Kabar tentang pengembangan kebun sawit oleh perusahaan-perusahaan skala besar yang bermasalah di Indonesia, dari membuka kawasan hutan sampai berkonflik dengan masyarakat, bukan berita baru. Ini ada kabar baru tentang sawit: perwakilan petani sawit swadaya memperoleh sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pertama di Indonesia. Mereka adalah para petani dari Kecamatan Akui, Kabupaten Palalawan, Riau, yang tergabung dalam Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah.
Asosiasi ini berbadan hukum beranggotakan 349 petani swadaya dengan luas kebun 763 hektar dibentuk WWF-Indonesia, dengan bantuan Carrefour Foundation. Ia didaftarkan ke RSPO dalam mekanisme sertifikasi –kelompok dan memperoleh sertifikasi 29 Juli 2013. Anggota asosiasi ini memiliki lahan di luar Taman Nasional Tesso Nilo.
Sunarno, Manajer Grup Asosiasi Amanah mengatakan, awal mula mendapatkan pengenalan tentang RSPO rasanya begitu memberatkan petani. “Lalu ada pelatihan. Kami pun sangat pahami pentingnya RSPO ini. Kami mulai Maret 2012,” katanya di Jakarta, dalam jumpa pers, Kamis (1/8/13).
Dia mengatakan, kendala paling sulit dalam proses sertifikasi adalah kebersamaan. “Hal paling sulit itu kebersamaan dengan petani. Modal kebersaaam ini yang harus dipertahankan.”
Dengan beroperasi sesuai standar RSPO ini, mereka merasakan peningkatan produksi, perbaikan kuantitas dan kualitas serta bisa menekan biaya produksi. Contoh, dana untuk herbisida sebelum RSPO Rp900 ribu, setelah RSPO menjadi Rp400 ribu per hektar per tahun. Produksi mereka pun meningkat, sebelum RSPO, berkisar 16 ton, setelah RSPO menjadi 21 ton per hektar per tahun.
Mengapa bisa begitu? Dengan standar ini, mereka melakukan analisa daun yang memunculkan kebutuhan pupuk. “Jadi, pupuk dilakukan tepat aktu, tepat guna, tepat tempat dan tepat dosis,” ucap Sunarno.
Dalam mengelola sawit ini, mereka tak akan menambah luas kebun, apalagi sampai masuk kawasan hutan. “Kita tak akan cari berapa luas hektar, dicari peningkatan produksi.”
Riau, produsen terbesar sawit di Indonesia. Data Kementerian Pertanian 2011, produksi sawit di Riau, 5,7 juta ton. Dari 2,1 juta hektar perkebunan di Riau, 1,1 juta hektar dimiliki petani swadaya, baik plasma maupun petani swadaya.
Hasil survei lapangan WWF memperlihatkan, kawasan hutan, baik lindung maupun konsesi tidak aktif menjadi sasaran utama perluasan kebun sawit. Dari sekitar 83.000 hektar Taman Nasional Tesso Nilo, sekitar 30.000 hektar dirambah menjadi kebun sawit. Untuk itu, petani swadaya bersertifikasi berkelanjutan terus diupayakan.
Irwan Gunawan, Deputy Director Market Transformation Initiative, WWF-Indonesia mengatakan, sertifikat ini membuktikan petani swadaya mampu memenuhi standar kelestarian. Untuk program ini, WWF, sudah bekerja di Riau sejak dua tahun lalu dengan mengidentifikasi beberapa lokasi di beberapa kabupaten. “Hasil identifikasi itu kelompok H Sunarno yang paling potensial. Kami anggap ini kehormatan, bagi Asosiasi Amanah jadi petani swadaya pertama yang dapat RSPO,” ujar dia.
Asosiasi Amanah, nyaris menjadi petani swadaya pertama yang mendapatkan RSPO. Namun, sudah keduluan petani swadaya dari Thailand, lulus sertifikasi Oktober 2012. “Jadi kedua di dunia.”
Harapan terbesar, katanya, asosiasi ini menjadi model yang bisa direplikasikan di wilayah lain di Indonesia. Mengingat sekitar 45 persen di kebun sawit Indonesia milik para petani baik plasma dan swadaya. Dari 40 persen itu 76 persen petani swadaya.
“Memang, belum ada data statistik yang tepat mengenai luasan kebun sawit petani swadaya ini. Baru perkiraan. Jika total kebun sawit resmi 9,7 juta hektar, 40 persen, 4 juta hektar. Antara 2,8 juta hektar itu swadaya.
WWF menargetkan, minimal 50 persen produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Indonesia memperoleh sertifikasi berkelanjutan. Data per Juni 2013, certificate sustainable palm oil (CSPO), Indonesia, baru sekitar 716 ribu ton. “Ini belum sampai 10 persen dari ekspor Indonesia. Data terakhir ekspor 18 juta ton.”
WWF menilai, petani swadaya banyak mengalami hambatan dan kendala dalam mengelola kebun sawit, antara lain finansial dan infrstruktur. WWF pun berharap, pemerintah dan pemangku kepentigan lain menempatkan petani swadaya jadi prioritas, baik akses kredit, teknis praktis agriculture maupuan pemasaran. Selama ini, petani swadaya memiliki posisi tawar rendah.
Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia mengatakan, sejak tahun lalu RSPO mengembangkan pendanaan dan sertifikasi khusus untuk petani swadaya. Ke depan, diperkirakan petani swadaya makin besar hingga sangat penting menerapkan perkebunan baik dan berkelanjutan.
Lembaga ini akan memberikan RM5,7 juta atau Rp17,1 miliar bagi petani sawit swadaya di seluruh dunia. RSPO menargetkan, tahun ini, petani sawit swadaya di Riau, Sumatra Selatan (Sumsel) dan Jambi, mendapatkan sertifikasi.