Orangutan memang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain di atas pohon. Spesies ini juga dikenal sebagai jagonya bergelantungan dari satu dahan ke dahan lainnya. Namun hasil penelitian terkini dari para pakar di Kalimantan baru-baru ini menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan, dan menemukan bahwa primata besar ini kini semakin banyak menghabiskan waktu di tanah selain di atas pohon. Hasil penelitian ini, telah diterbitkan di American Journal of Primatology melihat bahwa kini orangutan semakin umum bagi orangutan untuk mencari makan atau untuk berpindah lewat tanah. Perubahan perilaku ini memberikan pengaruh dalam upaya konservasi orangutan yang dilakukan saat ini.
Sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Brent Loken dari Simon Fraser University dan Dr. Stephanie Spehar dari University of Wisconsin Oshkosh ke Hutan Wehea di Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur dilakukan untuk mempelajari perubahan pola perilaku orangutan di dalam hutan yang masih memiliki kekayaan hayati dan keragaman jenis primata ini. Termasuk jenis yang paling jarang dipelajari, yaitu Pongo pygmaeus morio.
“Orangutan sulit dipahami dan salah satu alasan mengapa merekam aktivitas mereka di tanah jarang berhasil, karena seringkali kehadiran para peneliti di lapangan membatasi kebiasaan ini,” ungkap Brent Loken. “Namun, dengan penggunaan kamera tersembunyi kami bisa meneliti pola perilaku orangutan di atas tanah dengan lebih alami.”
Tim ini menempatkan kamera tersembunyi di atas tanah di area seluas 38 kilometer persegi di kawasan hutan ini dan berhasil menangkap beberapa bukti bahwa orangutan secara reguler turun dari pohon. Bahkan waktu yang dihabiskan oleh orangutan di atas tanah bisa disandingkan dengan monyet ekor babi (Macaca nemestrina) yang memang menghabiskan sebagian besar waktunya di atas tanah. Selama 8 bulan penelitian, orangutan berhasil terekam 110 kali, sementara monyet ekor babi terekam 113 kali.
Alasan mengapa orangutan turun ke tanah hingga kini masih menjadi misteri. Di satu sisi, tiadanya predator besar membuat orangutan merasa lebih aman untuk berjalan di permukaan tanah, sementara di sisi lain hilangnya habitat dan pepohonan yang menjadi area bermain memberikan pengaruh terhadap kebiasaan ini.
“Kalimantan adalah jaringan bagi perkebunan kayu, kawasan agroforestri dan pertambangan, yang memakan hutan alami,” ungkap Loken. “Perubahan bentang alam ini mungkin memaksa orangutan untuk mengubah kebiasaan di habitat mereka dan pola perilaku mereka.”
Penelitian ini membantu dalam mengungkapkan bagaimana orangutan bisa beradaptasi terhadap perubahan bentang alam di sekitar mereka; namun bagaimanapun, tidak diharapkan bahwa orangutan akan melakukan perpindahan teritori dengan berjalan kaki di atas tanah jika habitat mereka telah dirusak. Sub-spesies morio mungkin saja bisa beradaptasi dalam hidup mereka untuk hidup di hutan yang rusak, dalam kehidupan mereka sebelumnya juga sudah mengalami evolusi dengan dagu yang lebih besar yang membuat mereka bisa mengonsumsi kulit pohon dibanding buah-buahan, namun mereka masih sangat tergantung pada hutan alami untuk keberlanjutan mereka dalam jangka panjang di masa mendatang.
“Kendati kita melihat bahwa orangutan bisa lebih fleksibel dalam pola perilaku mereka dibanding kita perkirakan sebelumnya, dan beberapa populasi orangutan sudah secara reguler turun ke tanah untuk berpindah, mereka masih membutuhkan hutan untuk bertahan hidup,” ungkap Dr. Spehar. “Bahkan di hutan tanaman industri sekalipun, mereka masih bergantung pada hutan alami untuk sumber pangan mereka dan bersarang.”
Hutan Lindung Wehea adalah salah satu lokasi di Kalimantan dimana sepuluh spesies primata, termasuk lima spesies endemik yang hanya ada di Kalimantan, bisa dijumpai. Saat ini pihak pemerintahan desa tengah melakukan upaya untuk mengubah status hutan Wehea dari Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung. Namun dari data yang ada ditemukan bahwa sekitar 78% orangutan Kalimantan hidup diluar kawasan lindung, maka menjadi sangat signifikan untuk juga melindungi hutan alam yang tersisa.
“Kita tidak tahu akan butuh berapa lama untuk melakukan hal ini, namun melindungi hutan Wehea dan hutan yang tersisa di Kalimantan sangat vital bagi keberadaan orangutan dalam jangka panjang,” ungkap Loken dalam kesimpulannya. “Untungnya saat ini sekitar 60% wilayah hutan Wehea masuk dalam wilayah moratorium kehutanan pemerintah, dimana hal ini akan memberikan perlindungan hukum di sebagian besar kawasan hutan ini untuk jangka pendek.”
CITATION: Brent Loken, Stephanie Spehar, Yaya Rayadin. Terrestriality in the bornean orangutan (Pongo pygmaeus morio) and implications for their ecology and conservation. American Journal of Primatology, 2013; DOI: 10.1002/ajp.22174