Dia seorang perupa, pelukis, dan pematung. Dia juga aktor, penyair, dan sutradara. Pria ini seniman yang bekerja dengan berbagai media dan materi. Baginya seni tidak terkotak-kotak. Seni itu satu. Yang membedakan hanyalah bentuk, media, materi, rasa dan ekspresi seniman dalam mencerna dan memahami esensi seni. Dia menggeluti semua bentuk seni sebagai cara menemukan dan mencari hakikat seni. Dialah Tisna Sanjaya.
Tisna lahir di Bandung, 28 Januari 1958. Masa kecil banyak dihabiskan bermain bola, menghafal Bahasa Sunda. Dulu, dia sering bermain di kebun bambu, dan lapangan luas, atau sawah yang baru panen. Itu dulu kala ruang terbuka ada dimana-mana. Ketika ruang kosong mudah ditemui. Tanpa perlu memikirkan tempat, biaya dan transportasi, semua orang dapat bermain bola. Kondisi berbeda dengan Bandung kini.
Makin bertambah usia, makin berkurang ruang terbuka di Bandung. Ruang terbuka dulu tertutup rumput, sekarang oleh aspal, bata, semen dan batu. Ia tak lagi terbuka. Ia menjadi tertutup, bahkan airpun sudah tak tahu mesti mengalir kemana. Sama seperti manusia, mereka kehilangan tempat, kehilangan tujuan dan kehilangan arah. Semua limbung. Kegundahan itulah yang coba diungkapkan dan diekspresikan oleh Tisna melalui karya-karyanya.
Dia kritis pada fenomena sosial, termasuk perubahan alam, perilaku manusia, dan kekanibalan manusia. Karya-karya itu merupakan kontemplasi, mencoba berkomunikasi dan menggugah orang lain berbuat dan beraksi. Bagi Tisna, karya merupakan sebuah jembatan mencintai kehidupan, saling berbagi rasa untuk kebaikan.
Baru-baru ini Tisna ikut berperan aktif menggalang kampanye penyelamatan hutan Kota Babakan Siliwangi. Melalui seni dan budaya dia berkali-kali menggelar aksi untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga Babakan Siliwangi. Bersama warga Kota Bandung, Tisna melukis di media seng yang mengelilingi hutan kota itu. Dalam lukisan itu, dia menyampaikan betapa serakahnya manusia saat ini, sampai mereka tak peduli pada lingkungan sekalipun. Hasilnya cukup menggembirakan. Berkat jerih payah dia bersama rekan-rekan lain Walikota Bandung, mencabut izin PT EGI.
Mongabay Indonesia, berkesempatan berbincang langsung dengan tokoh seniman dan budayawan kawakan Bandung ini. Berikut petikannya.
Mongabay Indonesia : Sebagai seorang seniman, mengapa Anda tertarik untuk berperan dalam menyelamatkan lingkungan?
Tisna Sanjaya : Ya sebetulnya persoalan lingkungan hidup itu persoalan bersama, saya sejak kecil hidup di Kota Bandung, sampai sekarang terjadi degradasi yang luar biasa. Lingkungan di Kota Bandung, sudah rusak. Sebagai dosen di ITB, sebagai seniman, dan sebagai warga Kota Bandung, tentu tergerak dan harus peduli terhadap situasi ini. Jadi, antara mengajar di kampus tidak hanya di menara gading, saya ingin juga temen temen dosen ITB juga di tempat-tempat lain. Begitu juga mahasiswa, bareng bareng menangkal Kota Bandung ini dari sudut ilmu masing masing, supaya kota ini jadi punya peradaban yang bagus.
Mongabay Indonesia : Bagaimana tanggapan Anda mengenai kasus hutan kota Babakan Siliwangi?
Tisna Sanjaya : Sebetulnya kasus di Babakan Siliwangi itu akibat konspirasi antara pihak pemerintah Kota Bandung dengan perusahaan PT.EGI yang keukeuh ingin membuat restoran di hutan yang sudah diresmikan PBB pada 2011. Kan kita kalau itu dibiarkan malu oleh dunia. Juga secara kontekstual hutan itu paru-paru kota. Jadi jarang sekali di kota-kota ada hutan yang tinggal sedikit seperti itu, untuk masa depan anak anak kita. Dalam hal ini sebetulnya saya tidak mau berkonflik justru dengan cara cara kultural, seperti menanam pohon, mengajak melukis di seng, seng yang menutup Babakan Siliwangi.
Justru mereka yang membuat konflik, menutup hutan yang indah dengan seng, itu akan terkalahkan dengan kreativitas seni. Kreativitas warga bersama Walhi, bersama berbagai macam komunitas, melukis seng itu dan dicopot dan dimasukkan ke galeri di YPK.
Mongabay Indonesia : Menurut Anda hutan kota Babakan Siliwangi harus seperti apa?
Tisna Sanjaya : Idealnya tetap. Kalau menurut saya harga mati itu jadi hutan. Jadi hutan ditanami pohon aja, bunga dan nanti ada penataan bersama sama antara warga dengan pemerintah kota. Hutan itu kan sudah diriset oleh anak-anak geologi ITB. Ada ratusan jenis pohon, dan sumber mata air. Flora dan fauna ini perlu dijaga. Nama nama pohon juga sudah ada, nanti akan kolaborasi dengan mahasiswa seni rupa ITB dan seni rupa UPI, STSI untuk membuat tulisan-tulisan yang indah.
Mongabay Indonesia : Bagaimana PT EGI tetap membangun restoran di Babakan Siliwangi?
Tisna Sanjaya : Ya sebetulnya sih PT.EGI dan pemerintah kota harusnya punya hati nurani. Buat PT.EGI sendiri kan sudah kaya, PT.EGI itu perusahaan sudah banyak di Kota Bandung, supermarket, hipermall, dan segala macem banyak, kurang apa lagi, dia udah kaya raya. Jangan serakah, hutan yang tinggal sedikit itu jangan diambil. Kalau PT EGI tetap memaksa, saya akan beli tanah di tempat lain untuk PT EGI.
Mongabay Indonesia : Anda punya kawasan budaya di Cigondewah, kabarnya akan memperbolehkan PT EGI bikin restoran di sana agar tidak membangun di Babakan Siliwangi?
Tisna Sanjaya : Pusat Kebudayaan Cigondewah itu adalah ibu, rumah budaya yang memberikan hal yang niiskeun kanu ka budak keur pasea, memberikan pusat kebudayaan Cigondewah itu biar tiis, tak ada konflik lagi antara pemerintah bersama PT.EGI dan masyarakat. Jadi saya mah ridho lillahitaala, silakan tanah saya di Cigondewah mau dijadiin apa pun sama PT EGI asal jangan mengambil lahan di Babakan Siliwangi.
Mongabay Indonesia : Menurut Anda tata ruang Kota Bandung itu harus seperti apa?
Tisna Sanjaya : Tata ruang Kota Bandung itu secara fisik harus punya paradigma, harus punya konsep bersama. Konsep yang disepakati bersama. Paradigma sekarang Kota Bandung itu apa coba? Apakah paradigma sekarang itu ekonomi? Hingga asal punya uang, terus datang ke pemerintah kota, dan diberi IMB. Ini yang harus disepakati, kalau paradigma memang ekonomi harus ditata ekonomi dengan baik, jadi bukan ekonomi liberal yang bebas, tapi ekonomi yang punya etika. Etikanya naon, ya harus dibicarakan lagi. Jadi kudu ada visi bersama hingga ada strategi budaya ke depan. Kalau pemetaan bersama-sama, tahu bersama, terus kita diskusikan bersama, jadi tujuan bersama, pasti tidak akan semerawut seperti sekarang.
Mongabay Indonesia : Harapan Anda untuk Walikota Bandung terpilih?
Tisna Sanjaya : Kalau saya sih punya harapan, dan momentum. Dari pemerintahan sebelumnya ada bagus, ada jelek, ada kekurangan. Dari sisi dua periode kepemimpinan Pak Dada, misal, saya mempelajari apa kesalahan beliau. Jangan sampai salah dua kali. Banjir, macet, hal fisik seperti itu. Harus deket dengan rakyat. Pokoknya mah jangan korupsi dan jangan bohong. Pastinya harus menjadi pemimpin yang dirindukan rakyat.