, , ,

Kearifan Masyarakat Adat Patalassang Menjaga Wilayah dan Hutan Mereka

Hari menjelang sore ketika kami tiba hutan pinus Malino, Kabupaten Gowa, setelah sekitar 2,5 jam mengendarai mobil dari Makassar, awal Juli 2013. Udara dingin. Pohon-pohon pinus setinggi puluhan meter berdiri tegak di kawasan wisata keluarga yang ramai dikunjungi kala akhir pekan ini.

Perjalanan belum berakhir. Desa Pao, wilayah adat Patalassang, tujuan kami masih beberapa kilometer lagi. Mobil mendaki meliuk-liuk menyusuri tebing curam. Akhirnya, tiba di perhentian terakhir mobil.

Perjalanan dilanjutkan menggunakan sepeda motor. Akses jalan berupa tanah sempit dan mendaki. Di musim hujan, jalanan ini hanya bisa dengan jalan kaki karena licin dan berlubang. Motor yang akan digunakan pun harus dipesan sebelumnya, karena tak ada ojek di sini. Motor ini milik warga kampung disewa Rp30 ribu.

Wilayah adat Patalassang berada di tebing dua gunung menjulang tinggi, Bulu’ Bowonglangit dan Bulu’ Barani. Ia memiliki ketinggian 650 meter– 1.800 meter dari permukaan laut. Bowonglangit berarti di bawah langit karena berada di tempat tinggi.

Setelah bermotor sekitar 20 menit kami tiba di pintu gerbang Kampung Patalassang, disambut sebuah pohon beringin berusia seratusan tahun. Konon beringin ini tongkat yang ditanam sebagai penanda kampung. “Dulu ada tiga beringin besar di sini, namun kini tinggal sebuah,”  kata Soleh, tokoh adat Patalassang, kala menyambut kedatangan kami.

Tampak beberapa petani baru pulang dari sawah. Mereka menyapa dengan bahasa yang tidak saya pahami. Masyarakat di sini bernenek moyang Bugis-Makassar, dengan bahasa lokal dikenal dengan bahasa Konjo.

Rumah-rumah panggung terlihat berusia tua berjejer di sepanjang jalan. Beberapa orang tampak tengah merapikan sisa ranting pohon yang baru dibawa dari hutan. Ranting disusun di bawah kolong rumah mereka.

Dari ketinggian kampung terlihat bentangan sawah tadah hujan berundak. Tak hanya padi, ada sayuran seperti kubis dan sawi. Lahan sawah dan sayuran itu sudah ada sejak dulu dengan luasan tak bertambah.

Udara dingin mulai menusuk membuat kami menggunakan beberapa lapis pakaian. Kawasan ini menurut hasil survei partisipatif ini memiliki luas wilayah sekitar 25,17 kilometer dan berada di wilayah administrasi pemerintahan Desa Pao, Kecamatan Tombolopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Patalassang, dari bahasa Makassar berarti penghidupan. Ia bermakna hutan adalah sumber penghidupan, bumi tempat berpijak yang tidak hanya bisa diambil tetapi harus tetap terjaga. Sejak dulu, sebelum ada larangan pemerintah memasuki dan mencari penghidupan di hutan yang diklaim sebagai hutan ‘negara’, masyarakat adat Patalassang memiliki mekanisme tersendiri dalam pelestarian hutan mereka.

Dalam pandangan mereka, sebagai sumber penghidupan hasil hutan bisa diambil, namun dalam aturan sangat ketat dan batasan-batasan tertentu. Beberapa bagian hutan bahkan dikeramatkan. Sama sekali tak boleh tersentuh dan dimasuki manusia kecuali untuk keperluan ritual. Ada kutukan dan sanksi sosial bagi warga melanggar larangan itu. Pelanggaran aturan-aturan adat dinilai bisa merusak keseimbangan alam. Hutan keramat mereka bernama Puang Loheya.

Bagian hutan yang boleh dieksplotasi pun tidak bisa seenaknya ditebang. Sebelum menebang pohon, mereka harus bertanya kepada ‘pohon’ apakah rela ditebang. Jika mereka mendapat jawaban melalui perantara ‘sanro’ atau dukun adat bahwa pohon enggan ditebang, maka mereka mencari pohon lain. Setiap penebangan pohon pun akan dibarengi penanaman pohon baru.

“Komunitas adat Patalassang memiliki mekanisme pengelolaan sumber daya hutan yang justru bertujuan pelestarian hutan itu. Ini diwariskan turun temurun oleh nenek moyang dan masih bertahan hingga sekarang,”  kata Muhlis Paraja, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Gowa.

Untuk pengelolaan sawah, secara kolektif. Satu hamparan sawah tak boleh menjadi miliki pribadi. Ia sawah adat yang dikelola bergilir. “Penduduk boleh bertambah, namun luasan sawah selalu sama. Satu hamparan sawah bisa dikelola sampai 50 orang secara bergilir. Setiap orang dalam satu kelompok mendapat hak pengelolaan sawah selama satu tahun.”

Dalam mengelola sawah ini memiliki berbagai macam ritual. Mulai dari masa pengolahan lahan dan pembibitan hingga masa panen dan menikmati hasil panenan pertama. Masyarakat adat Patalassang percaya, semua berkah dari sawah bersumber dari pemberian dan kebaikan hati Sang Dewi Sri. Maka semua ritual sesembahan pengelolaan sawah ini ditujukan kepada sang Dewi Padi ini. “Ada yang pernah mencoba melanggar ritual, hasilnya panen mereka tidak bertahan lama. Seakan-akan habis begitu saja dengan cepat,” kata Muhlis.

Wilayah komunitas Adat Patalassang dibagi menjadi tiga bagian kampung, masing-masing dikepalai kepala kampung (RK) yakni, Kampung Jahi-jahia, Borong Parring dan Bentengia. Wilayah-wilayah kampung ini hampir tidak pernah tersentuh pembangunan, hingga akses dan sarana prasana sangat terbatas. Pembangunan atas inisiatif dan swadaya masyarakat setempat.

Patalassang berada di bagian Timur Kabupaten Gowa, dengan berjarak sekitar 92 km dari Kota Sungguminasa, ibukota kabupaten dan berjarak tiga km dari ibukota Desa Pao. Ada sekitar 156 keluarga mendiami kawasan ini dengan populasi 694 jiwa.

Merunut sejarah, nenek moyang masyarakat adat Patalassang berasal dari perpaduan dua suku besar di Sulsel, yaitu Bugis dan Makassar. Suami bernama Massa dari Kabupaten Bone bersuku Bugis, istri bernama Ando Baja dari Pao, Kabupaten Gowa bersuku Makassar.

Menurut Soleh, kedua pasangan suami istri nenek moyang mereka ini diperkirakan hidup dan mulai mendiami kawasan Patalassang sekitar tahun 1880-an. Mereka saat itu menghadap ke penanggung jawab Distrik Pao agar diberi lahan yang bisa dikelola dan bisa ditinggali. Mereka diberi kawasan hutan sekitar lereng dua gunung itu, yang dinamai Patalassang.

“Mungkin dinamai Patalassang atau penghidupan karena kedua nenek moyang kami itu menilai kawasan itu sebagai awal kehidupan mereka dan anak cucu kelak,” ucap Soleh. Dia keturunan langsung dari pasangan perintis kampung ini dan memiliki posisi cukup penting dalam struktur masyarakat adat Patalassang.

Mereka memiliki dua hal yang disakralkan, sebuah pohon beringin besar sebelum memasuki pintu gerbang kampung, dan hutan keramat Puang Loheya.

Soleh, karena dianggap keturunan langsung pendiri kampung diberi tanggungjawab ritual untuk pohon beringin. Sedang hutan Puang Loheya segala ritual menjadi tanggung jawab sanro atau dukun adat dijabat Dussing.

Mereka berdua bertanggung jawab menyelenggarakan berbagai ritual terkait lingkup tanggung jawab masing-masing. Peranan ini turun temurun, biasa lewat penunjukan adat melalui ritual keagamaan. Mereka yang ditunjuk sebagai pewaris bisa dari keturunan langsung, anak, atau keturunan tidak langsung, misal kemanakan.

“Biasa orang yang akan ditunjuk sebagai pewaris melalui penunjukan secara gaib dan itu tidak terbatas diwariskan kepada keturunan langsung, bisa juga kerabat-kerabat terdekat bersangkutan,”  kata Muhlis.

Soleh juga bertanggungjawab menjaga salinan lontara Patalassang, beserta berbagai benda-benda keramat lain. Soleh juga guru dan kadang menjadi dokter penyembuh atau tabib bagi masyarakat Patalassang hingga kerap dipanggil warga sebagai guru Soleh.

Ritual masih terjaga dan dilakukan setiap tahun, seperti pengelolaan sawah dan tolak bala. Ritual ini dimulai dari tahap membajak sawah hingga menikmati hasil panen.

Ritual sawah dimulai dengan upacara appamula reha, bisa diartikan sebagai pembajakan sawah. Sebelum membajak sawah harus melakukan berbagai laku. Ini biasa pada hari-hari tertentu yang dianggap hari baik. Sebelum penaburan benih ada ritual anggambure bine. Ritual ini pada malam hari sebelum penaburan benih pertama.

Biasa, dengan pembacaan kitab semalam suntuk. Isi kitab ini, berbahasa Bugis, berisi antara lain doa atau permohonan kepada yang Maha Kuasa agar diberi kelancaran dan keselamatan. Ada juga pesan-pesan hal-hal baik, salah satu larangan bagi keluarga bertengkar di siang hari.

Saat padi sudah mulai tumbuh, ritual lain pun dilakukan, yaitu abbabbasa. Ia bertujuan menghindari gangguan hama berupa tikus dan burung. Menjelang panen, ritual akkanre mata. Pada ritual ini sesajen beras mentah, telur dan kunyit.  Maknanya, agar padi kelak bisa berhasil, berisi seperti telur dan berwarna kuning bak kunyit.

Saat panen ritual disebut appamula. Setelah panen biasa dilanjutkan dengan potong ayam. Ritual terakhir appare lolo, sebelum petani memakan hasil panenan pertama mereka. Semua ritual ini diperantarai oleh Dussing sebagai sanro atau dukun adat.

Ajaran animisme masih kuat pada masyarakat adat Patalassang yang semua sudah beragama Islam. Terjadi proses peleburan nilai dan ajaran antara agama Islam dengan kebudayaan animisme sebagai warisan dari para pendiri komunitas adat terdahulu.

Soleh mengatakan, ajaran Islam masuk pertama kali dibawa Puang Guru Sama. Dia warga Patalassang yang merantau ke berbagai negeri untuk menimba ilmu dan pengetahuan Islam. Setelah tuntas berguru, dia kembali ke kampung dan mulai menyebarkan Islam, diperkirakan pada periode 1900-an.  Posisi Soleh pun tak hanya memimpin ritual-ritual adat, tapi ritual-ritual keagamaan, seperti barazanji dan lain-lain.

Guru Soleh (berkopiah), salah seorang tokoh adat Patalassang yang merupakan keturunan langsung dari pasangan pendiri kampung Massa dan Ando Baja. Dia dipercaya sebagai salah seorang pelaksana ritual dan tabib kampung.  Foto: Wahyu Chandra
Guru Soleh (berkopiah), salah seorang tokoh adat Patalassang yang merupakan keturunan langsung dari pasangan pendiri kampung Massa dan Ando Baja. Dia dipercaya sebagai salah seorang pelaksana ritual dan tabib kampung. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,