Lagi, Masyarakat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa

Penolakan atas rencana reklamasi kawasan Teluk Benoa, sebuah perairan strategis di selatan Bali, terus menguat. Gubernur Bali Made Mangku Pastika dituntut segera mencabut surat keputusannya bernomor 2138/02-C/HK/2012 yang memberikan izin dan hak pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa kepada sebuah perusahaan swasta PT. Tirta Wahana Bali International (PT. TWBI). Dalam SK yang diam-diam ditandatangani Gubernur Pastika pada 26 Desember 2012 itu, PT. TWBI diberikan hak pemanfaatan seluas 838 hektar dengan jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun.

PT. TWBI akan membangun sebuah kawasan wisata terpadu yang dilengkapi tempat ibadah untuk lima agama, taman budaya, taman rekreasi sekelas Disney Land, rumah sakit internasional, perguruan tinggi, perumahan marina yang masing-masing dilengkapi dermaga yacht pribadi, perumahan pinggir pantai, apartemen, hotel, areal komersial, hall multifungsi, dan lapangan golf.

“SK reklamasi Teluk Benoa yang dikeluarkan gubernur harus dicabut segera. Kami tegas menolak pengkaplingan dan perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat di Teluk Benoa,” tegas Suriadi Darmoko, koordinator aksi demonstrasi menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang digelar Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL) Bali di depan Kantor Gubernur Bali pada Rabu, 31 Juli 2013. KEKAL Bali terdiri atas unsur mahasiswa, aktivis, maupun seniman dari beberapa lembaga yakni Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hindu Indonesia (Unhi), Frontier Bali, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Denpasar, Bali Outbond Community, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali.

Dalam aksi yang juga diikuti sejumlah anak band seperti The Bullhead dan Superman is Dead itu, juga digelar aksi teatrikal yang menggambarkan lobi lobi investor dengan pemerintah yang berakhir dengan suap untuk melancarkan perizinan. Aksi teatrikal juga menggambarkan dua nelayan Teluk Benoa yang terusir dari kawasan mata pencahariannya.

KEKAL Bali menilai SK gubernur telah melabrak beberapa peraturan perundang-undangan. “SK dengan dasar feasibility study dari Universitas Udayana yang belum final, tidak mencantumkan Undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai dasar hokum. Di dalam SK juga disebutkan bahwa PT. TWBI wajib melaksanakan AMDAL (analisa mengenai dampak lingkungan). Lalu di mana AMDAL tersebut? AMDAL tidak pernah ada karena Badan Lingkungan Hidup Bali menyatakan tidak pernah menerima pengajuan dan membahas AMDAL PT. TWBI,” Suriadi menegaskan.

Suriadi yang juga Deputy Internal Walhi Bali menambahkan, SK Gubernur yang menggunakan Undang-Undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (WP3K) juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. “Seluruh pasal dalam UU itu yang berkaitan dengan hak pengusahaan perairan pesisir sudah dicabut,” ia mengingatkan.

SK Gubernur juga dinilai melanggar Pasal 93 Peraturan Presiden no. 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita, yang secara tegas menyatakan kawasan Teluk Benoa adalah kawasan konservasi. “Kami mendesak Gubernur Bali untuk segera minta maaf kepada rakyat Bali karena telah melakukan kebohongan publik atas keluarnya SK,” ujar Suriadi.

Gubernur Bali juga diingatkan untuk tetap konsisten dan melaksanakan surat edaran moratorium izin akomodasi pariwisata di Bali selatan yang diterbitkannya sendiri pada 2010. “Pada tahun 2010, berdasarkan penelitian Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Bali selatan sudah overload 9,800 kamar hotel. Hal ini bahkan sudah diperkuat dengan surat edaran moratorium pembangunan hotel di Bali selatan yang dibuat pak gubernur sendiri. Apakah pak gubernur lupa dengan kebijakannya sendiri?,” ujar Divisi Hukum Walhi Bali Adi Sumiarta dalam orasinya.

Adi juga mengingatkan bahwa Bali sudah terancam krisis air 27.6 miliar meter kubik. “Badan Lingkungan Hidup pun sudah menyatakan Bali akan mengalami krisis air bersih pada 2025. Lalu kenapa Gubernur mengeluarkan izin untuk Teluk Benoa?” Adi mempertanyakan.

Aksi berakhir damai meskipun tidak ada satupun perwakilan gubernur yang menemui demonstran. Namun dalam beberapa kali kesempatan, Pastika menegaskan tidak akan mencabut SK yang telah ditandatanganinya. “Semuanya sudah sesuai prosedur. Kenapa harus dicabut?” tegas Pastika beberapa waktu lalu.

Untuk meredam polemik berkepanjangan, Pastika berencana membuka ruang diskusi tentang reklamasi Teluk Benoa di kantornya pada Sabtu, 3 Agustus mendatang. “Saya minta semua pihak hadir di situ dan bicara. Masyarakat umum, akademisi, organisasi, Universitas Udayana, juga kita minta, dpr kita minta bicara. Saya mau dengar, apa sih keberatan mereka? Merusak lingkungan, di mananya? Melanggar hukum, di mananya?  Tolong  tunjukkan di mana salahnya?. Kalau ada yang salah, mari perbaiki. Saya terbuka kok. Tujuan saya baik. Ini untuk masa depan Bali,” tegas Pastika beberapa waktu lalu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,