Kepala berjambul. Sekujur tubuh berbulu hitam. Inilah monyet hitam Sulawesi atau Macaca nigra. Jenis ini endemik di Sulawesi Utara (Sulut). Ada 23 spesies ini di dunia, tujuh ada di Pulau Sulawesi. Khusus Macaca nigra, di Sulut.
Di Minahasa, Sulut, ia disebut Yaki. Populasi satwa ini tersebar di beberapa titik di hutan primer Cagar Alam Tangkoko, Bitung, dan hutan lindung Sulut. Kala, mengunjungi Cagar Alam Tangkoko, Batu Putih, saya bertemu satu kelompok yaki sekitar 60 an individu.
Mereka terbilang satwa liar yang bersahabat. Kala, kami mendekat, mereka tetap bermain. Ada yang berlari-lari, ada yang bergelantungan di pohon. Ada yang berupaya mendekati kami seakan mencari ‘sesuatu.’ Mungkin mereka berharap kami membawa makanan. Pengunjung dilarang memberikan makanan pada mereka.
Monyet ini terancam, terutama oleh perburuan untuk konsumsi masyarakat di Minahasa. Antje Engelheardt, peneliti dari Proyek Monyet Hitam mengatakan, populasi Yaki di habitat asli hanya tinggal 5.000 ekor, tersebar di Sulut. Dari jumlah itu, 2.000 ada di Cagar Alam Tangkoko. Ia beranak sekali setiap 1,5 tahun. Yaki merupakan spesies paling toleran dibandingkan spesies macaca lain.
Richad T, petugas Cagar Alam Tangkoko Batu Putih mengatakan, yaki di Batu Putih ada tiga kelompok, satu kelompok 50-60 individu. “Tiap kelompok ini semacam ada ketua yang akan mengomandoi anggota lain,” katanya Senin (1/7/13).
Kehidupan yaki di cagar alam ini relatif aman, warga sekitar sudah mengerti larangan menangkap yaki. Namun, tetap saja menjadi kekhawatiran karena yaki kerab memasuki perkampungan untuk mencari makan. Dia menduga, kelompok yaki ini kekurangan pasokan makan. “Kami ada ambil warga untuk jaga yaki, terutama jika mereka keluar ke kampung. Kalau ada yaki keluar, warga lapor dan kami bawa ke hutan.”