Sebelum keluar izin pelepasan kawasan hutan, di areal konsesi GAR seluas 20 ribuan hektar di Papua ini sudah ada 500 an hektar kebun sawit.
Golden Agri Resources (GAR), grup Sinarmas, mempunyai konsesi perkebunan sawit baru di hutan Papua lebih dari 20.000 hektar. Izin pelepasan kawasan hutan diberikan setelah mengeluarkan areal itu dari peta moratorium hutan.
Pada akhir Juli 2012, GAR , memperoleh izin pelepasan kawasan hutan Papua di Kabupaten Jayapura seluas 20.143,30 hektar. Ia berawal dari proses permohonan GAR selama 2008-2010. Demikian terungkap dalam laporan terbaru Greenomics Indonesia berjudul “What are Golden Agri’s plans for its new palm oil concession in Papua’s forests?”, yang dipublikasi 27 Juni 2013.
Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, mengatakan, pada Maret 2011, GAR memperoleh persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan Papua dari Menteri Kehutanan. Izin keluar setelah lebih dari satu bulan pasca peluncuran Forest Conservation Policy (FCP) GAR untuk tidak beroperasi land-clearing pada areal high conservation value forest (HCVF) dan high carbon stock (HCS).
Sayangnya, persetujuan prinsip Menteri Kehutanan ini tak dapat ditindaklanjuti, karena areal hutan Papua yang menjadi obyek pelepasan masuk dalam peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) pada hutan primer dan lahan gambut alias peta moratorium. Kebijakan ini berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011, tertanggal 20 Mei 2011.
Selanjutnya? “Cara satu-satunya untuk meneruskan proses pelepasan kawasan hutan dengan mengeluarkan dari peta moratorium. Ini secara legal memang memungkinkan karena telah mendapatkan izin prinsip sebelum diterbitkan peta moratorium,” katanya di Jakarta, Jumat(28/6/13)
Pada revisi PIPIB I yang diterbitkan Menteri Kehutanan pada 22 November 2011 pun, lokasi persetujuan prinsip anak usaha GAR ini sudah dihapuskan dari peta moratorium.
Dalam laporan Greenomics ini juga mengungkapkan mayoritas hutan Papua yang dilepas untuk sawit GAR dengan tutupan hutan baik, lebih 76 persen berhutan. Bahkan, berdasarkan data shape file peta moratorium hasil interpretasi Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tahun 2000, 2003, 2006, dan 2009, kawasan itu merupakan hutan primer. Jadi, tak heran mengapa kawasan itu masuk peta moratorium.
Berdasarkan data Kemenhut 2011, tutupan hutan Papua yang dilepas ini lebih 97 persen tutupan hutan dalam kondisi baik, berupa hutan primer seluas lebih dari 15.000 hektar dan hutan sekunder lebih dari 4.500 hektar. Sisanya, seluas 549 hektar kebun sawit. “Ini menarik, ternyata ada kebun sawit 549 hektar pada areal yang diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan. Artinya, telah terjadi pembukaan kawasan hutan Papua sebelum ada izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan,” kata Elfian.
Laporan Greenomics Indonesia juga menunjukkan hasil pengecekan antara interpretasi tutupan lahan Kementerian Kehutanan tahun 2011 tersebut dengan image Google Earth tanggal 11/28/2011. Image Google Earth tersebut menunjukkan secara jelas bagaimana masih baiknya tutupan hutan Papua yang dilepas untuk ekspansi sawit GAR tersebut.
Dia mengatakan, dalam SK Menhut mengenai pelepasan kawasan hutan untuk anak usaha GAR ini juga disebutkan kewajiban memproteksi HCVF di areal itu. “Ini tantangan bagi GAR dalam mengimplementasikan kebijakan konservasi hutan. Karena diwajibkan Pemerintah Indonesia, bukan lagi sekadar komitmen GAR.”
Ketika dikonfirmasi kepada GAR mengenai laporan Greenomics terbaru ini, mereka tak memberikan jawaban detil. Pernyataan perusahaan hanya menjelaskan tentang perusahaan yang akan beroperasi sesuai komitmen kebijakan konservasi hutan di semua kebun sawit, termasuk di Papua.
Lewat surat elektronik menegaskan lagi komitmen GAR mengenai kebijakan konservasi hutan dan berlaku bagi semua kebun. Perusahaan tak akan melakukan pengembangan kebun di dalam hutan berstok karbon tinggi (high carbon stock/HCS), dan area yang memiliki nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) serta lahan gambut.
Perusahaan juga memperhatikan free, prior dan informed concent (FPIC) kepada masyarakat lokal maupun adat. “Juga mematuhi semua hukum dan prinsip-prinsip sertifikasi dan kriteria yang diterima secara internasional,” tulis pernyataan itu, Selasa (2/7/13).
Selain pilot project PT Kartika Prima Cipta di Kalimantan Barat (Kalbar), program konservasi hutan GAR juga ada di tujuh konsesi di kebun baru di daerah itu maupun di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Inisiatif ini berdasarkan pada temuan hutan koservasi tinggi bahwa ada metodologi praktis dan ilmiah yang kuat untuk menentukan dan mengidentifikasi hutan HCS pada konsesi di Kalimantan. Namun, meskipun kebijakan HCS ini telah menggunakan alat yang bisa diandalkan dalam memprediksi hutan di seluruh Indonesia, ujicoba lebih lanjut dan turun ke lapangan akan diperlukan.
Untuk menyukseskan program HCS ini, mereka memerlukan kerjasama dengan pemangku kepentingan utama seperti pemerintah Indonesia, organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat maupun lokal, pemain kunci serta pemangku kepentingan lain dalam industri minyak sawit untuk menemukan berbagai solusi untuk tantangan-tantangan yang ada. Mongabay telah menghubungi Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kemenhut, tetapi belum mendapat jawaban hingga berita ini diturunkan.