Sebuah laporan terbaru yang dirilis dari hasil kolaborasi antara Daemeter Consulting dan The Nature Conservancy memetakan beberapa poin penting yang dinilai krusial untuk mengubah haluan industri kelapa sawit di Indonesia menjadi lebih ramah lingkungan. Laporan ini dibuat dalam konteks industri kelapa sawit di Indonesia, termasuk keuntungan bagi pembangunan lokal dan dampak lingkungan, serta mengidentifikasi lembaga-lembaga apa serta siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam membentuk perubahan tersebut. Laporan ini bertujuan untuk “melihat kesempatan-kesempatan untuk menyatukan proses pembuatan keputusan dengan kerangka pembangunan Indonesia yang berwawasan lingkungan”.
Salah satu yang diangkat dalam laporan ini adalah masukan untuk mengembangkan dan melakukan sistem registrasi lisensi secara online untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini akan membutuhkan keterlibatan Kementerian Pertanian dan juga pemerintah lokal, akan memberikan dampak yang sangat signifikan untuk bisa menentukan dimana lokasi perkebunan itu akan diterbitkan, menurut para penulis laporan ini. Dan tentu saja, sistem online yang terbuka seperti ini akan menekan upaya-upaya korupsi dalam penerbitan izin seperti yang terjadi selama ini.
Selain itu, dampak positif yang signifikan lain bisa diperoleh dari land swaps (tukar guling lahan). Kementerian Kehutanan RI mengontrol lebih dari 90 juta hektar hutan, sementara banyak blok-blok hutan yang masuk kategori hutan namun sudah gundul. Nah dalam laporan ini, daripada tetap dimasukkan ke dalam kategori hutan dan berpura-pura masih menjadi hutan, pemerintah bisa membuat proses yang lebih sederhana untuk melakukan zonasi ulang (re-zoning) untuk pertanian. Sebagai imbal baliknya, lahan yang masih berhutan namun tidak masuk kategori kawasan Hutan Negara bisa dibatasi penggunaannya untuk sektor pertanian dan konversi lahan untuk keperluan lainnya.
Dampak dari tukar guling lahan ini bisa mendongkrak ekspansi perkebunan kelapa sawit tanpa harus membuka hutan baru dan bisa melindungi lebih banyak hutan serta satwa. Hal ini juga bisa membantu dalam perhitungan luasan hutan -kondisi yang ada saat ini, pembabatan hutan diluar wilayah Hutan Negara bahkan tidak dinilai sebagai deforestasi oleh Kementerian Kehutanan. Dimana akhirnya hal ini akan berbuntut lebih mudahnya para perusahaan membuka perkebunan baru untuk mendapat izin untuk membuka kawasan non-hutan. Bahkan saat ini, banyak perusahaan perkebunan seringkali menargetkan membuka hutan dan lahan gambut diluar Hutan Negara karena hal ini lebih mudah untuk mendapat konsesi dibandingkan harus mengurus pelepasan hutan dari Kementerian Kehutanan RI.
Sejalan dengan upaya yang dilakukan di atas, berbagai lembaga pemerintah juga bisa berperan serta untuk menekan dampak negatif ekologi dari perkebunan kelapa sawit dengan menciptakan insentif keuangan bagi sejumlah perusahaan yang menjaga hutan di dalam wilayah konsesi mereka. Saat ini, perusahaan perkebunan mengalami dilema jika membiarkan blok hutan di dalam konsesi mereka dibiarkan lebat, karena ada kemungkinan pemerintah akan mengambilnya kembali dan memberikannya kepada perusahaan lain. Pilihan lainnya, adalah segera mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit agar tidak diklaim kembali oleh pemerintah. Dan demi amannya, perusahaan tentu saja memilih langkah kedua.
Selain beberapa upaya di atas, dalam laporan yang didanai oleh USAID lewat program pembangunan berwawasan lingkungan mereka di Indonesia ini juga memberikan berbagai langkah untuk mengupayakan bisnis kelapa sawit di Indonesia menjadi lebih ramah lingkungan dan menguntungkan secara sosial, kendati mereka melakukan ekspansi secara luas.
CITATION: Gary D. Paoli , Piers Gillespie, Philip L. Wells , Lex Hovani, Aisyah Sileuw, Neil Franklin, and James Schweithelm.OIL PALM IN INDONESIA: Summary for Policy Makers & Practitioners. The Nature Conservancy Indonesia Program, Jakarta. June 2013.