Warga Desa Bentrok dengan Aparat Menolak Pengeboran Proyek PLTU Batang

Batang, 30 Juli 2013 kemarin, sekitar pukul delapan pagi, pihak perusahaan PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) melakukan aktivitas pengeboran yang dinilai tidak berijin di lokasi tapak rencana dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap(PLTU) Batang. Aktivitas pengeboran ini dilindungi dan dikawal oleh berkisar 150 anggota Polri, 50 anggota TNI, 50 orang Polri berpakaian intel, 80 orang satpam dan 30 orang preman bayaran.

Warga yang menolak pembanguan PLTU yang diklaim terbesar se-Asia Tenggara ini kemudian mulai masuk untuk menghentikan pengeboran ini. Akan tetapi, penolakan warga tersebut berujung pada aksi kekerasan.

Seperti dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia dan dikirim oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menjelaskan kronologi kejadian. Pada mulanya, sekitar lima ratusan masyarakat Batang dari desa Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Ujungnegoro dan Roban mendatangi pengeboran, mencoba memberitahu pengebor agar menghentikan pengeborannya. Pada pukul 09.15 WIB usaha yang dilakukan warga tersebut kemudian berusaha dihentikan oleh TNI, Polri, satpam dan sejumlah orang tak dikenal.

Sejumlah warga menjadi korban dalam benturan ini. Foto: LBH Semarang
Sejumlah warga menjadi korban dalam benturan ini. Foto: LBH Semarang

Kemudian kurang lebih 500 warga baik laki-laki maupun perempuan dipukuli dan ditendang hingga korban akhirnya berjatuhan. Dalam pendataan LBH Semarang yang dihimpun dari keterangan korban dan saksi, korban yang terluka sejumlah 17 orang diantaranya 15 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.

Warga dipukuli dan ditendang oleh TNI dan Polri. “Kami menyesali TNI dan Polri ikut terlibat untuk mengamankan dan melindungi aktivitas tersebut bersama Satpam Perusahaan dan preman bayaran,” kata Kashmir, salah seorang warga yang ikut menjadi korban.

Wahyu Nandang Herawan dari LBH Semarang kepada Mongabay Indonesia mengatakan, pihaknya mengecam tindakan yang dilakukan oleh TNI dan Polri terkait kekerasan yang dilakukan. Pihaknya menuntut Kapolri dan Panglima TNI untuk memberikan sanksi terhadap anggotanya yang telah melakukan tindakan kekerasan tersebut. “Selain itu, kami mendesak Hatta Radjasa selaku Ketua Harian MP3EI untuk segera membatalkan rencana pembangunan PLTU Batang ini karena masyarakat jelas-jelas menolak rencana pembangunan PLTU ini. Kami khawatir akan terjadi insiden yang lebih besar yang akan yang lebih besar yang akan memakan korban lebih banyak,” kata Wahyu Nandang Herawan, Staff YLBHI-LBH Semarang.

Sejumlah aparat terus berjaga di lokasi pengeboran. Foto: LBH Semarang
Sejumlah aparat terus berjaga di lokasi pengeboran. Foto: LBH Semarang

Aktivitas melanggar hukum sebelumnya juga dilakukan oleh pihak PT. BPI saat melakukan penutupan sungai Sipatan. Selama ini, sungai Sipatan ini menjadi sungai tumpuan bagi para petani di Desa Ujungnegoro dan Karanggeneng untuk mengaliri sawah mereka. Hal ini secara otomatis akan mengancam para petani didesa tersebut sehingga sawah mereka kekurangan air.

Penolakan warga ini sebagai reaksi atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT Bhimasena Power Indonesia yang melanggar Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan. Pelanggaran hukum ini justru ini diamini oleh aparat Kepolisian dan TNI setempat serta Badan Lingkungan Hidup (BLH) Batang dan Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah.  “Penutupan sungai ipatan ini dilakukan untuk membuat jembatan penghubung sebagai akses jalan antara kedua desa yaitu Desa Ujungnegoro dan desa Karanggeneng yang menjadi tapak PLTU Batubara Batang,” kata Nandang.

Denah PLTU Batang. Klik untuk memperbesar peta
Denah PLTU Batang. Klik untuk memperbesar peta

Kapolres Batang saat dihubungi Mongabay Indonesia kemarin melalui SMS menjelaskan, bahwa pihak Polri memberikan pengamanan kepada setiap warga masyarakat baik diminta maupun tidak diminta. Sedangkan pada kegiatan pengeboran, Polres Batang mendapat permintaan secara tertulis dari pihak PT BPI untuk melakukan pengamanan pada kegiatan pengeboran. “Jadi kami tidak membeking pihak perusahaan.” jelas AKBP Widi Atmoko SIK. “Kapolres Batang juga menambahkan, Insyaallah tidak ada petugas Polri yang melakukan kekerasan. Fakta temuan kami, beberapa warga justru melempari petugas dengan lumpur,” tambah Kapolres Batang.

Arif Fiyanto, dari Greenpeace Indonesia kepada Mongabay Indonesia mengatakan, kegiatan-kegiatan PT. BPI yang merupakan konsorsium dari dua perusahaan Jepang, Itochu dan J-Power serta satu perusahaan nasional Adaro seperti perusakan perkebunan melati milik warga di Karanggeneng, upaya menghentikan dan menguruk sungai yang merupakan sumber irigasi lahan pertanian warga dan pengeboran tanah di lahan warga bukan saja merupakan aktivitas illegal tetapi juga kriminal. Aktivitas tersebut ilegal karena PT PBI belum mendapatkan ijin lingkungan dan dilakukan di lahan milik warga.

Pengaturan Kawasan Daerah Pantai Ujungnegoro dan Roban. Sumber: BLH Jawa Tengah. Klik untuk memperbesar peta
Pengaturan Kawasan Daerah Pantai Ujungnegoro dan Roban. Sumber: BLH Jawa Tengah. Klik untuk memperbesar peta

Ironisnya aktivitas ilegal dan kriminal ini mendapatkan dukungan dari Polri dan TNI. “Polri dan TNI menjadi seperti alat dan kaki tangan perusahaan, bukannya melindungi warga, tapi malah melakukan tindakan represif kepada warga,” kata Arif Fiyanto.

Arif juga menambahkan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa harus segera mengentikan aktivitas illegal, kriminal dan kejahatan lingkungan ini.

BLH Jawa Tengah Sudah Tolak PLTU Batang

Sebelumnya, rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terbesar Se-Asia Tenggara di Taman Wisata Alam Laut (Ujungnegoro-Roban) selain mendapat penolakan dari warga sekitar lokasi, hal ini juga mendapat rekomendasi penolakan dari Badan Lingkungan Hidup, Jawa Tengah.

Berdasarkan surat Nomor 660.1/BLH.II/0443 tentang penjelasan lokasi rencana pembangunan PLTU Batang, keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011 tanggal 19 September 2011 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional dan Perda Provinsi Jawa Tengah No. 6/2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029 serta Perda Kabupaten Batang Nomor 07 Tahun 2011 tentang RTRW abupaten Batang tahun 2011-2031.

Dalam dokumen tersebut juga dipaparkan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 peraturan zonasi Taman Wisata Alam Laut disusun dengan memperhatikan, pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam,melarang kegiatan selain wisata alam tanpa mengubah bentang alam, mendirikan bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan wisata alam dan ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain untuk menunjang kegiatan wisata alam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,