Upaya yang besar untuk menciptakan katalog variasi genetik dari primata besar, yaitu manusia, simpanse, gorila dan orangutan sejauh ini telah membantu banyak peneliti menciptakan sebuah model umum yang mencoba menjelaskan sejarah evolusi primata besar ini sepanjang 15 juta tahun.
Namun sayangnya database baru tentang keragaman genetik dari primata-primata besar ini belum terlalu komprehesif, kendati menjelaskan proses sejarah evolusi dan populasi primata dari Afrika dan Indonesia. Sumber baru dalam penelitian yang dilakukan ini secara lebih komprehensif, akan sangat membantu upaya konservasi yang bertujuan untuk menjaga keaslian dari keragaman genetik alami mereka. Peneltian tentang sejarah keragaman genetika primata besar ini dimuat dalam jurnal ilmiah Nature tanggal 3 Juli 2013 silam.
Dalam penelitian ini, lebih dari 75 orang peneliti dan pakar konservasi dari seluruh dunia terlibat dalam analisis genetika dari 79 individu primata besar yang hidup di alam liar dan hasil penangkaran. Semuanya mewakili enam spesies primata besar, yaitu simpanse, bonobo, orangutan Sumatera, orangutan Kalimantan, gorila timur dan gorila barat daratan rendah serta tujuh sub-spesies mereka. Sampel gen 9 manusia juga diikutkan dalam penelitian ini.
“Ini adalah penelitian yang luar biasa,” ungkap salah satu penulis penelitian ini yang juga Direktu Genome Institute di Washington Universty School of Medicine di Saint Louis, Richard K. Wilson. “Selain membuka tabir tentang banyak hal menarik tentang keterkaitan genetik dan keragaman diantara kerabat dekat, penelitian ini juga memberikan informasi bagaimana gen kita sendiri merespons terhadap tekanan dari perubahan-perubahan populasi.”
Dalam penelitian yang dipimpin oleh Tomas Marques Bonet PhD dari Institut de Biologia Evolutiva di Spanyol ini menemukan bahwa variasi genetik diantara primata besar masih tidak terpetakan, terutama terkait dengan betapa sulitnya mendapatkan sampel genetik dari primata liar. Untuk mengatasi hal ini, para ahli konservasi yang hidup di kawasan pedalaman membantu para peneliti mendapatkan sampel genetik ini.
“Mendapatkan data ini sangat penting untuk memahami perbedaan antara berbagai primata-primata besar dan untuk memisahkan kode-kode genetik yang membedakan antara manusia dan primata lainnya,” ungkap penulis lain dalam peneltian ini Peter Sudmant dari University of Washington.
Dalam analisis keragaman hayati terhadap primata-primata besar ini terlihat bahwa seleksi alam, pertumbuhan populasi dan kematian, keterisolasian geografis dan migrasi, perubahan iklim dan geologis serta berbagai faktor lainnya membentuk evolusi primata.
Hasil penelitian ini memberikan informasi lebih jauh seputar ketahanan setiap spesies terhadap penyakit tertentu, termasuk manusia. Selain itu para peneliti juga melihat perbedaan genetik antara manusia dengan spesies primata lainnya yang membuat manusia lebih unik dalam berbagai kemampuan, termasuk aspek kognisi, kemampuan berbicara dan lain sebagainya yang akan memberikan gambaran mutasi gen yang bisa menyebar antar spesies.
Data baru terkait genetika primata ini juga membantu mengatasi tantangan untuk primata besar yang kini terancam punah. Hasil penelitian ini menyediakan perangkat yang penting yang memungkinkan para ahli biologi untuk mengidentifikasi asal muasal perburuan terhadap primata besar untuk diambil bagian tubuh mereka, atau untuk sumber protein. Lebih jauh, lewat data genetik ini juga membuka tabir mengapa primata yang lahir dari program penangkaran di kebun binatang memiliki gen yang berbeda dengan kerabat mereka di alam liar.
Dalam temuan ini para pakar juga menggambarkan banyaknya perubahan yang muncul di masing-masing spesies primata seiring dengan terpisahnya mereka satu sama lain akibat migrasi, perubahan geologis dan perubahan iklim.
Meskipun spesies ‘mirip manusia awal’ yang hadir pada saat yang sama dengan nenek moyang dari beberapa kera besar masa kini, para peneliti menemukan bahwa sejarah evolusi populasi leluhur kera besar jauh lebih kompleks daripada manusia.
Peter Sudmant menjelaskan bahwa,”Jika kita menatap ke arah kera-kera besar ini, mereka akan menatap balik ke kita. Mereka berperilaku seperti kita, manusia. Itu sebabnya kita harus menjaga spesies yang berharga ini dari kepunahan.”
Dalam sebuah makalah pendamping yang diterbitkan pekan ini di Genome Research, Sudmant dan Eichler menulis bahwa mereka tidak sengaja menemukan bukti genetik pertama di simpanse dari gangguan menyerupai sindrom Smith-Magenis, dimana kondisi fisik, mental dan perilaku menunjukkan adanya ketergangguan pada manusia. Uniknya, catatan hewan simpanse ini bernama Suzie-A, cocok hampir persis dengan gejala manusia yang mengalami sindrom Smith-Magenis, yaitu mengalami kelebihan berat badan, mudah marah, memiliki tulang belakang melengkung dan meninggal karena gagal ginjal.