Minyak kelapa sawit dan produk turunannya adalah salah satu komoditi yang dipakai di puluhan ribu produk konsumsi di seluruh dunia, mulai makanan seperti gorengan, kosmetik bagi kaum perempuan hingga bahan bakar biodiesel. Permintaan kelapa sawit di Asia sendiri, dimana minyak kelapa sawit secara luas digunakan sebagai minyak untuk memasak dan bahan pembuat mie, telah menjelma menjadi industri raksasa 44 miliar dollar AS. Bulan Februari 2013 silam nilai ekspor kelapa sawit Indonesia (sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia) mencapai titik tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Seiring dengan pertumbuhan bisnis kelapa sawit, industri komoditi yang satu ini terus-menerus menarik perhatian aktivis lingkungan dari berbagai penjuru dunia. Bisnis global ini, dituding sebagai salah satu penyebab hancurnya hutan hujan tropis di Indonesia dan Malaysia demi memperluas perkebunan dan memenuhi permintaan pasar yang terus melonjak. Ekspansi ini, memberi dampak langsung bagi keseimbangan habitat berbagai satwa langka dan dilindungi di beberapa negara tropis, terutama Indonesia yang menjadi rumah bagi harimau Sumatera, gajah Sumatera, badak, orangutan, burung enggang dan berbagai satwa unik lainnya.
Harga yang mahal juga harus dibayar seiring dengan semakin maraknya berbagai masalah kemanusiaan yang terkait dengan kelapa sawit. Salah satunya adalah isu Hak Asasi Manusia. Dalam sebuah investigasi yang digelar selama sembilan bulan, dan wawancara dengan para pekerja perkebunan kelapa sawit di 12 perkebunan di Sumatera dan Kalimantan (dua pulau yang menjadi basis produksi 96% minyak kelapa sawit di Indonesia) terungkap bahwa dari sekitar 3,7 juta buruh perkebunan yang bekerja di sektor kelapa sawit mengalami kondisi yang berbahaya dan diperlakukan semena-mena. Urusan terjerat hutang, menjadi hal lumrah di kalangan para buruh, dan para pelaku perdagangan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit ini jarang sekali menerima sanksi hukum akibat perilaku mereka.
Dalam sebuah laporan Hak Asasi Manusia yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat tahun 2012 silam, kelapa sawit menjadi salah satu sektor yang rawan tenaga kerja paksa dan perburuhan pada anak-anak disamping beberapa sektor lain seperti pabrik garmen, produk makanan laut dan emas. Namun akibat minimnya tekanan dari para konsumen, perubahan yang terjadi terhadap kondisi ini sangatlah minim, jika tak bisa dibilang tidak ada. Perubahan hanya akan terjadi jika dua konsumen utama seperti Cina dan India yang mengonsumsi sepertiga produk kelapa sawit dunia membawa isu ini ke permukaan. “Kami menggunakan strategi gaya Barat terhadap isu yang dihadapi di Timur,” ungkap Direktur Bidang Pertanian WWF.
Diantara salah satu penyuplai minyak kelapa sawit dunia yang terbesar adalah Kuala Lumpur Kepong (KLK), sebuah perusahaan yang berusia 107 tahun dan berbasis di Malaysia. KLK meraih pendapatan sekitar 3,2 miliar dollar AS tahun 2012 silam, dan menjadi produsen kelapa sawit terbesar kelima di dunia.
Proses produksi di lapangan perusahaan ini yang dilakukan di 73 perkebunan milik mereka, KLK menyandarkan pada banyak perusahaan penyuplai yang membayar gaji buruh mereka dengan sangat rendah. Para pekerja ini melakukan mulai dari persiapan lahan untuk perkebunan. Setelah tiga tahun, mereka juga melakukan pemanenan secara manual, dimana berat setiap tandan bisa mencapai 25 kilogram dan menhandung sekitar 3.000 buah sawit.
Dari wawancara yang dilakukan dengan beberapa pekerja perkebunan milik KLK ini terungkap berbagai kisah tragis di perkebunan. Mereka ditipu, disiksa dan ditahan oleh perwakilan perusahaan yang bernama CV Sinar Kalimantan.
Salah satu contoh kasus yang diangkat dalam laporan ini adalah apa yang dialami oleh, sebut saja Adam. Pemuda 19 tahun dari Sumatera Utara ini menceritakan paksaan yang diterima oleh para pekerja perkebunan. Dia hanya dibayar 50 ribu rupiah per hari untuk mengemudikan truk di kawasan Berau Kalimantan Timur. Dia dibawa ke Kalimantan bersama sepupunya oleh seorang bernama Atisama Zendrato. Di Berau, bersama dengan 18 orang yang direkrut, beberapa diantaranya berusia 14 tahun, dipaksa untuk menandatangani kontrak kerja. Kontrak kerja ini mengikatkan mereka dengan bos Zendrato, seorang pria Malaysia yang tinggal di Medan, Sumatera Utara yang bernama M. Handoyo. Dalam kontrak ini, disebutkan bahwa mereka tidak bisa memilih jenis pekerjaan apa yang harus dilakukan, dan bersedia melakukan pekerjaan apapun yang diminta oleh piak perusahaan.
Dengan kontrak baru ini, gaji yang diterima oleh Adam, turun menjadi sekitar 40 ribu rupiah per hari. Namun Zendrato menyatakan bahwa pihak perusahaan tidak akan membayar apapun kepada para buruh selama dua tahun ke depan, dan hanya bersedia meminjami mereka uang sekitar 150 ribu rupiah per bulan untuk keperluan mereka. Kebutuhan makanan hanya disediakan seadanya oleh perusahaan. Dalam kontrak juga disebutkan bahwa semua buruh baik pria, wanita maupun anak-anak tidak diperkenankan meninggalkan perkebunan, bahkan untuk sementara waktu, dan Handoyo tidak menerima alasan apapun dari para buruh yang pulang ke desa mereka jika masih berada dalam kontrak dua tahun mereka.
Di lapangan, Adam ternyata tidak diberi pekerjaan mengemudikan truk. Dia bersama buruh lainnya diminta untuk membuka lahan untuk disiapkan menjadi perkebunan kelapa sawit baru. Para buruh mengangkut setidaknya 20 kantong pupuk dengan berat 50 kilogram setiap harinya. Jika mereka gagal, mereka harus menggantinya di hari lain, atau harus menerima potongan gaji.
Selain itu, para buruh harus bekerja dengan peralatan keamanan yang tidak memadai bagi kesehatan mereka. Tak ada helm pengaman, serta berurusan dengan herbisida Paraquat yang berbahaya bagi ginjal dan hati mereka. Bahan ini sudah dilarang setidaknya di 32 negara. Banyak buruh yang berusaha kabur dan tertangkap lalu disiksa. Polisi di Kabupaten Berau sempat menahan Zendrato dan menahannya selama satu hari sebelum melepaskannya lagi tanpa tuduhan apapun.
Pada bulan November 2010 Rainforest Action Network melaporkan penyiksaan di PT 198 yang merupakan anak perusahaan KLK ini. Lalu perwakilan dan sejumlah petinggi KLK menindaklanjuti hal ini dengan bertemu dengan tiga pekerja, termasuk seorang buruh anak berusia 14 tahun, dimana pada saat bersamaan digelar pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Jakarta. Para perwakilan perusahaan ini meminta maaf kepada para pekerja dan berjanji memulangkan mereka ke Nias serta mengganti semua kerugian, mereka mengaku tidak tahu peristiwa penyiksaan ini. KLK kemudian memutus kontrak dengan CV Sinar Kalimantan.
Adam sendiri mengaku, gajinya tak pernah dibayarkan. beberapa buruh lain, menerima kompensasi dalam jumlah yang berbeda-beda. Seorang buruh bernama Jacob, yang bekerja selama dua tahun dan mengalami luka bakar akibat terkena herbisida, menerima kerugian sekitar 1 juta rupiah, atau setara degan 2 sen dollar per jam kerja.Salah seorang juru bicara KLK menyatakan bahwa,”Untuk membayar buruh, mereka mengakui sudah melakukannya…itu adalah pekerja mereka dan kami juga ingin mereka bertanggung jawab terhadap pekerja mereka dan memastikan bahwa gaji yang tidak dibayar sudah dibayarkan.”
Kisah-kisah serupa masih banyak terjadi dalam berbagai perkebunan kelapa sawit di Indoneia dan dunia. Kisah Adam, hanyalah satu dari puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu kasus serupa yang luput dari perhatian kita sesama anak bangsa.
Untuk membaca laporan selengkapnya dari Bloomberg, silakan klik di link ini.