugi. Masyarakat Kajang yang hutannya diambil untuk kayu bitti juga merugi. Yang untung hanyalah pengusaha atau pemborong.”

Artinya, kata Agus, industri pembuatan kapal itu hanya membuka lapangan pekerjaan,  tetapi tidak memihak kepada masyarakat miskin dan lingkungan. Sebab hutan-hutan di kawasan Bulukumba yang ada kayu bitti lama-lama akan hilang.

Philip Manalu, peneliti dari Cifor mengungkapkan hal senada. Menurut dia, pemangku kepentingan di Bulukumba, harus segera mencari formula tepat mengatasi masalah ini. Hingga pembuatan perahu bersejarah tetap berjalan dan pohon bitti tetap lestari.

Dia mengusulkan, salah satu menggunakan metode silvikultur atau pemuliaan tanaman dengan pengaturan jarak tanam, melakukan tehnik-tehnik budidaya tanaman hingga lebih baik dari segi produktivitas. Bisa juga pemupukan organik dan non organik, pemangkasan cabang dan tehnik penjarangan, serta pemanenan. “Atau juga bisa rekayasa genetika agar usia pohon bitti bisa lebih pendek namun kualitas tetap sama untuk di panen.”

Agus Mulyana dan Philip Manalu berharap pembuatan perahu phinisi bisa terus berjalan karena sangat bersejarah. Namun, di sisi lain tetap menjaga kelestarian hutan agar tidak terjadi degradasi.

Tumpukan kayu bitti yang belum diolah sebagai bahan utama pembuatan lambung perahu phinisi. Foto: Christopel Paino
Tumpukan kayu bitti, sebagai bahan utama pembuatan lambung kapal dengan lengkungan alami. Kini, kayu jenis ini sudah menipis, salah satu yang masih banyak di hutan Tana Toa, milik Suku Kajang. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,