,

Raja dan Raju, Anak Gajah yang Kehilangan Ibu Dipelihara Warga

Warga bertekad memelihara Raja dan Raju sendiri. Warga tak ingin menyerahkan dua anak gajah yang mereka temukan ini kepada aparat karena menilai pemerintah selama ini tak peduli dengan masalah gajah yang kerab masuk desa mereka. 

Di bawah kerimbunan pohon sentang, di pinggiran Sungai Krueng Keurotok, disulap warga kampung menjadi tempat pemeliharaan gajah sejak tiga bulan lalu. Pinggiran sungai yang berbatasan dengan hutan dan kebun itu biasa sepi, mendadak menjadi pusat keramaian. Orang-orang datang silih berganti, sejak ada anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dipelihara warga di sana.

Pada 30 April 2013, seekor anak gajah ditemukan warga berputar-putar di sekitar kebun di Desa Blang Pante, Kecamatan Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara. Tak tampak ada induk atau kawanan seperti anak-anak gajah yang selalu dalam lindungan kelompoknya. Khawatir menganggu kampung, warga menangkap dan memelihara di pinggiran sungai teduh. Anak gajah itu diberi nama Raja. Ia berumur sekitar dua tahun.

Selang dua setengah bulan kemudian,  warga menemukan lagi seekor bayi gajah sebatang kara di areal kebun lain. Gajah itu kecil dan lemah. Kulit masih merah, seperti belum lama dilahirkan. Ketika saya berkunjung ke Blang Pante pada Jumat 20 Juni 2013, bayi gajah itu baru dua hari dipelihara warga, hingga informasi penemuan ini belum banyak orang luar desa yang tahu.

Hasan, tokoh pemuda Desa Blang Pante, mengatakan, bayi gajah itu mungkin ditinggalkan induk. “Kami khawatir induk mati entah di mana, mungkin ada makan racun.”

Si bayi gajah malang itu diberi nama Raju. Raju kini dipelihara bersama ]Raja. Karena masih bayi, Raju ditempatkan di sebuah kandang  seukuran 2 x 3 meter persegi dipagari batang-batang bambu dan diberi naungan terpal.

Raja dan Raju kehilangan ibu yang kini entah dimana. Tak ada tanda-tanda ada gajah yang datang mendekat ke kampung untuk menjemput anak-anak gajah yang terpisah. Biasa, jika ada anak gajah hilang, kawanan akan datang ke kampung mencari.

Raja dan Raju diasuh Abdul Muthaleb, pemuda berumur 25 tahun. Abdul mengatakan, sama sekali tidak paham soal merawat gajah. Dia agak kesulitan merawat Raju dibanding Raja yang sudah bisa makan. Seorang dokter hewan datang melihat kondisi Raju. Dokter menyarankan, melindungi Raju dari panas matahari dan memberi susu formula. “Dia  tidak mau makan. Dikasih susu empat sampai lima kali sehari dan air putih. Juga ada dikasih pisang yang dihaluskan dan dicampur dengan air supaya cair hingga mudah dikasih makan.”

Dia memberikan Raju air putih dan susu yang dimasukkan dalam plastik. Plastik itu dibolongkan di bagian ujung dan disuapkan ke mulut si bayi gajah. Dia belum mempunyai botol susu bayi yang bisa membantu Raju lebih gampang minum. Setiap habis minum susu, Raju akan tidur berbaring di tanah.

Kehadiran Raja dan Raju yang lucu dan jinak di desa, menarik perhatian banyak orang, terutama anak-anak. Lokasi itu makin ramai sejak ada Raju. Sejumlah orangtua membawa anak-anak mereka melihat Raju yang lebih jinak dan bisa disentuh. Para pengunjung berupaya mendekat ke Raja dan memberi makanan.

Untuk membantu biaya perawatan Raja dan Raju, warga meletakkan kotak sumbangan yang ditulis “Soe Jak ngieng Gajah Sumbangan Alakadar” (siapa yang menonton gajah sumbangan ala kadarnya). Abdul bilang, satu hari mereka perlu uang Rp 80 ribu untuk makan Raja dan susu Raju.

Petugas Dinas Kehutanan dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh sejak awal melakukan pendekatan untuk membawa Raja ke Pusat Konservasi Gajah di Saree, Aceh Besar. Namun masyarakat menolak. Mereka mengatakan akan memelihara gajah yang ditemukan ini.

Menurut Hasan, mereka tidak akan menyerahkan anak gajah itu dan akan terus memelihara hingga besar. “Pemerintah tidak pernah peduli dengan masalah gajah di desa kami.”

Di Desa Blang Pante, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Lhokseuamwe ini, setiap tahun kawanan gajah berjumlah 80 ekor dan 40 ekor sering turun ke kebun warga dan menghancurkan tanaman seperti karet, sawit, coklat dan durian. Masalah warga dengan gajah sudah terjadi sejak 1980-an. Pada 1989, ada warga meninggal dunia diinjak gajah.

Konflik warga dengan gajah makin menjadi sejak 2002. Kini setiap enam bulan sekali gajah pasti masuk kampung. Gajah-gajah itu hidup di hutan Sarena Maju berjarak hanya tiga kilometer dari desa. Hasballah, seorang warga, menunjukkan kepada saya kondisi hutan di seberang Sungai Krueng Keurutok rusak akibat pembukaan lahan untuk kebun karet milik PTP V yang tak jadi ditanam.

“Kami sudah mengadu ke pemerintah untuk menangani masalah gajah ini, tapi tak ada yang peduli karena alasan tidak ada dana,” kata Hasballah. Kebun dia sering jadi sasaran gangguan gajah.

Warga swadaya mengusir sendiri gajah-gajah yang masuk ke kebun mereka. Mereka mengusir dengan suara-suara gaduh dari mercon, obor, dan meriam karbit. Gajah susah dihalau. “Kami berharap, dengan kami pelihara anak-anak gajah ini sampai besar tidak menggangu lagi tanaman.”

Populasi gajah sumatera yang kritis makin menurun di sejumlah kantong habitat di Sumatera. Aceh merupakan habitat utama gajah sumatera yang diperkirakan masih menyimpan sekitar 500 ekor tersebar hampir di semua daerah dataran rendah. Saat Aceh, damai dari konflik bersenjata, aktivitas manusia kembali meningkat di hutan untuk mengambil kayu, membuka lahan, penambangan.

Sejak 2006, konflik gajah manusia terus meningkat dan menimbulkan kerugian baik korban jiwa manusia, kerugian materi dan kematian gajah tinggi. Selama 2012, dilaporkan 14 gajah mati sebagian besar diracun di perkebunan sawit.

Anak-anak gajah yang terpisah dari induk dan kelompok terjadi di Kabupaten Aceh Timur pada Desember 2012. Anak gajah itu kini dipelihara BKSDA Aceh di Pusat Konservasi Gajah di Saree. Begitu juga Raja dan Raju. Tragis nasib seekor anak gajah yang terpisah dari induk di Geumpang Kabupaten Pidie Jaya, yang akhirnya mati terkena setrum listrik pada Mei 2013.

Raju tertidur usai minum susu. Foto: Chik Rini
Abdul Muthaleb memberi minum susu formula kepada seekor anak gajah sumatera bernama Raju. Raju ditemukan warga tergeletak seorang diri, tanpa ibu dan kawanannya. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,