,

Aneh, Diberi “Police Line” Tetapi Tambang Arthaindo Masih Operasi

Sejak 28 Juni 2013, Polda Sulawesi Tengah (Sulteng), memasang police line (garis polisi) di areal tambang PT Arthaindo Jaya Abadi atas dugaan tindak pidana penggunaan  kawasan hutan tanpa izin di Desa Podi, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Anehnya, sampai saat ini operasi tambang bijih besi tetap berjalan.

Walhi dan Jatam Sulteng menilai, fakta ini wujud lemahnya penegakan hukum atas aktivitas deforestasi di Sulteng, yang makin massif dan tak terkontrol.

Arthaindo, beroperasi sejak 2012, dan mendapatkan perlawanan masyarakat korban banjir bandang tahun 2007. Masyarakat menolak kehadiran tambang di Podi karena akan berkontribusi kondisi ekologi makin buruk di kaki gunung Katopasa,  sepanjang bantaran Sungai Podi.

“Sayangnya, sejak police line dipasang Polda Sulteng, hingga Juli 2013 ini, Arthaindo masih saja operasi penambangan bijih besi di Desa Podi,” kata Ahmad Pelor, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, Jumat (26/7/13).

Kondisi ini,  memperburuk upaya penyelamatan hutan yang menjadi komitmen pemerintah, antara lain lewat kebijakan moratorium.  “Ini menunjukkan bagaimana aspirasi rakyat di daerah rawan bencana kurang mendapat perlindungan dari pemerintah.”

Dua lembaga ini mengecam lemahnya penegakan hukum atas Arthaindo. Mereka mendesak Polda Sulteng segera menghentikan aktivitas eksploitasi biji besi oleh Arthaindo. “Kami mendesak Kapolda Sulteng tidak tebang pilih dan transparan menegakkan hukum sektor kehutanan,” ucap Pelor.

Walhi dan Jatam meminta, pemerintah mendukung sepenuhnya aksi masyarakat korban banjir dan tambang  pada 26 Juli 2013, menutup tambang Arthaindo pada 26 Juli ini.

Sulteng, kata Pelor, bisa mengurangi emisi karbon empat persen dari total nasional. Jika melihat situasi deforestasi di daerah ini, kata Pelor, angka itu hanya isapan jempol. Catatan Walhi Sulteng, deforestasi di Sulteng cukup tinggi, dari tahun 1999 sampai 2008, rata-rata mencapai 62.000 hektar dari sekitar 4,3 juta luas hutan.

Masyarakat Podi memasang plank penutupan tambang PT Arthaindo Jaya Abadi Kabupaten Tojo una-una. Foto: Irsan/ Presedium Korban Tambang Tojo Una-una
Masyarakat Podi memasang plank penutupan tambang PT Arthaindo Jaya Abadi Kabupaten Tojo una-una. Foto: Irsan/ Presedium Korban Tambang Tojo Una-una

Syahrudin Ariestal Douw, Direktur Jatam Sulteng, mengatakan, Desa Podi menjadi lokasi paling dekat dengan aktivitas pengerukan eksploitasi Arthaindo, tepatnya di puncak  Gunung Umogi. Di sekitar Gunung Umogi  ada perkebunan masyarakat Podi sejak turun temurun.

Arthaindo,  anak perusahaan Earthstone Resources, penamanan modal dari India dengan luas konsesi 5.000 hektar, berdasarkan IUP yang dikeluarkan Bupati Tojo Una-una tahun 2012.

Sebelumnya,  PT. Adiguna Usaha Semesta adalah perusahaan pemegang izin eksplorasi, tetapi pemerintah Kabupaten Tojo Una-una, membuat perubahan dan memberikan izin eksplorasi dan ekspolitasi kepada Arthaindo.

Perubahan izin eksplorasi dari PT. Adiguna Usaha Semesta kepada Arthaindo ini berdasarkan surat permohonan Arthaindo tertanggal 26 Maret 2012,  Nomor; 04/AJA/III/2012.  Pada 3 April 2012, Bupati Tojo Una-una, Damsik Ladjalani mengeluarkan surat keputusan Nomor: 188.45/115/ Distamben. Surat ini tentang perubahan Keputusan Bupati Tojo Una-una tentang izin usaha pertambangan eksplorasi biji besi kepada Arthaindo.

Dari luasan 5.000 hektar izin  ini, membentang dari Kecamatan Tojo hingga Kecamatan Ulubongka. Kantor urusan-urusan administrasi dan pelabuhan jeti perusahaan berada di Desa Podi.   Dalam daftar pemegang saham Arthaindo ada tercantum Hadra Binangkari dan I Wayan Sudiana.

Hadra Binangkari, Direktur Arthaindo, kelahiran Desa Podi. Tahun 1960an, sang ayah,  Binangkari adalah tuan tanah yang menguasai tanah dan perkebunan kelapa, di sepanjang Kecamatan Tojo. Hadra Binangkari menikah dengan pejabat polisi bernama I Wayan Sudiana. Kini, salah satu anak mereka, Putu Hendra Binangkari menjadi perwira di Polda Sulteng.

Perusahaan ini, tak hanya mengeruk puncak Gunung Umogi, juga membangun pelabuhan di Dusun IV, Desa Podi. Pelabuhan ini tepat di sisi Jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan antara ibukota Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Poso.

Arthaindo, memulai aktivitas belum mendapatkan persetujuan masyarakat. Menurut dia, walaupun perusahaan ini pernah mengundang masyarakat Desa Podi dalam sosialisasi. Masyarakat diberi absen dan tanda tangan saat mengikuti kegiatan  itu. Namun, masyarakat menolak rencana tambang perusahaan  ini.

“Alasan penolakan masyarakat berdasarkan fakta-fakta kondisi desa sering terkena banjir bandang. Bahkan, dalam peta rencana eksplorasi dan eksploitasi Arthaindo, sangat jelas luas 5.000 hektar itu masuk hingga ke perkampungan Desa Podi,” kata Etal, panggilan akrab Ariestal.  Tak hanya itu. Warga resah karena dengan aktivitas perusahaan yang menggali dan merusak hutan di wilayah hulu Sungai Podi.

Warga Podi bahu membahu memagar jalan koridor tambang sebagai tanda penutupan tambang biji besi PT Arthaindo Jaya Abadi, Jumat (26/7/13). Foto: Irsan/ Presedium Korban Tambang Tojo Una-una
Warga Podi bahu membahu memagar jalan koridor tambang sebagai tanda penutupan tambang biji besi PT Arthaindo Jaya Abadi, Jumat (26/7/13). Foto: Irsan/ Presedium Korban Tambang Tojo Una-una

Banjir Morowali

Operasi tambang menggunakan metode open pit mining dan mengubah tutupan hutan secara massif juga terjadi di Kabupaten Morowali, Sulteng. Kondisi ini menyebabkan, Kabupaten Morowali menjadi langganan bencana banjir. Seperti terjadi 24 Juli 2013.

Banjir melanda sekitar lima kecamatan di Kabupaten Morowali, yakni Bungku Barat, Bungku Tengah, Sayojaya, Petasia, Bungku Utara, dan Bungku Timur. Lebih dari 100 rumah terendam, satu jembatan utama putus dibawa banjir, dan aspal jalan yang menghubungkan Bahodopi dan Bungku Tengah disapu banjir.

Etal mengatakan, walaupun tak ada debit hujan tingggi, sungai-sungai di Morowali sudah tercemari limbah tambang, terutama Kecamatan Petasia, Bungku Timur, dan Bungku Utara.

Jika musim panas, masyarakat kesulitan air bersih. Kala hujan datang, bukan hanya kesulitan air bersih, masyarakat terpaksa merelakan sebagian harta hanyut oleh banjir.

Data Jatam Sulteng, angka 189 IUP dalam analisa peta overlay dengan kawasan administrasi Morowali, sudah kelihatan tutupan hutan Morowali kian memperihatinkan. “Banjir setiap tahun menjadi konsekuensi yang harus dibayar mahal oleh rakyat dari ekspor 500 ribu metrik ton ore setiap bulan ke negeri China,” katanya dalam rilis kepada media, Kamis (25/7/13).

Bagi Jatam, kondisi ekologi dan syarat-syarat keselamatan manusia di Kabupaten Morowali, sudah genting. “Harus ada perubahan mendasar dalam soal tata produksi nikel dan tata kelola hutan, bagi keselamatan masyarakat Morowali,” ujar dia.

Untuk itu, Jatam mendesak  moratorium tambang nikel, hentikan open pit mining di Kabupaten Morowali. Lalu, tangkap dan adili aktor perusak hutan Morowali seperti PT Central Omega Resources, PT Bintang Delapan Mineral dan PT Pan Chinese serta PT Genba.   Jatam juga meminta agar Bupati Morowali, diadili karena dinilai sebagai pemimpin yang menciptakan kerusakan lingkungan di kabupaten itu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,