,

Kelompok Nelayan di Bali ini Mampu Tangkarkan Kuda Laut dan Membangun Zona Ekowisata Terapung

Berperawakan kekar, berkulit hitam terbakar matahari dan berpenampilan sedikit gaul, demikian deskripsi I Wayan Patut sehari-harinya.  Bapak dua orang anak ini adalah ketua sekaligus  pelopor berdirinya Kelompok Nelayan Karya Segara yang ada di desa Serangan, Bali.  Serangan sendiri, merupakan sebuah pulau kecil yang secara administratif berada di wilayah kota Denpasar.

Berawal dari keprihatinan terhadap kerusakan alam dan kehidupan masyarakat, Patut bersama-sama teman sekelompoknya di Karya Segara berperan besar untuk mendorong pemulihan ekosistem di Pulau Serangan. Sebelumnya pulau ini mengalami kerusakan parah akibat proyek reklamasi pada tahun 1990-an.  Kerusakan ekosistem saat itu, menyebabkan surutnya mata pencarian masyarakat saat itu.

Dengan ketekunan, pengalaman jatuh bangun berkelompok serta daya eksplorasi mandiri, Kelompok Nelayan Karya Segara, yang mayoritas anggotanya adalah nelayan tamatan SMTP, telah mampu menaman terumbu karang untuk merehabilitasi kondisi pesisir di pantai Serangan.

Selain itu di pusat budidaya milik kelompok, mereka telah mampu mengembangkan dua spesies kuda laut  yaitu Hippocampus kuda dan H. histrix melalui penelitian mandiri.  Demikian pula melalui kerjasama dengan sebuah perusahaan paket perjalanan, kelompok nelayan ini telah membangun sebuah destinasi ekowisata terapung yang mereka namai Green Island.  Di tempat ini wisatawan yang datang dapat menanam terumbu karang, melepaskan kuda laut hasil budidaya kelompok dan bersnokeling bersama biota laut seperti penyu.

Wayan Patut, ketua Kelompok Nelayan Karya Segara, Serangan, Bali.  Foto: Ridzki R. Sigit
Wayan Patut, ketua Kelompok Nelayan Karya Segara, Serangan, Bali. Foto: Ridzki R. Sigit

“Pembangunan wisata, kebutuhan ekonomi masyarakat dan kelestarian ekosistem harus berjalan bersama,” demikian Patut menjelaskan visi dari Kelompok Nelayan Karya Segara.

Saat ini kelompok ini menawarkan paket wisata penanaman terumbu karang dan pelepasan kuda laut kepada wisatawan yang berkunjung ke Green Island di Pulau Serangan.  Perbulannya, jumlah wisatawan yang berkunjung ke lokasi ini rata-rata adalah 800-900 orang yang telah memberikan dampak positif bagi ekonomi masyarakat.

Sejak tahun 2006, kelompok ini berhasil mengembangbiakkan dua spesies kuda laut melalui riset dan uji coba habitat secara mandiri setelah melewati berbagai macam tantangan dan kendala yang dialami oleh kelompok ini.  Antara periode 2010-2012, lebih dari dari 8.000 ekor kuda laut telah mereka lepaskan ke laut.

Berkat berbagai keteguhan dan kegigihan kelompok ini, Pemerintah telah memberikan Penghargaan Kalpataru untuk kategori Penyelamat Lingkungan pada tahun 2011 untuk kelompok ini.

Berikut adalah rangkuman wawancara Mongabay-Indonesia dengan Wayan Patut yang dilakukan dalam dua kali sesi pertemuan.

Pusat budidaya biota laut milik Kelompok Nelayan Karya Segara.  Foto: Ridzki R. Sigit
Pusat budidaya biota laut milik Kelompok Nelayan Karya Segara. Foto: Ridzki R. Sigit

Mongabay-Indonesia: Bagaimana sejarah konservsi di Pulau Serangan dan berdirinya Kelompok Nelayan Karya Segara ini?

Luas pulau Serangan sebelum reklamasi adalah 112 hektar,  dimana sebelum reklamasi masyarakat tergantung dari pemanfaatan alam. Di tahun 1980-an wisatawan banyak yang berkunjung karena Pulau Serangan terkenal dengan wisata penyu.

Setelah 1990 terjadi perubahan, sekitar tahun 1990-1995 masuk di sini konsorsium perusahaan yang namanya PT Bali Turtle Invest Development (BTID).  Pada 1996 mereka melakukan reklamasi menghubungkan antara daratan pulau Bali dengan daratan pulau Serangan.  Reklamasi berakhir tahun 1998 mulailah terjadi proses kerusakan lingkungan yang drastis.

Luas Serangan setelah reklamasi menjadi 481 hektar.  Kita bisa bayangkan dampak kerusakan ekologis termasuk perubahan yang terjadi di mata pencarian masyarakat ketika laut dikeruk dan daratan ditimbun.  Banyak nelayan yang hilang mata pencarian.  Mulailah masyarakat  mencari dan melakukan penangkapan ikan secara tidak bijaksana.  Contohnya dengan cyanida dan pertambangan batu karang.  Dampak kerusakan lingkungan menjadi parah.

Pada tahun 2000, saya beserta kawan-kawan secara individu mencoba mencegah pola penangkapan yang tidak bijaksana.  Pada tahun 2001, saya mulai dengan mendidik anak-anak sekolah seperti SD dan SMP.  Saya mencoba untuk mengajak untuk melakukan penanaman (transplantasi) terumbu karang.

Kuda laut (Hippocampus sp) di dalam ember, siap dilepaskan ke laut.  Foto: Ridzki R. Sigit
Kuda laut (Hippocampus sp) di dalam ember, siap dilepaskan ke laut. Foto: Ridzki R. Sigit

Nah, ketika anak-anak itu sudah mampu menunjukkan bahwa terumbu karang dapat ditanam melalui stek, dipotong langsung substrat, mereka kemudian menyampaikan kepada orangtuanya bahwa terumbu karang itu bisa dibudidayakan dan ditanam.  Lewat masukan anak-anak itu kemudian tersebar ke orangtua yang kemudian menjadi semakin percaya.

Akhirnya pada tanggal 29 November 2003, kami sepakat mengubah perilaku dengan membentuk Kelompok Nelayan Karya Segara.  Tujuan utamanya adalah program rehabilitasi, kalau karang sudah hidup maka ikan-ikan akan kembali.  Karena terumbu karang adalah rumahnya ikan.  Dari situ berkembang terus, 2003-2004 kelompok mulai mendapat perhatian serius ketika kita bekerjasama dengan pemerintah yaitu Kementrian Kelautan dan Perikanan, yang waktu itu menterinya Pak Freddy Numberi. Kami mendapat bantuan bibit terumbu karang sebanyak 2.000 koloni, yang terdiri dari 3 jenis terumbu karang yaitu karang masif, sub masif dan acrophora.

Di akhir 2005, kami memperoleh bantuan dari LSM Samdhana sebesar Rp 45 juta untuk pengembangan bibit yang 2.000 itu.  Idenya bagaimana dari sumber bibit itu, yang 40% bisa kita perdagangkan.  Kita proses terus, tetapi program konservasi masih tetap jalan, karena ini masih tahap untuk memperoleh ijin ekspor.  Lewat Yayasan Bahtera Nusantara, kami dibantu untuk melakukan farming dan kegiatan konservasi, termasuk peningkatan kapasitas masyarakat.  Di situlah kami mulai membangun kapasitas farm.  Di tahun 2006 kami juga mulai mengembangkan budidaya kuda laut.  Saat itu, kami coba dulu di keramba apung.

Setelah berjalan terus dan di tahun 2009 kami dihadapkan pada pilihan antara terus melanjutkan proses perijinan perdagangan ekspor yang membutuhkan biaya dan perijinan yang rumit, di tengah SDM yang terbatas, atau mencari model pengembangan lain.

Akhirnya kami punya ide lain yaitu kerjasama dengan biro perjalanan wisata atau travel agent yaitu Pro Bali Pandu Wisata, dimana kami mengajukan ide untuk menjual paket program ekowisata terumbu karang asuh (adopt coral reef).

Green Island, pulau terapung buatan yang dibangun untuk ekowisata di Serangan.  Foto: Ridzki R. Sigit
Green Island, pulau terapung buatan yang dibangun untuk ekowisata di Serangan. Foto: Ridzki R. Sigit

Di sini yang kami jual adalah ceritanya, di mana dulu masyarakat adalah perusak sekarang adalah pelestari.  Itu yang kita kemas dengan travel agent.  Dengan fasilitas yang kita miliki, saat itu kami dapat menampung 20-30 orang wisatawan.  Di akhir 2009 bersama PT Poros Nusantara kami membuat acara The Coral Day, momen bagaimana agar dalam sehari orang berpikir tentang terumbu karang.  Tahun 2010, program tambah bagus, mulai banyak berdatangan wisatawan dari China.

Pada tahun 2012 kembali muncul gagasan, bagaimana membuat pusat informasi terapung sekaligus dirangkai sebagai program ekowisata.  Kami kembali bekerjasama dengan travel agent itu dan mereka mau mendanai.  Kami akhirnya gotong royong.  Sarana dan prasarana semua dibelikan oleh travel agent, kami di kelompok mengerjakannya.

Mongabay-Indonesia:  Ada berapa jumlah anggota Kelompok Nelayan Karya Segara?

Anggota kelompok awalnya berjumlah 48 orang, pada saat sebelum ekowisata berjalan berkurang menjadi 35 dan saat itu berkurang karena dampak ekonomi belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, karena memang tidak ada pendapatan yang pasti.  Sejak tahun 2009, kami mematangkan jumlah anggota adalah 22 orang.  Sekarang yang terdaftar adalah 39 orang, termasuk didalamnya anak-anak muda di Serangan.  Dari kelompok inti yang 22 orang, yang 16 aktif melakukan pekerjaan di ekowisata ini.

Mongabay-Indonesia: Bagaimana pembagian hasil antara perusahaan dengan kelompok nelayan untuk pengembangan konsep ekowisata?

Pembagian hasilnya, kami jual ke travel agentnya, satu paket yaitu pelepasan kuda laut dan penanaman terumbu karang, satu paket Rp 75.000 per orang, termasuk kita berikan tagging nama dan tahun penanamannya.  Termasuk kerjasama dengan travel adalah perbaikan dan penyiapan sarana dan prasarana.

Sejak tahun 2011 rata-rata frekuensi kunjungan wisatawan adalah 300-400 orang per bulan, saat ini 800-900 orang per bulan dimana kebanyakan berasal dari China. Trend wisatawan terus bertambah, semenjak kami membangun pulau pusat informasi yang diberi nama Green Island.  Green Island bertujuan untuk memajukan ekowisata dan pendidikan, termasuk menjaga kesehatan ekologi.

Mongabay-Indonesia: Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara ini  pernah mendapat penghargaan Kalpataru dari pemerintah, bisa diceritakan?

Pada tanggal 7 Juni 2011 kami mendapat penghargaan Kalpataru.  Bagi kami ini sebenarnya bukan target, target kami adalah bagaimana kesehatan ekologi, edukasi berjalan dan ada dampak ekonomi yang berimbas kepada kelompok masyarakat.

Setelah mendapatkan penghargaan, anggota kelompok semakin bersemangat, tidak saja melihat dampak ekonomi tetapi juga dampak konservasinya.  Kalau dulu waktu mereka menambang batu karang pendapatan mereka bisa sampai Rp 5-12 juta per bulan, dengan kegiatan sekarang mereka paling mendapat penghasilan Rp 2-2,5 juta per orang per bulan.

Pertanyaannya mengapa mereka bertahan seperti sekarang? Karena mereka lihat ini berkelanjutan.  Kalau dulu saat menambang yang bisa menikmati paling hanya satu generasi, kalau sekarang anak-anak muda kita libatkan.  Kalau dulu saat menambang, generasi berikut mungkin tidak punya kesempatan.

Target kami sekarang adalah rehabilitasi sekitar 10 hektar kawasan laut yang rusak ini. Di tahun 2015, target kami merehabilitasi kawasan laut 5 hektar dengan terumbu karang.

Stek terumbu karang di atas media buatan yang ditransplantasi di pesisir Serangan, foto diambil pada tahun 2007.  Foto: Ridzki R. Sigit
Stek terumbu karang di atas media buatan yang ditransplantasi di pesisir Serangan, foto diambil pada tahun 2007. Foto: Ridzki R. Sigit

Mongabay-Indonesia: Bagaimana keberadaan Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara memberi inspirasi bagi keberadaan kelompok-kelompok lain dan masyarakat?

Karya Segara tidak hanya melakukan rehabilitasi di Serangan tetapi hampir di seluruh pesisir Bali. Terluas yang pernah kita lakukan di Nusa Dua bekerjasama dengan Coral Reef Nusa Dua Foundation.  Dengan pemerintah, kami melakukan kerjasama tidak saja dengan Pemda Bali tetapi juga di beberapa lokasi seperti Lombok, di Sulawesi dan juga di NTT seperti Kupang, Alor dan Rote.  Terakhir kami lakukan di Halmahera.

Kami juga pernah diundang untuk memberikan presentasi di Jepang, di sana kami presentasi bagaimana konservasi ternyata dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, dapat menghasilkan pendapatan dan dampak ekonomi.  Konservasi tidak berarti masyarakat tidak bisa melakukan apa-apa.

Mongabay-Indonesia: Di beberapa tempat budidaya kuda laut sangat langka keberhasilannya, bahkan melalui proses laboratorium yang rumit. Tetapi di sini kelompok berhasil membudidayakannya dengan baik.  Bagaimana proses budidaya kuda laut yang dilakukan oleh kelompok ini dalam kondisi farm yang minim?

Pertama, kita harus paham persis bagaimana habitat kuda laut, perilakunya dan proses perkembangbiakannya.  Di habitatnya, saat nelayan menangkap selama 4-5 jam, katakanlah di ember atau di kantong plastik, dalam kondisi tanpa oksigen dia masih bisa hidup.  Kami berkeyakinan kalau listrik mati satu hari, kuda laut di farm masih bisa hidup.

Kemudian secara habitat mereka hidup di padang lamun, tempat yang dipenuhi oleh pasir berlumpur.  Dengan kondisi air  demikian, tidak diperlukan air yang salinitasnya tinggi.  Kami bereksperimen, belajar sendiri.  Sekarang di farm terdapat 200 indukan kuda laut.  Setelah mereka di lepas di laut, keberadaan mereka terus kami monitor, sejauh ini kondisi laut cocok untuk habitat kuda laut.

Kami ingin membuat citra bahwa Serangan lekat dengan kuda laut, yang mana tidak ada di tempat-tempat lainnya. Kuda laut sendiri termasuk dalam Appendix 2 CITES, langka dan harus dilestarikan.

Kuda Laut (Hippocampus sp.) yang dikembangbiakkan oleh Kelompok Nelayan Karya Segara, Serangan.  Foto: Ridzki R. Sigit
Induk kuda laut di pusat budidaya. Foto: Ridzki R. Sigit

Mongabay-Indonesia: Apa dampak bagi Serangan sekarang dengan adanya rehabilitasi ekosistem di pulau ini?

Dengan makin membaiknya Pulau Serangan sekarang, mangrove sudah makin besar, demikian juga terumbu karang, satwa mulai berdatangan kembali.  Jenis-jenis burung lebih dari 100 jenis hasil identifikasi telah datang kembali sekarang.  Kalau mangrove lebih dari 5 jenis, kalau padang lamunnya lebih dari 9 jenisnya.  Untuk terumbu karang apalagi.

Bagi saya, Serangan adalah tempat yang paling lengkap ekosistemnya di Bali.  Ada mangrovenya, ada padang lamunnya, dan ada terumbu karangnya.  Tidak ada tempat di Bali yang lebih lengkap dari Serangan.

Mongabay-Indonesia: Apa mimpi anda kedepannya?

Kami ingin menciptakan kondisi lingkungan yang sehat terutama pesisir dan laut, lingkungan sehat kita berharap ada perubahana perilaku, terutama perilaku nelayan.  Nelayan punya uang sekarang, habis sekarang.  Beda dengan petani, ia menanam kemudian menunggu dan ada proses kesabaran, itu yang kami coba sadarkan dari sisi pendidikan.

Rata-rata pendidikan anggota nelayan adalah SMP, saya sendiri SMA, yang paling sulit dalam mengubah perilaku adalah memberi gambaran bahwa apa yang kita lakukan ini tidak langsung berdampak saat ini juga.  Apa yang kita lakukan harus dilakukan dengan proses upacara, sebagai peletak keyakinan untuk melakukan sesuatu.  Kalau kita tidak yakin dengan apa yang kita lakukan, jangan harap hal tersebut akan berdampak.

Tantangan ke depan adalah membangun organisasi yang utuh dengan berbagai aturan yang kuat dan mengikat selain memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat.  Hal lain adalah bagaimana menularkan kepada generasi berikutnya tidak saja kepada kelompok kami saja.  Di sini kita perlu memberi pemahaman bahwa lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,