, ,

Warga Ingin Akses Terbatas ke Taman Nasional Gunung Ciremai

Sejak 2004, kawasan hutan di Gunung Ciremai yang berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani beralih status menjadi taman nasional. Hutan di kawasan ini rusak parah. Perbahan staatus dengan harapan mampu mengembalikan kelestarian hutan sesuai sebagai kawasan konservasi.

Kebijakan keras pun keluar dari pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) baru-baru ini: warga di sekitar kaki gunung dilarang bercocok tanam. Aturan ini menuai protes keras. Beberapa waktu lalu ratusan petani yang hidup di daerah perbatasan TNGC demonstrasi di DPRD Kuningan menuntut kebijakan ini diubah. Masyarakat meminta akses terbatas dengan tetap wajib menjaga kelestarian hutan.

Ahyadi, petani Penggarap di Desa Setia Negara, Kecamatan Cilimus, Kuningan mengatakan, mulai menggarap lahan di tahun 2008. “Dulu ada orang Taman Nasional yang mempersilakan orang-orang sekitar kaki gunung bercocok tanam dengan catatan tidak merusak hutan. Hutan tetap dijaga, dan warga semangat beramai-ramai bercocok tanam di hutan,” katanya, pertengahan Juni 2013.

Ahyadi mengatakan, izin yang diberikan itu hak guna pakai. Warga tidak mempunyai hak milik, hanya kesempatan mengelola lahan dengan syarat selain bercocok tanam, harus menanam pohon tegakan seperti rambutan, durian, dan lain-lain.“Saya ikut menggarap lahan di sana. Total uang yang sudah saya keluarkan sekitar Rp10 juta untuk membeli bibit pohon. Waktu itu belum ada petugas di daerah sini, bupati juga pernah mengatakan silakan kelola yang penting hutan tetap lestari.”

Ahyadi mengelola lahan seluas satu hektar. Jenis pohon antara lain nilam, cengkeh, dan kopi. Sistem penanaman dengan tumpang sari. Jadi, tidak membuka lahan besar-besaran. Hutan dijaga agar tetap lestari, tapi masyarakat bisa bercocok tanam.

“Pas lagi semangat-semangatnya menanam, tiba-tiba pihak taman nasional memasang plang bertuliskan larangan bercocok tanam maupun mengambil apapun dari dalam kawasan taman nasional,” ujar Ahyadi.

Kebijakan ini merugikan masyarakat di sekitar kaki Gunung Ciremai. Masyarakat pun menjadi antipati dan kehilangan rasa memiliki terhadap gunung tertinggi di Jawa Barat ini. “Akhirnya karena masyarakat sudah tak boleh menanam di sana, mereka jadi cuek. Kemaren saja pas ada kebakaran hutan, tak ada masyarakat yang ikut membantu memadamkan api.”

Menurut dia, ada sekitar 27 desa di sembilan kecamatan berbatasan langsung dengan TNGC. Mereka merasa kesulitan jika akses ditutup sama sekali.

Serupa dialami Maman, warga desa Padabeunghar. Menurut dia, dulu Desa Padabeunghar itu daerah penghasil pisang terbesar di Kuningan. Maman dulu ikut pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) kala masih dipegang Perhutani. “Dulu warga bisa tumpang sari di kawasan hutan gunung Ciremai. Sekarang untuk beli pisang saja, kita harus ke  ke Rajagaluh.”

Dia mengatakan, penghasilan masyarakat sekitar Padabeunghar, menurun sejak ada peraturan ini. “Dulu ketika kawasan ini masih menjadi milik Perhutani hutan rusak parah. Sekarang, bukan berarti kami ingin hutan ini ke Perhutani lagi. Kami tetap ingin sebagai kawasan taman nasional, cuma berharap peraturan diperlonggar,” ujar Maman.

Dia sadar, upaya TNGC melakukan konservasi di kawasan ini harus didukung. Hanya, dia berharap TNGC  bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat yang tinggal di sekitar kaki gunung. “Kami hidup mengandalkan dari hasil yang ditanam di gunung. Kalau sekarang kami tak boleh menanam lagi, susah juga. Kami hanya meminta taman nasional menyediakan lahan tertentu agar bisa kami tanami, dengan catatan kami tidak akan merusak hutan.”

H Maryoto, Kepala UPT Kebun Raya Kuningan mengatakan, peralihan status menjadi taman nasional karena hutan Gunung Ciremai rusak parah. Saat itu, pemerintah daerah mengusulkan ke menteri dikaji jangan sampai ada kerusakan di kawasan itu. “Setelah dikaji, ternyata pertimbangan Kementerian Kehutanan menetapkan menjadi kawasan konservasi .” Dia terlibat langsung dalam proses alih status menjadi TNGC  ini.

Setelah beralih status, ada Peraturan Menteri Kehutanan nomor 19 yang berisi kegiatan seperti PHBM masih boleh di kawasan TNGC. Ada juga surat edaran dari Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) menyebutkan pengelolaan taman nasional harus berkolaborasi dengan masyarakat sekitar.

Maryoto menilai, pemangku kebijakan di TNGC tidak bisa menterjemahkan peraturan Menteri nomor 19 maupun surat edaran dari Dirjen PHKA.  Padahal, jika mengacu dua hal itu, masyarakat masih boleh mengelola lahan di sekitar taman nasional.

TNGC, katanya, kaku mengutip UU 41 tahun 2007 tentang Kehutanan. Dalam UU itu, masyarakat tidak boleh berakses di dalam kawasan konservasi, jikapun masuk ada aturan harus mengurus surat izin masuk kawasan konservasi. “Hingga peluang ini tertutup. Sebenarnya ini bisa terbantahkan dengan ada dua regulasi tadi,” ucap Maryoto.

Sebelum menjadi kawasan taman nasional, pemerintah Kabupaten Kuningan, berkomitmen menjadikan kota itu model pengelolaan kawasan taman nasional berkolaborasi dengan masyarakat. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi. Hanya, ketika penetapan zonasi masyarakat tidak dilibatkan. “Saya selaku orang yang ikut merintis lahirnya kawasan taman nasional berharap keterlibatan masyarakat tetap kita adopsi. Tapi pada daerah-daerah yang memang memungkinkan. Kalau di daerah yang tidak memungkinkan tumpang sari, jangan memaksakan juga. Untuk zona tradisonal dan pemanfaatan mungkin masih bisa.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,