RSPO Dinilai Tak Efektif, Aktivis Lingkungan dan Pebisnis Sawit Bentuk POIG

Tak puas dengan kinerja dan efektivitas Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dinilai tidak maksimal dalam menjaga koridor dan memaksakan para pelaku bisnis melakukan pola produksi ramah lingkungan, beberapa LSM internasional, serta sejumlah pelaku bisnis kelapa sawit dunia membentuk sebuah koalisi baru dari Consumer Goods Forum (Forum Barang-Barang Konsumsi) bernama Palm Oil Innovation Group (POIG).

Kelompok baru bernama POIG ini, dalam rilis mereka pekan lalu menyatakan akan berkomitmen secara penuh untuk membentuk sebuah standar yang ketat untuk mereduksi deforestasi dan jauh lebih baik dibanding yang sudah dilakukan oleh RSPO selama ini. Target utama kelompok ini, adalah menghilangkan deforestasi secara keseluruhan dari produksi kacang kedelai, kelapa sawit, daging sapi dan bubur kertas di tahun 2020 mendatang.

Peta kebakaran WRI, sebagian besar kebakaran hutan terjadi di kawasan perkebunan. Sumber WRI
Peta kebakaran WRI, sebagian besar kebakaran hutan terjadi di kawasan perkebunan. Sumber WRI

Digagas oleh 8 anggota utama, yaitu Greenpeace, Rainforest Action Network, World Wildlife Fund for Nature (WWF) dan Forest People Programme sebagai anggota yang mewakili kelompok lingkungan, serta Daabon Organic dari Kolombia, New Britain Palm Oil, Agropalma dan sebuah perusahaan yang berbasis di Indonesia Golden Agri Resources dari sisi produsen, mereka berupaya mempromosikan sejumlah inovasi di bidang industri kelapa sawit untuk menekan deforestasi dan tetap menguntungkan secara ekonomi. Lewat tekanan yang dilakukan oleh para konsumen, kelompok ini berharap sejumlah perusahaan lain untuk bergabung dalam aliansi ini.

“POIG menawarkan kepada para perusahaan, kesempatan untuk berinovasi, menetapkan batas yang jelas dan meningkatkan standar,” ungkap Direktur Operasional dan Wakil Presiden Bidang pertanan WWF Amerika Serikat, David McLaughlin.

Kelompok baru ini salah satunya dibentuk sebagai sebuah reaksi atas kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun di beberapa wilayah di Sumatera dan menyebabkan kabut asap melanda negara-negara di kawasan tersebut bahkan hingga mencapai kondisi terburuk dalam beberapa tahun terakhir ini. Kebakaran hutan yang berbuntut terseretnya sejumlah nama pebisnis kelapa sawit akibat praktek pembakaran yang dilakukan untuk membuka perkebunan, menyebabkan kerusakan habitat satwa serta konflik sosial dengan masyarakat adat ini dinilai akibat lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh RSPO terhadap anggota-anggota mereka yang melakukan pelanggaran di lapangan.

RSPO sendiri yang dibentuk tahun 2004 silam, selama ini memang seringkali menuai kritik akibat dinilai terlalu lemah. Dalam pertemuan mereka di bulan April silam misalnya, organisasi ini dinilai justru menurunkan kriteria untuk mendapat sertifikasi resmi RSPO yang mengharuskan mereka mengukur emisi karbon dioksida perusahan-perusahaan yang mengajukan sertifikasi ini.

Hutan tropis yang sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Foto: Rhett A. Butler
Hutan tropis yang sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Foto: Rhett A. Butler

“RSPO adalah sebuah raksasa besar dan organisasi multi-mitra ini dalam prosesnya banyak melibatkan konsensus,” ungkap pejabat sementara Direktur Eksekutif di Rainforest Action Network, Linsey Allen. “Hal itu tidak selalu menjadi cara yang baik untuk mengubah sesuatu secara agresif.”

“Kami memiliki titik permulaan yang berbeda, kami tidak mulai dengan menanyakan apa yang mungkin, kami menanyakan apa yang dibutuhkan. Dan apa yang dibutuhkan adalah untuk menghentikan pelanggaran hak azasi manusia, memberikan masyarakat adat hak mereka dan menghormati mereka, dan menekan kerusakan lingkungan dari sektor ini.”

Fokus kepada hutan adat menjadi salah satu hal utama yang dilakukan dalam kelompok kecll ini.  Sejak awal mereka menetapkan bagaimana memisahkan hutan adat dan hal ini membuat pihak perusahaan untuk menyisakan kawasan yang cukup bagi komunitas lokal untuk tetap menumbuhkan tanaman pertanian mereka, menghitung emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh perusahaan dan tidak memusnahkan lahan gambut yang menjadi salah satu penyimpan karbon utama.

Dengan jumlah anggota yang hanya segelintir ini, POIG yakin bahwa mereka bisa memenuhi target yang mereka tetapkan  dibanding RSPO yang kini memiliki anggota lebih dari 1000 perusahaan. Dalam sebuah hasil penelitian memperlihatkan bahwa sekitar 17% produksi kelapa sawit dihasilkan dari lahan yang dibangun di atas lahan gambut, dan menyebabkan terbuangnya jutaan ton karbon ke udara. Akibatnya, perkebunan kelapa sawit menyumbang sekitar 2/3 emisi karbon di Indonesia, yang merupakan emisi karbon terbesar ketiga di dunia beberapa tahun silam. Undang-undang di Indonesia sendiri masih mengizinkan konversi lahan gambut yang memiliki kedalaman kurang dari tiga meter untuk menjadi perkebunan.

Akuntabilitas Karbon inilah yang kemudian menjadi dasar bagi POIG memisahkan diri dari RSPO. Selain itu POIG juga meminta pihak perusahaan yang menjadi anggota untuk membentuk mekanisme yangmemungkinkan untuk melacak asal muasal minyak kelapa sawit.

Sebuah langkah awal yang menjanjikan harapan baru. Namun praktek nyata dan hasil karya di lapangan, masih harus dibuktikan lebih lanjut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,