Penelitian: Alokasi Pendanaan Konservasi Global Tidak Tepat Sasaran

Negara-negara yang tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk melindungi keragaman hayati mereka, ternyata justru negara dengan keragaman hayati yang sangat luar biasa. dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of Michigan dan mitra mereka dari University of Georgia terungkap bahwa sekitar 40 negara dengan pandanaan konservasi paling sedikit justru menjadi rumah bagi sekitar 32% mamalia yang terancam.

Sebagian besar negara-negara yang membutuhkan pendanaan konservasi tersebut adalah negara-negara berkembang, jadi langkah-langkah yang efisien harus dilakukan untuk memberikan pendanaan dan melindungi berbagai spesies terancam tersebut. “Dengan mengetahui dimana negara-negara yang paling membutuhkan dana konservasi, maka bisa membantu mengarahkan pendanaan untuk upaya konservasi ke tempat yang semestinya,” ungkap salah satu penulis penelitian ini, Daniel Miller dari Graham Sustainability Institute di University of Michigan.

Dalam studi yang dipublikasikan tanggal 1 Juli 2013 di journal Proceedings of the National Academy of Sciences, penelitian ini merekomendasikan agar sejumlah upaya konservasi harus diubah untuk menunjang tujuan yang ditetapkan oleh PBB tahun 2020 untuk menekan laju kepunahan.

Para peneliti mengompilasi dua database dalam penelitian ini. Pertama adalah mempelajari data pendanaan konservasi yang  bisa dirunut di seluruh dunia antara tahun 1990 hingga 2008. Mereka menemukan bahwa sekitar 22 miliar dollar dihabiskan dalam upaya konservasi keragaman hayati setiap tahunnya antara tahun 2001 hingga 2008. Para peneliti berhasil merunut balik sekitar 17 miliar dollar dana konservasi ke sejumlah negara.

Hutan di pedalaman Papua Barat, justru tidak mendapat perhatian utama konservasi kendati kekayaan hayati di dalamnya luar biasa. Foto: Rhett A. Butler
Hutan di pedalaman Papua Barat, justru tidak mendapat perhatian utama konservasi kendati kekayaan hayati di dalamnya luar biasa. Foto: Rhett A. Butler

Dari mana saja sumber pendanaan konservasi tersebut? dalam penelitian ini pemerintah dari negara-negara maju sebagai pendonor disebut-sebut sebagai penyumbang terbesar -sekitar 14,5 miliar dollar- dari seluruh dana yang ada, dengan sekitar 94% masuk dalam kategori “upper-income’ dalam catatan Bank Dunia.

Penyumbang kedua terbesar adalah lembaga-lembaga donor besar dunia seperti misalnya Global Environment Facility yang menghabiskan sekitar 1 miliar dollar ke sejumlah negara-negara berkembang. Sementara lembaga sejenis “conservation trust fund” dan sumber lainnya menyumbang sekitar 500 juta dollar. Donor dari sejumlah LSM internasional diperkirakan mencapai 1 miliar dollar, namun tidak dimasukkan sebagai bagian dari analisis penelitian ini karena kurangnya detail dalam laporan yang mereka berikan.

Data base kedua yang digunakan oleh penelitian ini adalah kumpulan data yang keragaman hayati mamalia di setiap negara yang berbeda. Para peneliti kemudian menggabungkan empat sumber data global yang ada -yaitu tentang resiko kepunahan, biaya ekonomi, politik pemerintah dan kawasan-kawasan lindung- untuk membuat sebuah odel yang bisa menjelaskan bagaimana pendanaan konservasi dialokasikan secara global. Dari hasil analisis yang dilakukan, negara-negara yang seharusnya menerima dana konservasi keragaman hayati, ternyata menerima lebih sedikit dari jumlah yang semestinya.

Dari análisis yang dihasilkan juga terlihat bagaimana level ekstrem dari kurangnya investasi bahkan terlihat secara geografis. Negara-negara seperti Indonesia, Australia dan Malaysia yang secara ekstrem memiliki kekayaan hayati yang luar biasa, semuanya tidak memiliki pendanaan yang cukup dalam upaya konservasi mereka.

Fakta lain yang cukup unik, ternyata alokasi pendanaan konservasi tidak hanya berdasar kekayaan hayati negara-negara penerima donor. Para peneliti juga mempelajari bagaimana pola pendanaan juga merefleksikan bias regional dan politik. Salah satu pola yang paling kentara terlihat adalah pendanaan konservasi untuk negara-negara yang mayoritas Muslim adalah sekitar 49% dibanding negara-negara lain yang mayoritas non-muslim.

Salah satu spesies khas Papua, Burung Cendrawasih atau Paradisea apoda, yang semakin terancam punah tidak mendapat perhatian lebih besar dibandingkan satwa lain di Indonesia. Foto: Rhett A. Butler
Salah satu spesies khas Papua, Burung Cendrawasih atau Paradisea apoda, yang semakin terancam punah tidak mendapat perhatian lebih besar dibandingkan satwa lain di Indonesia. Foto: Rhett A. Butler

“Pola pendanaan yang diteliti sejak tahun 2001, dimana peristiwa 11 September terjadi, merupakan sebuah ujicoba yang baik untuk melihat fenomena ini,” ungkap Anthony Waldron Universidade Estadual de Santa Cruz di Brasil. “Namun demikian, kami harus menekankan bahwa, kami belum secara luas melihat donor bias ini. Kami hanya memperlihatkan sebuah pola dimana pendanaan di negara-negara yang didominasi Muslim seperti di negara-negara Arab dan sekitar Afghanistan mendapat dana lebih rendah. Banyak alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Kami hanya memperlihatkan pola ini kepada para pendonor sehingga bisa menjadi refleksi untuk mereka, mengapa hal ini bisa muncul.”

Bagi Waldron dan John Gittleman, Dekan dari Odum School di University of Georgia dan salah satu penulis peneltian ini, mengatakan bahwa penelitian mereka memiliki pesan yang positif. “Masyarakat di dunia berkomitmen untuk menekan laju kepunahan di tahun 2020,” ungkap Waldron. “Hasil penelitian ini memberikan perkiraan yang cepat dan ringkas bagaimana mendistribusikan pendanaan konservasi yang lebih baik di masa mendatang untuk mewujudkan hal tersebut.”

Bukti belum efektifnya pendanaan konservasi ini terlihat dari fakta dimana sekitar 40% dari negara-negara yang mendapat pendanaan sangat kurang, justru memiliki kekayaan keragaman hayati sebesar 32% dari seluruh keragaman hayati mamalia yang ada di dunia, dan hal ini bisa diubah dengan menargetkan di beberapa area tertentu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,