Angin berhembus tenang ketika sore mulai menguning. Padi-padi hijau merona. Di perbukitan itu, sawah berpematang tersusun rapi bak anak tangga berombak. Saling susul-menyusul. Pohon-pohon tinggi menjulang bersenandung desir. Di seberang pepohonan, hutan Campaga berada. Tak jauh dari hutan, para petani muda menyingsingkan lengan baju. Beradu dengan tanah dan cangkul.
Mereka tak hanya bekerja dengan rutinitas sebagai petani, namun membangun kesadaran bagi pemuda-pemuda lain di kampung itu. Mereka menyadarkan, bahwa masa depan Campaga ada pada hasil pertanian, khusus kebun campur. Untuk itu, hutan adalah ibu yang harus dilindungi dari tangan-tangan penjarah bermodal.
Campaga, nama kelurahan di Kecamatan Tampobulu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Ia juga nama kelompok tani binaan, untuk petani muda itu. Mereka menanam cengkih, cokelat, kopi, pala, dan durian, sebagai sumber mata pencahrian unggulan.
Bibit-bibit tanaman itu memenuhi kebun demplot (demonstration plot) milik petani Campaga. Mereka ini kelompok tani binaan berusia muda, rata-rata 25 tahun. Mereka tak risih dipanggil petani. Dengan bertani, mereka membentengi diri dari serangan modal yang akan merebut tanah Campaga suatu saat nanti.
“Kelompok tani di sini sebagian besar anak-anak muda. Sebab orang-orang tua itu masih bertani dengan cara tradisional dan susah keluar dari cara berpikir lama,” kata Sahabuddin Hamid, petani muda Campaga berusia 26 tahun, kepada Mongabay, pertengahan Juni lalu.
Topografi Campaga terdiri dari daerah dataran tinggi berbukit-bukit dengan ketinggian kurang lebih 500-700 Mdpl. Kondisi tanah kampung ini relatif subur hingga sangat cocok untuk berbagai jenis tanaman. Baik tanaman jangka panjang, perkebunan ataupun semusim, persawahan dan holtikultura.
Supriadi, Ketua Kelompok Petani Campaga, mengatakan, saat ini mereka menjadikan cengkih sebagai tanaman utama karena secara ekonomi lebih tinggi meski dipanen setahun sekali. Saat ini, harga per kg kering mencapai Rp150 ribu, yang masih basah Rp35. Setelah cengkih, kakao atau cokelat menjadi tanaman unggulan. Ada juga kopi menjadi primadona.
Kelompok petani ini tterdiri dari 12 pemuda dan lima perempuan. Dengan bantuan dari Agfor Sulawesi (Agroforestry and Forestry) sejak pertengahan 2012, kelompok ini sudah membangun pembibitan menghasilkan 5.555 bibit dari berbagai spesies, seperti cengkih, cokelat, pala, durian, dan kopi. Ada juga tanaman hutan, seperti jati putih, mahoni, suren, sengon buto, dan sengon putih.
“Kami membangun komunikasi dengan kelompok petani dan masyarakat di luar kelompok tani untuk merehabilitasi dan intensifikasi, .seperti pada kebun cokelat di Campaga,” ucap Hamsir, petani muda lain.
Pada 2011, banyak petani di kampung mereka menanam cokelat dan cengkih tetapi tidak berbuah. Tanaman cokelat banyak diserang penyakit hingga ditebang. Setelah ada kelompok tani yang diisi anak-anak muda, kesadaran mulai tercipta. Mereka menemukan cara pengelolaan baru.
Hamsir mengatakan, dengan bantuan Agfor dan Cifor, mereka memperluas wawasan dan pengetahuan petani dengan kunjungan belajar di kebun contoh cokelat di kabupaten Luwu Timur. Di sana dia belajar teknik sambung samping, sambung pucuk, cara membuat kompos dari kulit cokelat, dan tehnik pertanian yang baik.
Dalam kelompok tani Campaga ini, yang paling diutamakan pengembangan kapasitas rutin dengan memberikan materi-materi seperti tehnik perbanyakan vegetatif, cara-cara pembibitan, pengelolaan kebun campur, dan teknik lain. Pembibitan dijadikan media pembelajaran untuk praktik langsung.
“Banyak petani sekarang tidak menghargai proses. Mau langsung ada hasil. Apalagi petani tua yang susah diubah pola pikir mereka. Paling cocok diubah petani muda-muda seperti kami, karena memiliki semangat belajar,” kata Sahabuddin.
Dia mencontohkan, orang-orang tua menganggap cokelat di Campaga sudah tidak cocok. Setelah dua petani melakukan kunjungan belajar ke Kabupaten Luwu dan Luwu Timur, ternyata tanah di Campaga, lebih cocok ditanami cokelat. Lalu konsep paling bagus dengan kebun campur. “Ini mulai dirasakan oleh petani dan perempuan.”
Keterlibatan perempuan pada pasca panen sangat tinggi. Perempuan ikut memanen. Membersihkan dan penjemuran juga banyak dilakukan kaum perempuan. “Sekarang kami ingin membangun kesadaran kepada pemuda. Pekerjaan petani sering dianggap sebelah mata.”
Untuk membangun kesadaran bagi petani muda dan tua sangat susah karena banyak benturan. Terutama orang tua mereka sendiri. Salah satu cara dengan “lobi meja makan.” Dengan mengatakan kepada ayah dan ibu pada saat makan malam bahwa cara mereka bukan salah, melainkan keliru. Dengan pemahaman, semaksimal mungkin mereka menjelaskan kalau penyakit dan hama tidak bisa diberantas, tapi bisa ditekan.
Anggota kelompok petani muda di Campaga punya latar belakang berbeda dan hampir semua lulusan sarjana dari berbagai perguruan tinggi. Mereka juga mengajar dan menjadi guru mengaji. Setiap hari minggu, mereka mempunyai kegiatan disebut minggu ceria di kebun. Kelompok ini juga mempunyai grup di situs jejaring sosial Facebook untuk berbagi informasi, memecahkan masalah terkait isu pertanian, sebagai wadah silaturahim, dan promosi.
Saat ini, kelompok petani ini didukung Agfor Sulawesi berencena mendata masyarakat yang ingin belajar bersama mereka, baik di Campaga atau di luar kampung mereka.
Agfor Sulawesi adalah sebuah proyek lima tahun didanai Canadian International Development Agency (Cida) . Ia didukung Word Agroforestry Center atau dikenal dengan Icraf, dan Center for International Forestry Research (Cifor), serta mitra lokal lain seperti LSM Balang.
Sejak diluncurkan 2011, Agfor Sulawesi bekerja sama dengan masyarakat lokal, kelompok masyarakat, organisasi pelestarian, universitas, dan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani melalui sistem agroforestri dan sistem pengelolaan sumber daya alam.
Agroforestri merupakan penggabungan sistem pertanian dan kehutanan. Tanaman yang petani inginkan ditanam campur dengan tanaman pangan, hingga hewan ternak.
“Pengalaman menunjukan bahwa agroforestri terbukti dapat meningkatkan pendapatan petani dan melindungi lingkungan,” kata Enggar Paramita, communication officer dari Agfor Sulawesi.
Agfor Sulawesi telah melakukan kegiatan di Campaga sejak pertengahan 2012. Salah satu, membentuk sekolah lapang yang memberikan kesempatan kepada petani belajar dari ahlinya. April lalu, kata Enggar, Agfor Sulawesi mengundang ahli cengkih dan lada dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. “Berikutnya Agfor Sulawesi akan mengundang ahli kopi, cokelat, dan buah-buahan untuk memperkaya pengetahuan petani.”
Akhir Mei dan awal Juni lalu, beberapa petani dari Campaga telah melakukan metode penyebaran informasi petani ke petani. Mereka menjadi nara sumber pada kegiatan berbagi pengetahuan dengan petani desa lain. Materi yang mereka dapatkan sebelumnya tentang lada dan cengkih dari para ahli, disampaikan kepada petani-petani di desa tetangga di Kabupaten Bantaeng.
Respon dari petani terhadap metode petani ke petani ini sangat positif. Dengan menggunakan bahasa lokal membuat informasi lebih mudah dipahami, dan berbagi pengalaman antarpetani sangat bermanfaat.
“Saat ini kelompok petani Campaga mendapat kepercayaan dari instansi pemerintah menyediakan 10.000 bibit cokelat untuk sambung pucuk. Agfor Sulawesi telah menguji kerentanan yang akan membantu masyarakat Campaga mengetahui kerentanan yang mereka hadapi.”
Luas wilayah Campaga sekitar 5.01 km persegi yang terbagi atas sawah dan ladang 4.376.337 hektar dan hutan seluas 23 hektar. Hutan ini merupakan hutan larangan, tak boleh ditebang. Batang kayu pohon yang tumbang pun dibiarkan begitu saja.
Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga hutan Campaga sangat baik. Karena sudah ada aturan mengenai pelarangan penebangan hasil hutan dan pelestarian flora dan fauna di dalamnya. Ada beberapa fauna di hutan Campaga, antara lain: Macaca tonkeana (kera hitam) dan Strigocuscus celebensis (kuskus tembung) yang masuk daftar satwa dilindungi.
Hutan Campaga menjadi sumber kehidupan sebagian besar masyarakat di Kabupaten Bantaeng. Hutan ini memiliki sembilan titik mata air besar yang menjadi sumber air bersih dan mengairi sawah di daerah hilir.
Warga Campaga mengingatkan, jika orang sombong atau angkuh masuk ke dalam hutan mereka, dipastikan tersesat. Bahkan pernah terjadi, kontraktor yang tak percaya dengan kata-kata warga, mengencingi aliran sungai. Keesokan hari, sang kontraktor sakit perut, dan tak berapa lama meninggal dunia.
“Larangan di hutan Campaga ini 100 persen sangat dipahami oleh anak-anak muda. Tak ada yang berani mengambil hasil hutan, karena mereka percaya akan ada bencana,” ucap Agus Mulayana, peneliti dari Cifor Indonesia.
Hingga saat ini, hutan Campaga terus lestari dan tak satu pun perusahaan skala besar yang mempunyai konsesi di wilayah ini. Perambahan pun tak ada di hutan ini.