, ,

Masyarakat Adat Sikapi Putusan MK: dari Pasang Plang sampai Aturan Nikah Harus Tanam Pohon

Masyarakat Adat Sawai Gemaf. Berdasarkan keputusan MK 35/PUU/X2012 terhadap UU No 41 2009 tentang Kehutanan, bahwa Hutan Adat Bukan Hutan Negara. Kembalikan Hutan Adat Kami yang Dikuasai Perusahaan Tambang.” Itu bunyi plang kayu yang dipasang di lahan adat Sawai Gemaf, Halmahera, Maluku Utara (Malut) menyikapi putusan MK.

Di Malut, wilayah adat banyak dikuasai tambang. Kondisi ini juga terjadi di berbagai daerah, banyak tanah adat, hak ulayat, mejadi ‘milik’ perusahaan baik perkebunan, hutan industri maupun tambang. Masyarakat adat makin kesulitan mengakses sumber – sumber kehidupan mereka. Konflik agraria terus terjadi. Masyarakat adat bahkan terancam terusir dari tempat tinggal mereka.

“Kami pasang plang hutan adat. Kepada pihak – pihak seperti perusahan dan pemerintah untuk menghormati apa yang kami lakukan,” kata Konstantein Manikome Kepala Desa Gemaf di hadapan warga saat sosialisasi Putusan MK yang diadakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Malut, awal Juli 2013.

Dia mengatakan, hutan adat mereka saat ini dikuasai PT Weda Bay Nikel. Mereka tidak berdaya. Kebun merekapun diambil. Putusan MK ini sangat penting bagi mereka untuk mengambil kembali hak yang selama ini dikuasai perusahaan

Hutan adat Sawai Kobe juga dikuasai perusahaan. Melkianus Lalatang, tokoh masyarakat adat Sawai Kobe mengatakan, wilayah adat mereka kini dikuasai PT Tekindo. Mereka sudah memasang plang hutan sejak putusan MK keluar. Plang itu dijaga terus, tak boleh siapapun mengganggu baik perusahaan maupun pemerintah. “Itu hutan adat kami.”

Munadi Kilkolda, Ketua BPH AMAN Malut  mengatakan, tugas pemerintah melindungi masyarakat termasuk masyarakat adat. Namun, mereka bertindak sebaliknya. Pemerintah lebih senang mengeluarkan izin – izin tambang di hutan adat tanpa memikirkan dampak buruk masyarakat di kemudian hari.

Bertolak dari situ, AMAN Malut sosialisasi Putusan MK kepada komunitas masyarakat adat di Malut. Menurut dia komunitas–komunitas adat yang dikunjungi antara lain Togutil Dodaga, Lolobata, Haleworuru, Sawai Kobe, Sawai Gemaf, Pnu Kya, Pnu Mesem, Hoana Pagu, Hoana Modole, Hoana Gura, Lolobata dan Sahu. Sosialisasi ini sekaligus pemasangan plang hutan adat.

”Sosialisasi putusan MK ini agar masyarakat adat bisa mengetahui bahwa hak – hak mereka atas hutan itu dilindungi secara konstitusional,” katanya Selasa (16/7/13). Jadi,  siapapun yang akan berinvestasi di wilayah adat harus meminta izin masyarakat, bukan surat sakti dari bupati atau gubernur.

Screen Shot 2013-07-18 at 5.14.13 AM

Persiapan masyarakat adat menyikapi putusan MK juga dilakukan Sulawesi Selatan (Sulsel). Salah satu Masyarakat adat Patalassang di Kabupaten Gowa. Muhlis Paraja, Ketua AMAN Gowa mengatakan, saat ini masyarakat Patalassang sedang menyusun peraturan desa yang memberi kewajiban pasangan yang akan menikah menanam minimal 10 pohon.

“Kami masih terkendala penyediaan bibit. Sebagai persiapan pelaksanaan Perdes ini, ada upaya gotong royong dari warga menanam bibit sebagai persediaan tanam bagi pasangan yang akan menikah.”

Bukan itu saja. Ada juga pembuatan baruga atau ruang pertemuan warga. Di baruga inilah nanti sebagai salah satu ruang belajar bagi warga terkait pengelolaan hutan dan lingkungan secara umum.“Di sekeliling baruga ini akan kami fungsikan sebagai apotik hijau, yang ditanami berbagai tanaman obat-obatan. Ia bisa digunakan warga yang ingin berobat namun tak sempat ke dokter karena akses kesehatan susah,”  ucap Muhlis.

Masyarakat pun makin termotivasi melestarikan hutan yang berada dalam tanggungjawab mereka. “Alhamdulillah kalau sudah ada jaminan MK untuk kami masyarakat adat. Selama ini, kami diusir dan ditangkapi hanya karena mengambil kayu bakar untuk keperluan hidup di hutan yang sudah dimiliki nenek moyang kami sedari dulu,” kata Soleh, tokoh adat Patalassang.

AMAN Sulsel langsung sosialisasi dan pendekatan ke komunitas adat, termasuk menyusun langkah strategis. Langkah strategis itu antara lain mendokumentasikan eksistensi komunitas adat, pemetaan wilayah hutan adat dan memperkuat kembali kelembagaan dan aturan adat serta permbuatan papan pengumuman letak atau lokasi masyarakat adat.

Menurut Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel, peta hutan masyarakat adat ini akan diintegrasikan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) daerah di mana masyarakat itu berada. Pendampingan dan koordinasi dengan pemerintah terus dilakukan.

Menurut Sardi, hasil audiens dengan beberapa daerah menunjukkan, pemerintah daerah tidak masalah, mereka akan mengikuti aturan perundang-undangan Pusat.

Dia mengataan, pembuatan peta hutan masyarakat adat ini belum bisa di semua kawasan masyarakat adat. Mereka terkendala anggaran terbatas. “Patalassang menjadi daerah terpilh bersama beberapa daerah lain di Sulsel.”

Menurut data AMAN Sulsel, dari 71 komunitas adat yang tergabung dalam AMAN Sulsel baru sekitar 12 memiliki atau dalam proses menyusun peta hutan adat. Semua proses pembuatan peta ini melibatkan masyarakat secara partisipasif, mulai penentuan tapal batas hutan hingga pembuatan peta secara manual dan digitasi.

Di Kabupaten Gowa, teridentifikasi puluhan komunitas masyarakat adat, enam sudah tergabung di AMAN Sulsel, yaitu Patalassang, Bulutana, Teko, Matteko, Bolarumang dan Balisi. Masih ada 12 komunitas adat lain dalam proses pengajuan sebagai anggota.

Mengantisipasi ekspolitasi berlebihan terkait hak kelola hutan ini, berbagai aturan ditetapkan dan dirumuskan bersama. Aturan ini harus dipatuhi bersama oleh komunitas adat.

Ketentuan itu antara lain, untuk wilayah perlindungan disepakati antara lain bahwa hutan pohon di bantaran sungai tidak boleh ditebang, pohon yang siap diproduksi harus berdiameter 100 cm ke atas, hutan  yang dianggap lindung tidak boleh dikelola menjadi kebun. Jika ada penebangan pohon, seharusnya diadakan reboisasi di sekitar wilayah penebangan dengan menanam 10 pohon sebagai pengganti dan tidak dijadikan milik pribadi, pengambilan hasil produksi berupa kayu di wilayah hutan adat harus seizin pemerintah  setempat dan lembaga adat. Terakhir, pohon yang siap produksi tidak untuk diperjualbelikan.

Untuk wilayah produksi kayu terbatas disepakati bersama bahwa pohon di bantaran sungai tidak boleh ditebang, pohon siap produksi harus berdiameter minimal 50 cm. Penebangan satu pohon siap produksi harus disertai reboisasi di sekitar wilayah penebangan dengan menanam 10 pohon sebagai pengganti dan tidak untuk milik pribadi. Pengambilan hasil di dalam wilayah produksi kayu terbatas harus seizin pemerintah setempat dan lembaga adat.

Sementara untuk lahan garapan masyarakat beberapa kesepakatan warga antara lain, di sekitar bantaran sungai diharapkan ditanami tanaman jangka panjang menurut lahan masing-masing. Lalu, mengutamakan tanaman yang dapat meningkatkan perekonomian, dan pepohonan hulu sungai tidak boleh ditebang.

“Ini akan menjadi semacam rem bagi warga agar tetap menjaga kelestarian hutan, tidak menjadi seenaknya menebang hutan karena eforia dengan aturan baru ini. Ini disepakati bersama oleh seluruh warga adat Patalassang,” kata Sardi.

Wilayah masyarakat adat Patalassang, yang sudah terbagi-bagi, ada kawasan hutan lindung, hutan produksi, sampai lahan pertanian. Foto: AMAN Sulsel
Wilayah masyarakat adat Patalassang, yang sudah terbagi-bagi, ada kawasan hutan lindung, hutan produksi, sampai lahan pertanian. Foto: AMAN Sulsel
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,