Walhi Bali: Dokumen Izin Pengelolaan Teluk Benoa Dirilis Saat Publik Gencar Menolak Reklamasi

Sebuah dokumen Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali bernomor 2138/02-C/HK/2012 membuat publik Bali tercengang pada awal Juli lalu. Dalam SK tersebut, sebuah perusahaan swasta PT. Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI) diberikan izin dan hak pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa, sebuah perairan strategis di selatan Bali. Tak tanggung, PT. TWBI diberikan hak pemanfaatan seluas 838 hektar dengan jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun.

Kemunculan SK yang ternyata telah ditandatangani Gubernur Bali Made Mangku Pastika pada 26 Desember tahun 2012 lalu, beberapa bulan sebelum pilkada Bali pada Mei 2013, terjadi ketika gelombang penolakan terhadap rencana pembangunan kawasan Teluk Benoa sedang menguat. Para aktivis lingkungan, akademisi, dan masyarakat umum lainnya tengah gencar menyatakan penolakannya atas rencana reklamasi Teluk Benoa itu melalui media massa maupun media sosial. Tak ada yang menduga kalau jauh sebelum kabar rencana pembangunan itu muncul, Pastika sudah mengeluarkan izin resmi bagi perusahaan yang masih di bawah bendera Artha Graha group itu.

“Gubernur Bali telah melakukan pembohongan publik. SK itu dikeluarkan secara diam diam. Kami yakin ada sesuatu di balik SK itu. Apalagi SK dikeluarkan sebelum pilkada,” Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Wayan ‘Gendo’ Suardana mempertanyakan.

Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali. Foto: Ni Komang Erviani
Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali salah satu wilayah yang akan tergerus akibat persizinan pengelolaan yang diberikan kepada PT TWBI. Foto: Ni Komang Erviani

Kabar burung tentang adanya rencana reklamasi di kawasan Teluk Benoa sebenarnya sudah beredar sejak beberapa bulan lalu. Namun baru akhir Juni lalu, kabar itu lebih terang dengan beredarnya sebuah dokumen kajian oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana berjudul “Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa, Bali.”

Dalam dokumen setebal 73 halaman itu, terungkap bahwa PT.TWBI akan mereklamasi kawasan Teluk Benoa, tepatnya di perairan yang tak jauh dari Tanjung Benoa. Reklamasi dimulai dari perluasan Pulau Pudut, sebuah pulau kecil yang hanya seluas beberapa are dekat Tanjung Benoa. Di atas beberaa pulau hasil reklamasi itu, PT. TWBI akan membangun sebuah kawasan wisata terpadu yang dilengkapi tempat ibadah untuk lima agama, taman budaya, taman rekreasi sekelas Disney Land, rumah sakit internasional, perguruan tinggi, perumahan marina yang masing-masing dilengkapi dermaga yacht pribadi, perumahan pinggir pantai, apartemen, hotel, areal komersial, hall multifungsi, dan lapangan golf.

Benteng alami, kini semakin terjepit pembangunan proyek jalan tol di atas laut, dan kawasan yang berfungsi sebagai penahan tsunami ini kini semakin rentan terhadap bencana. Foto: Ni Komang Erviani.
Benteng alami, kini semakin terjepit pembangunan proyek jalan tol di atas laut, dan kawasan yang berfungsi sebagai penahan tsunami ini kini semakin rentan terhadap bencana. Foto: Ni Komang Erviani.

Terungkapnya rencana reklamasi itu, tak pelak mengundang banyak protes. Anehnya, Gubernur Pastika ketika dikonfirmasi pada akhir Juni 2013 sempat menyatakan belum tahu tentang rencana itu. Saat didesak tentang sudah beredarnya dokumen kajian oleh Universitas Udayana, barulah Pastika mengakui bahwa ada proposal dari PT. TWBI. Pastika pun mengaku pihaknya masih mengkaji rencana itu.

Tak berselang lama, pada 8 Juli 2013, SK Gubernur tentang pemberian izin bagi PT. TWBI mengagetkan banyak pihak, tidak terkecuali beberapa anggota DPRD Bali. Dalam kesempatan sidang paripurna DPRD Bali hari itu, anggota DPRD Bali dari Fraksi PDIP Ketut Kariyasa Adnyana menyampaikan interupsi untuk mempertanyakan keberadaan SK yang sedang menjadi isu hangat surat kabar lokal.

Anehnya, Ketua DPRD Bali AAN Oka Ratmadi yang memimpin persidangan tidak memberi kesempatan kepada Pastika untuk mengkonfirmasi SK itu. Politisi PDIP itu secara spontan menskors persidangan selama 10 menit sebelum memberi jawaban. Pertemuan tertutup pun digelar di ruang VIP antara Pastika, Ratmadi, dan beberapa ketua komisi. Setelah lebih dari 20 menit menggelar rapat tertutup, sidang dimulai kembali. Namun, lagi lagi hanya Ratmadi yang bicara. “Kita sepakat untuk melakukan kajian ulang untuk itu,” kata Ratmadi, tanpa menjelaskan keberadaan SK Gubernur tersebut.

Teluk Benoa. Foto: Ni Komang Erviani
Teluk Benoa. Foto: Ni Komang Erviani

Ketika dikonfirmasi usai persidangan, Pastika menolak bicara dengan alasan sudah ada kesepakatan bahwa Ratmadi yang akan menjelaskan keberadaan SK tersebut. “Ya, SK itu memang ada, memang benar. Sudah disepakati tadi, biar pak ketua (DPRD) saja yang menjelaskan,” kata Pastika sambil berlalu.

Namun Ratmadi mengaku tidak tahu tentang SK Gubernur itu. Ketua DPD PDIP Bali itu hanya mengakui bahwa DPRD Bali telah mengeluarkan rekomendasi untuk melakukan kajian lanjutan tentang rencana reklamasi Teluk Benoa. “Iya, dewan sempat mengeluarkan rekomendasi untuk melakukan kajian, karena Bali perlu pulau penyangga,” kata Ratmadi saat itu.

Baru keesokan harinya, 9 Juli 2013, Pastika bersedia menjelaskan tentang SK tersebut. “Kemarin sudah ada kesepakatan, pak ketua yang akan menjelaskan. Saya menghormati kesepakatan itu. Hari ini karena tidak ada lagi kesepakatan, maka saya jelaskan,” kata Pastika, tanpa mau merinci isi kesepakatannya dalam rapat kecil di dewan itu.

Pastika mengakui izin kepada PT. TWBI dikeluarkan berdasarkan hasil kajian dari LPPM Universitas Udayana dan rekomendasi DPRD Bali. Belakangan diketahui bahwa surat rekomendasi DPRD Bali bernomor 660/14278/DPRD Bali itu ditandatangani Ratmadi pada 20 Desember 2012. Surat rekomendasi itu pun ternyata tidak melalui rapat pleno di DPRD Bali, prosedur umum yang seharusnya dilakukan. Akibatnya, tidak semua anggota DPRD Bali mengetahui keberadaan surat rekomendasi dewan itu.

Cristiano Ronaldo saat melakukan penanaman mangrove di Bali bersama presiden. Foto: Ni Komang Erviani
Cristiano Ronaldo saat melakukan penanaman mangrove di Bali bersama presiden. Foto: Ni Komang Erviani

“Kenapa sih apriori banget? Kita ini mau maju atau gak sih? Mau sejahtera atau enggak sih? Kalau memang bawa kesejahteraan, tidak merusak lingkungan, tidak merusak adat, budaya dan agama, kenapa tidak sih?” Pastika beralasan.

Pastika juga menegaskan bahwa selain SK Gubernur, PT. TWBI juga harus melengkapi berbagai persyaratan lainnya sebelum membangun, termasuk menunggu pengesahan Peraturan Daerah tentang Arahan Zonasi Provinsi Bali serta Peraturan Derah tentang Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. “Buat Perda itu saja butuh waktu lama kok. Dan nanti tergantung isi Perda itu khan,” tegas Pastika.

Kajian yang dijadikan dasar penerbitan SK itu pun menyebabkan kehebohan di Universitas Udayana. Sejumlah civitas akademika Udayana mempertanyakan hasil kajian itu. Pertemuan ilmiah membahas kajian itupun digelar untuk mendengarkan penjelasan para peneliti yang terlibat. Dari pertemuan ilmiah yang tertutup bagi wartawan itu, terungkap bahwa hasil kajian itu belum selesai. “Itu baru kajian awal, belum selesai. Tapi kami tidak tahu bagaimana bisa dijadikan dasar SK oleh pihak Pemerintah Provinsi,” kata Ketua LPPM Universitas Udayana Ketut Satriawan usai pertemuan.Satriawan mengakui kajian itu dibuat berdasarkan permintaan PT. TWBI dengan nilai kontrak lebih dari Rp 1 miliar.

Dalam kajian itu, disimpulkan bahwa rencana reklamasi itu bisa diteruskan. Namun sejumlah akademisi Universitas Udayana meragukan hasil kajian itu. “Kenapa rencana pembangunannya di Bali selatan yang sudah jelas jelas jenuh dengan pariwisata. Bahkan ada kebijakan gubernur untuk moratorium pembangunan hotel di Bali selatan. Dari situ saja jelas ini tidak feasible,” Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kepariwisataan Universitas Udayana, Agung Suryawan Wiranatha menjelaskan.

“Hasil penelitian LIPI tahun 2010 menyatakan kawasan Teluk Benoa merupakan kawasan rawan likuifaksi bila terjadi gempa bumi. Jadi jelas, tidak mungkin melakukan reklamasi di sana,” Ketua Program Studi Lahan Kering Universitas Udayana, Luh Kartini, menambahkan.

“Itu hanya kesimpulan sementara, masih perlu kajian lanjutan,” ketua tim kajian Ida Bagus Adnyana mengkonfirmasi keragu-raguan rekannya sesama akademisi.

Pengamat hukum Universitas Udayana, Putu Sakabawa Landra, secara tegas meminta Pastika mencabut SK tersebut. “SK itu menggunakan dasar kajian yang belum selesai. Rekomendasi dewan juga dibuat tidak prosedural. Jadi gubernur sebaiknya mencabut SK ini. Lakukan kajian dulu, buat amdal (analisis dampak lingkungan) dulu, setelah itu baru dibuat SK,” kata Landra.

Gendo Suardana juga tegas menyatakan SK gubernur untuk PT. TWBI telah melanggar hukum. Ditegaskan, bahwa beberapa pasal yang mengatur konsesi hak pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaan perairan dalam UU no 27 tahun 2007 tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2011.

UU no 27 tahun 2007 dijadikan salah satu konsideran dalam SK Gubernur tersebut. “Pasal terkait konsesi di undang-undang itu sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian SK gubernur juga bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dicabut,”  tegas Gendo.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,