Kini, ancaman besar mengintai masyarakat adat Kajang adalah kehadiran perkebunan karet London Sumatera atau PT Lonsum Tbk. Perusahaan perkebunan karet ini sudah lama ada di kawasan tanah ulayat Kajang. Awal berdiri perusahaan tahun 1906, semua saham dimiliki group Harrisons and Crosfield dari Inggris. Saat ini, kawasan komunitas adat Kajang sebagian besar masuk areal hak guna usaha PT Londsum.
PT Lonsum, salah satu perusahaan perkebunan terkemuka di Indonesia. Tidak hanya karet, perusahaan ini juga ekspansi perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan, serta perkebunan kopi dan teh di Jawa.
Cikal bakal PT Lonsum di tanah Kajang dimulai tahun 1919. Di tahun itu adalah awal masuk perusahaan perkebunan Belanda bernama NV. Celebes Landbouw Maatschappijh, di Kabupaten Bulukumba berdasarkan keputusan Jenderal Hindia Belanda No. 43 dan No. 44 tanggal 10 Juli 1919 dan 18 Mei 1921 dengan status hak erpacht (semacam hak guna usaha). Dalam perjalanan, perusahaan ini berubah nama menjadi PT Lonsum Tbk.
Di masa awal pembukaan perkebunan di Bulukumba, perusahaan NV. Celebes Landbouw Maatschappijh mendatangi Ammatoa, sekaligus meminta lahan untuk usaha perkebunan. Di awal pembukaan lahan dan usaha perkebunan, NV. Celebes Landbouw Maatschappijh menguasai dua wilayah yaitu: Ballombassi State dan Pallangisang State seluas 200 hektar. Kopi dan kapok (kapas) adalah jenis tanaman saat itu. Namun, perusahaan mengubah jenis tanaman menjadi tanaman karet.
Menurut Adam Kurniawan, tahun 1979, PT Lonsum menggusur sekitar 300 rumah dengan alasan penambahan luasan wilayah perkebunan sekitar 373 hektar di Desa Balong Kecamatan Ujung Loe.
Di tahun sama, dilakukan pertemuan di salah satu sekolah dasar di Pallangisang antara masyarakat dan PT Lonsum difasilitasi pemerintah setempat, TNI dan Polres Bulukumba. Salah satu poin kesepakatan saat itu, perusahaan bersama pemerintah akan memberikan ganti rugi dan mengangkat keluarga masyarakat menjadi karyawan.
Sayangnya, tahun 1980, PT Lonsum melanggar perjanjian untuk tidak memperluas perkebunan sebelum ada keputusan dari Pengadilan Negeri Bulukumba. Atas peristiwa ini PT Lonsum justru memperluas perkebunan di atas tanah ulayat adat Kajang seluas 1.000 hektar.
Tahun 1981-1982, PT Lonsum melakukan perluasan lahan perkebunan berlanjut di daerah Desa Bonto Biraeng. Di daerah ini, PT Lonsum merampas tanah ulayat masyarakat adat Kajang (sawah dan kebun) seluas 540,6 hektar, disertai penggusuran 500 rumah penduduk, 200 rumah-rumah kebun, sekaligus tempat tinggal. Perluasan areal dengan menggusur rumah dan tanah ulayat masyarakat juga terjadi di Desa Jo’jolo Kampung Bontoa, seluas 373 hektar.
Tahun 1980–1991, PT Lonsum merampas tanah berupa sawah dan kebun milik masyarakat di Desa Tammatto, seluas 1.518 hektar, serta menggusur 709 rumah (empat rumah dibakar). Tahun 1986-1988 terjadi perampasan dan penggusuran sekitar 30 hektar tanah masyarakat di Desa Tugondeng.
Penggusuran juga terjadi pada enam kampung yakni Kampung Ompoa (20 rumah, kebun dan sawah), kampung Bukia (sembilan rumah), Batulapisi (475 rumah), kampung Tangkulua (201 rumah) dan empat rumah dibakar serta di Kampung Pangisokan penggusuran rumah-rumah dan kebun milik petani.
Saat ini, konflik antara masyarakat adat Kajang dan perusahaan perkebunan ini bak bom waktu, sewaktu-waktu bisa muncul. Selama ini, ada sekitar lima sampai 10 hektar hutan milik masyarakat Kajang berada di luar wilayah adat Tana Toa. “Wilayah kekuasaan adat Ammatoa kawasan hutan tersebar di 10 desa, tinggal beberapa desa yang bisa dipertahankan,” kata Muhamad Nur Jalil, bagian hukum pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba.
Perda Masyarakat Hukum Adat Kajang, jadi urgen guna mengamankan wilayah adat ini. Menurut Jalil, perda ini nanti khusus masyarakat adat Kajang di Tana Toa.“Perda hanya dalam konteks hukum adat dan hutan adat seluas 331,17 hektar di Tana Toa.”
Misbawati A. Wawo, Kepala Dinas Kehutanan Bulukumba menjelaskan, di luar kawasan hutan milik masyarakat adat Kajang di Tana Toa, di Kabupaten Bulukumba, banyak beralih fungsi menjadi perkebunan dan pertanian. Mekanisme hutan kemasyarakatan dengan skema agroforestry pun dikembangkan pada wilayah-wilayah ini.
Untuk hutan di Tana Toa, masyarakat adat Kajang, punya cara sendiri dalam menyelamatkan tanpa campur tangan daerah atau negara. Kelembagaan adat mereka sangat kuat dalam mengatur hutan. Terbukti cara mereka sangat tepat dalam mengelola hutan. “Untuk itulah Perda sangat diperlukan guna mendapatkan pengakuan kepada masyarakat hukum adat Kajang di Tana Toa.”
Rencananya, perda selesai tahun ini. Untuk mencapai target itu, telah disepakati membentuk tim kerja kajian regulasi masyarakat adat Kajang Bulukumba. Ia terdiri dari pemerintah daerah setempat, masyarakat adat Kajang, Agfor Governance, Universitas Hasanudin, AMAN Sulsel, Bagian Pertanahan, dan LSM Balang.
Sultan, Kepala desa Tana Toa, bergelar Galla Lombo’ yang bertugas urusan pemerintahan luar dan dalam kawasan, mengatakan, perda sangat diperlukan sebagai legalitas formal bagi masyarakat adat Kajang dalam mengelola hutan adat. Habis