Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai: Saya Takut Anak-Anak Tak Kenal Lagi Meranti…

Eddy Saritonga (34) sibuk memasang spanduk dan umbul-umbul di sepanjang jalan dari pasar Segamai menuju lapangan bola yang jaraknya sekitar 500 meter. Ia ditemani sejumlah pemuda Desa Segamai. Di antara spanduk yang dibentangkan mereka sudah terpasang spanduk jumbo berwajah Zulfkili Hasan dan Susilo Bambang Yudhoyono sedang memegang bibit pohon.

“Besok rencananya Menhut datang mengunjungi desa untuk menyerahkan SK hutan desa,” ujar Eddy kepada Mongabay Indonesia, Senin (29/7) petang.

Eddy dan ratusan warga Desa Segamai memang sedang mempersiapkan helat penting dan bersejarah. Hari itu bagai menyambut asa baru lembaran hidup mereka. Semua kegembiraan itu tersebab status hutan sekunder seluas 2.270 hektar di seberang desa mereka kini telah dicadangkan menteri untuk dikelola oleh mereka dalam skema hutan desa.

“Ini bisa menjadi alternatif pendapat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat jika hutan bisa dikelola secara ekonomis namun hutan tetap ada. Kemarin-kemarin kita tanam seribu bibit Jelutung. Ini nanti bisa dimanfaatkan,” kata Eddy.

Kegiatan menanam pohon bisa dikatakan pengalaman baru bagi masyarakat Desa Segamai terutama bagi Eddy. Sebab sejak tamat SMA dia lebih sering menginap berhari-hari di dalam hutan lalu menebang pohon-pohon alam untuk kemudian dijualnya ke toke-toke kayu yang waktu itu banyak memiliki sawmill di sekitar desa.

“Dulunya (banyak) illegal logging tahun 1997 sampai 2004. Selepas itu dah mulai berhenti. Pernah ikut ilog. Saya ikut sejak tamat SMA 1998-2002. Dapat duit banyak waktu itu. Rata-rata kayu yang didapat 60-70 kubik per bulannya. Per bulan bisa dapat 1,5 juta sampai 2 juta rupiah. Itu sudah bersih. Kalau sekarang setara 5 juta rupiah,” kata Eddy.

Ia menceritakan bagaimana cara kerja pembalakkan liar waktu itu. Sejumlah orang bergabung dalam satu kelompok dan mengumpulkan modal pribadi untuk menyewa gergaji mesin (chainsaw) dari toke. Namun bagi yang tidak punya modal, bukanlah hal yang sulit. Mereka bisa mendapatkan pinjaman modal secara mudah dari toke-toke kayu. Para toke kayu itu merupakan orang luar desa yang datang hanya mencari keuntungan dari bisnis kayu. Waktu itu arus kayu ilegal ini mengalir deras ke Malaysia dan negara lainnya.

“Kadang kami sebulan lamanya di dalam hutan meninggalkan keluarga di desa. Setelah mengumpulkan balok-balok kayu alam, kami pulang beberapa hari. Uang yang didapat besar nilainya. Tapi ya habis begitu saja,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Manaf (31) pemuda Desa Segamai yang juga ikut membalak waktu itu. Perputaran uang waktu itu bisa dibilang besar. Namun diakuinya uang yang diperoleh banyak habis untuk biaya hiburan. Maklum sebulan di dalam hutan yang membosankan memicu hasrat kesenangan mereka untuk segera dipenuhi seperti berkaraoke dan sebagainya. Akhirnya, uang yang seharusnya bisa disisihkan sebagian untuk modal ke hutan berikutnya tidak terkumpul.

“Banyak yang ngutang lagi. Bahkan sampai sekarang masih ada yang belum lunas utangnya. Ya bagaimana mau membayar, hutan tidak ada lagi,” kata Manaf.

Anak-anak  Desa Segamai sesaat sebelum acara penyerahan hak pengelolaan hutan desa. Foto: Greenpeace
Anak-anak Desa Segamai sesaat sebelum acara penyerahan hak pengelolaan hutan desa. Foto: Greenpeace

Seiring semakin sulitnya ketersediaan kayu di hutan di pinggiran hutan, masa-masa uang berlimpah pun mulai memudar. Mereka harus mencari kayu lebih jauh lagi ke pedalaman hutan yang menyebabkan biaya operasional semakin besar. Di waktu yang bersamaan, semangat pemberantasan pembalakkan liar dari pimpinan kepolisian Riau sangat tinggi. Beberapa kali razia dilakukan yang menyebabkan sejumlah sawmill tutup dan toke pun kabur tak berjejak.

Tepatnya pada tahun 2007, Eddy dan Manaf berhenti menebang pohon hutan. Mereka kembali ke desa dan mencari pekerjaan baru. Eddy yang kini sudah miliki seorang anak perempuan berumur dua tahun itu memilih menjadi guru di desanya. Sementara Manaf, bapak dua anak ini melanjutkan kebun kelapa milik keluarganya.

Namun rasa rindu untuk kembali membalak tak dapat dipungkirinya. “Tapi kami sadar, itu salah. Uang mudah didapat, tapi cepat habis. Makanya kami lari ke kebun,” kata Eddy yang kini menjadi Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa.

Sementara Manaf mengatakan, kesibukannya sebagai pengurus hutan desa bisa dikatakan untuk menebus kesalahan lalu. “Saya takut anak-anak tidak kenal lagi dengan meranti, punak dan yang ada di dalam hutan,” ujar bapak dua anak ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,