Kehancuran Hutan Pulau Rupat, Tercerabutnya Masyarakat Adat Akit di Riau

Kepulan asap pekat menyeruak dari bekas tebangan di atas tanah bergambut: bau asap menyengat hidung. Kiri kanan jalan bekas bakaran masih terlihat. Saya melihat ada drum berisi minyak, dan eskavator yang disewa warga untuk meratakan pohon dan membuat akses jalan. Kata Zulkifli, seorang warga Kelurahan Pergam, saya menginjak kaki di atas tanah bergambut bekas tebangan seminggu lalu. Kayu-kayu berserakan. Bekas pohon tebakar. Di atas pondokan, sekira jarak 200 meter saya melihat api membakar hutan dan mengeluarkan kepulan asap berwarna putih pekat.

Hutan alam Pulau Rupat dibunuh. Pohon-pohon dibakar menggunakan bensin. Pohon-pohon dicerabut paksa dari dalam tanah dengan eskavator.

Investigasi Eyes on The Forest pada Maret 2013 menemukan tempat saya berdiri masih berhutan,sementara tak jauh dari situ, PT Sumatera Riang Lestari, anak perusahaan dari grup APRIL milik taipan Sukanto Tanoto pada Maret 2013 melakukan penebangan pohon ramin. “Ketika kami melalukan observasi singkat bersama media tahun lalu, PT SRL diduga menebangi pohon ramin, tapi mereka tak ditindak maupun dipersalahkan. Dulu hutan alam ini masih rimbun, sayang akhirnya juga ditebangi,”kata Afdhal Mahyuddin dari EoF.  “Baru enam bulan ini dibuka (hutan) oleh perusahaan,” kata Zulkifli.

Sekira 600 meter dari hutan yang sedang terbakar, saya mendekati “sempadan” PT Sumatera Riang Lestari. Sempadan PT SRL dengan Kelurahan Pergam dibatasi dengan kanal memanjang yang dibuat perusahaan dan sebuah kayu bekar bakaran berdiri dicat merah tanda patok batas.

Soal kebenaran “sempadan”, masih kontroversi. “Perusahaan bilang berdasarkan peta ini areal perusahaan. Jauh sebelum perusahaan masuk ke Pulau Rupat, kami sudah ade,” kata Zulkifli. Konflik pun terjadi sejak perusahaan masuk ke Pulau Rupat pada 2007, lantaran tanah masyarakat masuk dalam konsesi PT SRL.

Kondisi terakhir hutan di sekitar Pulau Rupat, enam bulan silam wilayah ini adalah hutan lebat. Foto: Made Ali
Kondisi terakhir hutan di sekitar Pulau Rupat, enam bulan silam wilayah ini adalah hutan lebat. Foto: Made Ali

Di tepi kanal galian PT SRL, dari jarak sekira 300 meter satu alat berat sedang menumpuk kayu di tepi kanal. Kami mendekati alat berat itu untuk memotret sambil melihat sekeliling: tanah-tanah berlubang bekas kayu dicabut, pohon dan kayu tergeletak, rumput mulai bertumbuhan, tanah gambut terbuka dan tersisa pohon ramin tinggi menjulang tinggi belum ditebang, ironisnya ada bekas kayu terbakar dalam areal PT SRL.

PT SRL adalah anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dibawah grup APRIL (Asia Pacific Resources International Limited). Sejak diberi IUPHHK HT pada 1992 luas PT SRL dari 143.205 ha berubah seluas 215.305 Ha pada 2007. Artinya sepanjang 15 tahun luas areal konsesi HTI PT SRL bertambah seluas 72.100 ha. Konsesi PT Sumatera Riang Lestari di Pulau Rupat atau Blok IV Bengkalis seluas 38.210 ha.

Izin PT Sumatera Riang Lestari bermasalah menurut Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau melalui Surat Nomor : 522.2/Pemhut/3073 tanggal 28 Oktober 2009 telah menolak  Usulan RKT UPHHK‐HTI Tahun 2009 An. PT. Sumatera di Blok III Kubu Kabupaten Rokan Hilir, Blok IV P. Rupat Kabupaten Bengkalis dan Blok V P. Rangsang Kabupaten Meranti, karena “tidak direkomendasikan untuk menghindari terjadinya permasalahan dan konflik sosial.”

Namun Menteri Kehutanan tetap memberi izin menebang hutan alam, tempat budaya Akit menggantungkan hidup. Sebelum PT SRL Masuk ke Pulau Rupat, rimbunan hutan alam Pulau Rupat tempat berburu masyarakat adat Akit.

Di Pulau Rupat, umumnya masyarakat Akit tinggal di pinggir pantai Rupat. Pemukiman mereka terbesar di Desa Titi Akar dan Desa Hutan Panjang. Berburu di hutan dan menangkap ikan di lautan, tradisi mereka yang hampir punah.

Rumah masyarakat adat Suku Akit di Pangkalan Nyirih, Rupat Selatan. Foto: Made Ali
Rumah masyarakat adat Suku Akit di Pangkalan Nyirih, Rupat Selatan. Foto: Made Ali

Eik, 55 TAHUN, warga Akit tinggal di dusun Pancur, Desa Pangkalan Nyirih menuturkan, baru saja pulang dari kebun karet miliknya. Pria berkacamata itu menuturkan 30 tahun lalu dirinya dan masyarakat Akit lainnya leluasa berburu babi di hutan alam Pulau Rupat. Babi selain untuk dimakan, sisanya dijual sebagai penghasil tambahan. Dalam sehari, sekali berburu bisa dapat 5-6 ekor babi. Tempat buruannya di Kelurahan Pergam dan Desa Mesim, dahulunnya adalah hutan alam.

Setelah perusahaan hadir di tengah Rupat.”Kami dilarang berburu dan mencari kayu hutan karena perusahaan membuat plang dilarang masuk dalam konsesi mereka,” kata Eik yang masih melakoni kebiasaan berburu hingga kini bersama sekira 50 orang Akit lainnya.

Kini tempat buruan mereka, tidak lagi di hutan alam Pulau Rupat. Eik saat ini berburu di kebun-kebun karet dan sawit milik warga. Sudah 5 bulan ini dirinya tidak berburu, dalam seminggu dia hanya memasang jerat di kebun karet dan sawit. Empat hari sekali dia melihat jeratannya. Untuk berburu dia harus menempuh 40 kilometer berjalan kaki dari Desa Nyirih menuju Pergam. “Hutan tak ada, tak semangat lagi berburu,” kata Eik. Eik bersama istri dan ketiga anaknya tinggal di atas rumah panggung beratapkan rumbia berpapan kayu, khas rumah masyarakat Akit. Di samping pintu tertulis: rumah tangga miskin 2011.

“Kehadiran PT SRL paling menyolok mengambil lahan masyarakat di Desa Hutan Panjang,” kata Boy B Lontoh, ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Hutan Panjang, 58 tahun, yang sudah tinggal di Desa itu selama 20 tahun dari Manado. “Perusahaan tak ada sosialisasi terkait tata batas.  Masyarakat Akit tahunya kalau mau berburu ke hutan dilarang oleh perusahaan, berarti itu milik perusahaan,” Boy menyebut dari 3.104 penduduk Desa Hutan Panjang, 90 persennya masyarakat asli Akit.

“Hampir 17 tahun saya tidak pernah lagi berburu. Karena hasil buruan tak ada lagi di hutan, hutan tak ada lagi karena diambil perusahaan,” kata Nono, 32 tahun, warga Hutan Halus desa Hutan Panjang. “Kami pernah mau masuk ke hutan ambil kayu untuk bangun rumah, dilarang perusahaan dan dijaga Brimob. Tapi, kalau perusahaan ambil kayu, Brimob tidak melarang,” Nono saat ini hanya mengandalkan berkebun karet miliknya.

“Babi dan kancil tak ade lagi di hutan setelah perusahaan membabat hutan. Cari makan tak ada lagi di hutan,” kata Eteh, perempuan 48 tahun, saudara Nono di atas rumah panggung miliknya dekat dari laut. “Kalau kayu tak di hutan tak ade lagi, kami mati pakai kayu karet,” kata Eteh menyebut kebiasaan masyarakat Akit memakai kayu alam bila hendak menguburkan orang meninggal.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,