,

Sangihe dan Sitaro, Dua Kawasan Penting Burung Dalam Bahaya

Pegunungan Sahendaruman dan Siau di Kabupaten Sangihe dan Sitaro, Sulawesi Utara,  merupakan daerah penting bagi burung atau important bird area (IBA) karena memiliki jenis-jenis burung endemik. Kini,  kawasan ini mengalami kerusakan karena alih fungsi lahan hingga mengancam habitat burung di sana.

Temuan ini menjadi salah satu pembahasan seminar sehari mengenai hutan dan biodiversitas oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado dan Burung Indonesia, yang dihelat pada 5 Juli 2013 di Manado.

Amsurya Warman Asa, Senior Wallacea Program Officer dari Perkumpulan Burung Indonesia, mengatakan, kawasan ini memiliki peran sangat penting bagi keberlangsungan hidup spesies-spesies burung endemik dan terancam punah secara global.

Jenis burung di Sahendaruman antara lain burung madu Sangihe (Aethopoyga duvyenbodei), seriwang Sangihe (Eutrichomyias rowleyi) dan kepudang sungu Sangihe (Collurucincla sanghirensis), serta kacamata Sangihe (Zosterops nehrkorni).

“Saat ini, kawasan  Sahendaruman dalam tekanan tinggi dengan kerusakan habitat dan perubahan fungsi lahan. Ini dapat menyebabkan hilang atau punahnya jenis-jenis burung di dunia yang hanya terdapat di Sangihe ini,” katanya kepada Mongabay, Rabu (10/7/13).

Begitu pula Pulau Siau, banyak jenis burung endemik dan kritis di sana. Ada celepuk Siau (Otus siaoensis) jenis burung hantu yang hanya ada di Siau dan tak pernah terlihat lebih dari 100 tahun.

Pulau Siau menghadapi ancaman sangat besar dari kerusakan habitat dan perburuan. Luas hutan tersisa di pulau ini hanya kurang dari lima persen. Nasib celepuk Siau pun makin mengkhawatirkan.

“Dari 334 IBA’s  in danger di dunia dalam  115 negara, dua di Indonesia yaitu Pegunungan Sahendaruman dan Siau, Kabupaten Sangihe dan Sitaro.”

Amsurya menjelaskan, IBA’s in danger merupakan suatu inisiatif Birdlife International dan mitra-mitra di dunia.  Burung Indonesia sebagai salah satu mitra di Indonesia mengidentifikasi dan mengetahui IBA di Indonesia yang saat ini dalam bahaya kerusakan ekosistem cukup tinggi. Kawasan ini akan diprioritaskan bagi tindakan – tindakan konservasi.

Amsurya berharap, hasil penelitian itu, diperkuat tindaklanjut kongkrit di lapangan oleh para pihak, apakah dalam bentuk instrumen rencana program pembangunan, kebijkan atau regulasi. Hingga hasil penelitian benar-benar memberikan manfaat  demi perbaikan kondisi biodiversitas dan hutan Indonesia. “Tidak hanya dipajang dalam rak perpustakaan atau dalam sistem data base digital  yang cukup rahasia dan cenderung sulit diakses.”

Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, mengungkapkan, Indonesia negara dengan keragaman hayati tinggi. Dari sekitar 5 juta keragaman hayati di dunia, 15 persen di Indonesia. Namun, tidak sampai lima persen dimanfaatkan. Kondisi ini, menyebabkan Indonesia rawan pencurian sumber hayati (biopiracy).

Pendokumentasian pangkalan data (database) merupakan modal awal bagi penyelamatan sumber-sumber genetik di negeri ini. Kegiatan ini dapat dimulai dari pemetaan, terutama pada wilayah yang memiliki potensi besar dan memerlukan penanganan.

Burung Indonesia turut penyusunan profil ekosistem Wallacea. Kawasan Wallacea meliputi kepulauan di Indonesia sebelah timur Bali hingga sebelah barat Papua (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara) serta Timor-Leste.

Wallacea dipilih dalam program ini karena kaya keragaman hayati tetapi terancam pengrusakan, pemanfaatan berlebihan, dan invasi jenis-jenis asing. Wallacea juga terkenal dengan jenis-jenis endemis alias khas yang tidak dijumpai di tempat lain, tetapi sebagian masuk dalam daftar jenis terancam punah World Conservation Union (IUCN).

Burung madu Sangihe, endemik Sangihe yang sudah langka. Foto: Burung Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,