Komunitas Ciliwung: Pemerintah Masih Abai Terhadap Persoalan Sungai

Dalam rangka memperingati Hari Sungai Nasional tanggal 27 Juli 2013 bertempat di Komunitas Ciliwung Condet, Balekambang, Jakarta, kelompok-kelompok yang peduli terhadap kelestarian lingkungan sungai Ciliwung membahas berbagai persoalan tentang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Ciliwung.  Sungai Ciliwung sendiri merupakan sungai yang membelah ibukota Jakarta dengan aliran sepanjang 120 km yang berhulu di wilayah Puncak, Kabupaten Bogor.

Bagi M. Muslich, Koordinator Riset KPC Bogor Pemerintah masih dianggap abai dalam menyikapi pengelolaan sungai, bahkan baginya perayaan hari sungai pertama saja saja tidak direspon oleh Pemerintah, padahal Pemerintah sendirilah yang mencetuskan adanya Hari Sungai Nasional.

“Perayaan Hari Sungai Nasional tahun ini sebenarnya merupakan respon terhadap kebijakan Peraturan Pemerintah no. 38/2012 tentang sungai yang menetapkan tanggal  27 Juli sebagai Hari Sungai Nasional.  Kami melihat bahwa Pemerintah, yang notebene pencetus hari Sungai Nasional tersebut, sama sekali tidak memeriahkannya dengan kegiatan tertentu untuk publik, tidak melakukan apa pun.  Sehingga Komunitas Ciiwung yang bergiat di sungai merasa perlu mememeriahkannya untuk yang pertama kali sejak Peraturan tersebut ditetapkan.”

Komunitas Ciliwung menilai pengelolaan Sungai Ciliwung yang melintasi batas-batas administrasi hingga saat ini masih tidak direspon dengan kolaborasi yang baik antar pemerintah, sehingga pengurusan sungai tidak terintegrasi antara hulu dan hilir.  Di sisi lain, Badan Pemerintah yang bertugas mengurusi sungai belum melakukan hal yang nyata untuk mencegah atau menanggulangi permasalahan tersebut.

“Masalah utama pengelolaan sungai adalah RTRW jauh dari ideal, semua beban air dan limbah jatuh ke sungai, demikian pula soal perlindungan sempadan dan realita di lapangan ternyata berbeda. Ada dua aturan hukum yang bertolak belakang yaitu aturan BPN tentang hak kepemilikan pribadi dengan PP no 38/2012 tentang Sungai yang menyatakan bahwa sungai dan sempadan dikuasai oleh dikelola oleh negara,” demikian Sudirman Asun, Koordinator Ciliwung Institute dalam pernyataannya kepada Mongabay-Indonesia.

Klik pada gambar untuk memperbesar
Klik pada gambar untuk memperbesar

Dalam acara ini, tim riset susur sungai ‘Jelajah Keanekaragaman Hayati Ciliwung” melakukan hasil paparan temuan tentang kondisi lingkungan Sungai Ciliwung. Tim riset yang melakukan pengarungan selama 4 hari dari tanggal 21-24 Juni 2013 merupakan gabungan dari KPC Bojong Gede, Ciliwung Institute, Alumni Biologi Universitas Pakuan, KPC Condet, Mapala UI, Mapala Gunadarma dan mahasiswa IPB

Hasil riset menunjukkan terdapatnya titik gunungan sampah di sepanjang Ciliwung Bojong  Gede sampai dengan jalan Simatupang Jakarta.  Tim riset mencatat 215 titik gunungan sampah.  Sementara itu tercatat sumber limbah pencemar baik dari Industri maupun rumah tangga adalah sebanyak 127 titik.

Demikian pula, hasil riset Ciliwung Institute pada kegiatan Jelajah Taman Keanekaragaman hayati Ciliwung menujukan bahwa terdapat 94 titik pelanggaran terhadap bantaran sempadan Ciliwung.

Masalah ketidakjelasan pengelolaan sempadan sungai telah memberikan faktor tekanan terhadap ekosistem riparian (vegetasi di kanan-kiri sungai).  Ekosistem riparian berfungsi sebagai pagar antara ekosistem sungai dengan kawasan budidaya manusia.  Jika pagar ini dirusak apalagi di bongkar maka, tekanan terhadap sungai semakin tinggi. Konversi ekosistem riparian ini umumnya untuk permukiman, kawasan wisata, dan tanggul beton.

Hasil riset menujukkan masih ada titik-titik sempadan sungai yang memiliki ekosistem riparian yang masih baik, tercatat ada 178 titik rimbunan ekosistem riparian.  Dua puluh titik diantaranya dalam kategori besar.

Perubahan Fungsi Lahan Tutupan

Hariyanto, staf Daerah Tangkapan Air dari Forest Watch Indonesia (FWI) menambahkan bahwa dari hasil penelitian FWI pada tahun 2012 telah terjadi perubahan fungsi dari lahan tutupan hutan di wilayah hulu Ciliwung menjadi lahan budidaya dan permukiman.  Akibatnya, limpasan air yang membawa material tanah langusng masuk ke dalam badan sungai.  Akibatnya banjir akan terus terjadi.

Dari sekitar 29 ribuan hektar luas tutupan hutan di DAS Ciliwung, hanya tersisa 12 persen saja yang baik. FWI menilai kondisi tersebut tentunya tidak sesuai harapan yang diamanatkan oleh Undang-Undang 41tahun 2009 dalam pasal 3,6 dan 18 tentang Kehutanan, yang mengamanatkan keberadaan hutan sebagai daerah resapan air yang optimal mempunyai luasan yang cukup dan sebaran proposional, minimal 30 persen dari luas DAS atau pulau.

Hal yang sama terjadi dari penelaahan terhadap kondisi danau-danau kecil (situ) yang berada di dalam DAS Ciliwung yang menurut data Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2007 berjumlah 20 situ.

Hasil faktual lapangan menunjukkan bahwa beberapa situ telah hilang dan kondisi situ yang ada tak ubahnya kubangan air yang di penuhi oleh tumpukan sampah karena telah terjadi pendangkalan, bahkan ada beberapa situ yang telah hilang dan telah beralih fungsi menjadi perumahan.  FWI menilai, dari 22 situ dan 4 rawa yang ada dialiran DAS Ciliwung tidak akan mampu menahan air jika musim penghujan.

Komunitas Ciliwung sendiri merupakan jaringan para penggiat Ciliwung dari hulu hingga hilir yang tersebar mulai dari Puncak Tugu Utara (KC Puncak), Kota Bogor (KPC Bogor), Bojonggede (KC Bojonggede), Kota Depok (KC  Depok) dan Jakarta  Timur (KC Condet).

Sungai masih dianggap sebagai tempat sampah. Suatu pemandangan di Kota Bogor.  Foto: Ridzki R. Sigit
Suatu pemandangan di pinggir Ciliwung di Kota Bogor, sungai sering masih dianggap sebagai tempat sampah umum. Aktivitas warga yang membersihkan sampah. Foto: Ridzki R. Sigit
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,