Menindaklanjuti laporan yang dikirimkan oleh sejumlah kelompok lingkungan di Indonesia, salah satu raksasa bisnis bubur kertas di dunia, Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) telah membatalkan sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) mereka. FSC adalah salah satu lembaga yang menerbitkan standar kayu yang sudah memenuhi kaidah-kaidah ramah lingkungan, baik dalam proses penanaman, perawatan hingga pemanenannya.
“Pada tanggal 14 Juni 2013 silam, FSC International telah menerima surat tertulis dari kantor perwakilan APRIL di Asia Pacific dan Cina untuk membatalkan sertifikasi FSC mereka,” ungkap pihak FSC dalam pernyataan mereka. Alasan pembatalan ini sendiri tidak dikemukakan oleh APRIL sejauh ini.
Setelah pembatalan ini, APRIL enggan berkomentar lebih jauh terhadap pertanyaan yang diajukan. Namun, Greenpeace bersama WWF Indonesia dan Rainforest Action Network yang mengirimkan pengaduan tertulis kepada FSC pada 23 Mei 2013 silam perihal APRIL ini mengatakan bahwa langkah ini akan secara efektif mendorong investigasi FSC lebih jauh terhadap praktek penebangan yang dilakukan oleh APRIL.
“Kabar yang kami terima sejak Jumat pekan silan bahwa sebelum sekelompok lembaga lingkungan ini mengirimkan surat protes kepada FSC dan bisa melakukan investigasi lebih lanjut terhadap praktek penebangan APRIL di lapangan, perusahaan ini sudah mengundurkan diri terlebih dulu dari skema sertifikasi FSC,” ungkap Bustar Maitar dari Greenpeace Southeast Asia dalam blogpostnya. “Nampaknya APRIL tak mau mengambil resiko soal ini. Dengan menarik diri dari FSC sebelum mereka ditendang, APRIL berharap bisa menghindari publikasi yang akan mempermalukan mereka, terutama terkait berbagai kasus perusakan hutan.”
APRIL – perusahaan penghasil bubur kertas kedua terbesar di Indonesia- telah menjadi sasaran tembak dari para aktivis lingkungan terkait praktek dan manajemen kehutanan mereka, yang mengakibatkan konversi hutan alam dan lahan gambut di Sumatera menjadi perkebunan akasia. Kendati mengaku bahwa mereka menjalankan operasi perusahaan mereka sesuai dengan koridor undang-undang yang berlaku dan menjalankan praktek bisnis yang berkelanjutan, pada saat yang bersamaan mereka memiliki banyak konflik dan penolakan dari masyarakat sekitar hutan. Salah satunya adalah dengan petani di Pulau Padang, Riau yang sempat melakukan aksi jahit mulut tahun silam.
Melihat fakta ini, upaya APRIL untuk meraih sertifikasi FSC bisa menjadi sasaran empuk bagi para aktivis lingkungan. Salah satunya yang dilakukan oleh kelompok lingkungan Greenpeace, yang menggunakan fakta-fakta pada perkembangan terkini sebagai upaya untuk memperkuat skema sertifikasi kayu.
Hal ini bukan pertamakalinya Greenpeace meminta agar sertifikasi yang dikeluarkan oleh FSC memiliki standar yang lebih ketat, namun pengaruh kelompok ini terbatas akibat adanya struktur yang terdiri dari multi mitra di dalam FSC sendiri, dimana standar diputuskan oleh semua member dengan berbagai latar belakang kepentingan. Pendapat serupa juga disampaikan oleh aktivis lingkungan lainnya yang menyatakan bahwa standar yang dianut oleh FSC masih terlalu lemah, diizinkannya perusahaan yang pertamakali pernah menebang hutan alam dan tidak mencegah potensi terjadinya ‘pencucian label’ adalah apa yang tengah terjadi dalam kasus APRIL saat ini.
Secara keseluruhan, FSC telah menerbitkan sertifikasi bagi 179 hektar hutan di 79 negara di seluruh dunia, berbasis atas kriteria lingkungan, ekonomi dan sosial. Sebagian besar hutan-hutan ini berada di kawasan tropis.