Kegelisahan atas eksploitasi alam Bali rupanya dirasakan pula oleh sejumlah seniman dari pulau dewata. Selama sebulan penuh, 9 Juni – 9 Juli 2013, sebanyak 65 seniman yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia (SDI) mengungkap kegelisahan mereka dalam pameran seni rupa bertema “Irony in Paradise” di Museum Arma, Ubud, Gianyar.
Beragam karya yang ditampilkan, mulai dari karya lukisan dan seni instalasi, memperlihatkan berbagai ironi yang kini dialami Bali sebagai pulau surga yang terus dieksploitasi atas nama pariwisata dan kesejahteraan.
Made Gede Suanda Sayur, seniman asal Ubud, menampilkan sebuah seni instalasi yang diberi judul ‘Nenten Me adol”, berasal dari bahasa Bali yang berarti tidak dijual. Pria pembuat instalasi “Not For Sale” yang terpasang di atas sebuah lahan persawahan di Ubud ini mencoba menampilkan replika dari karyanya tersebut. Tumpukan gabah ditata di atas lantai pameran membentuk pulau Bali, dengan tanaman padi di atasnya. Foto-foto dari instalasi Not For Sale juga ditampilkan. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini rupanya tetap ingin menyampaikan kegelisahannya tentang makin maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan maupun fasilitas pariwisata di Bali.
“Saya ingin menegaskan bahwa Bali ini tidak untuk dijual. Kenyataannya, semakin hari lahan pertanian semakin terjepit oleh villa, hotel, dan berbagai bangunan. Ironis sekali. Padahal turis ke Bali cari sawah, tapi sawahnya dihabisi,” keluh Suanda Sayur.
Kegelisahan juga disampaikan Wayan Sudarna Putra, seniman lain yang juga ikut andil bersama Suanda Sayur membuat instalasi Not for Sale di ubud. Sudarna menampilkan instalasinya berjudul “Say Anything With Love.” “Melalui karya ini, saya mengajak masyarakat Bali untuk mencintai pulau ini. Dengan begitu, Bali bisa lebih terjaga. Karena kalau masyarakat cinta pada pulau ini, mereka pasti tidak akan merusaknya,” Sudarna menjelaskan.
SDI merupakan sanggar terbesar yang selama ini menjadi wahana kreatif bagi perupa Bali, khususnya bagi mereka yang pernah mengenyam pengetahuan seni di ISI Yogyakarta. Sanggar ini, pada 1970, oleh Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Pande Gde Supada dan kawan-kawannya, dibentuk dengan visi kebebasan berekspresi dalam seni, melalui teori dan teknik modern. Dalam bentuk visual karya-karya angota SDI berhasil memberi perimbangan antara budaya Bali yang ornamental dan ragam warna, dengan gagasan-gagasan yang cerdas yang dikemas dengan olah teknik yang bertumpu pada seni visual kontemporer.
Karya-karya para pendiri SDI juga turut ambil bagian dalam pameran ini. Salah satu karya juga mengkritik aksi pemasangan alat kampanye oleh politisi dengan seenaknya di pohon. Sebuah patung dinosaurus karya salah seorang seniman juga coba menggambarkan betapa Bali sedang diancam oleh sebuah kekuatan besar yang ingin merusak pulau ini.
Ketua SDI, Wayan Sunadi, menegaskan ide pameran bermula dari kegelisahan para seniman terhadap Bali. Ancaman terhadap filosofi Tri Hita Karana yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Bali, menjadi renungan penting dari anggota perupa SDI. “Semua perupa yang tergabung dalam SDI, memiliki kecemasan serupa dalam memandang Bali. Dengan harapan akan terbukanya kesadaran yang lebih konsisten untuk menjaga kulturnya, juga alamnya,” kata Sunadi.