Guna mendorong implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengakuan hutan adat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyiapkan usulan kebijakan transisional kepada pemerintah.
Isi draf yang disiapkan AMAN itu antara lain, soal pemetaan wilayah adat. Intinya, agar seluruh kantor pertanahan, kehutanan, pemerintah provinsi, kabupaten dan kementerian terkait masyarakat adat membantu pemetaan.
“Supaya putusan MK menjadi agenda pemerintah. Sekarang ini kan belum. Kita minta ada peraturan Presiden atau instruksi Presiden yang memerintahkan semua institusi pemerintah melakukan hal itu,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN saat perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia di Jakarta, Senin (19/8/13).
Ahmad Sodiki, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan, ada sinyalemen putusan MK tidak terakomodir. Menurut dia, seharusnya pemerintah mengeluarkan peraturan baru. Jika masih memakai kriteria lama yang sudah dibatalkan MK, tak akan jalan. “Saya harapkan masyarakat adat makin eksis. Hak-hak terjamin. Jika mengingkari itu, berarti mengingkari konstitusi.”
Rukka Sombolinggi, Staf Ahli AMAN menambahkan, dengan putusan MK yang mengakui keberadaan hutan adat, Indonesia bisa menjadi contoh baik bagi upaya pengakuan hak-hak masyarakat adat.
“Namun Putusan MK saja tidak cukup. Saat ini, pemerintah bingung menentukan apa yang harus dilakukan setelah putusan MK soal hutan adat. Ada surat edaran dari menteri tapi tidak dibarengi petunjuk teknis. Maka, kita mau Presiden segera mengeluarkan inpres untuk mengimplementasikan putusan MK,” ujar dia.
Rukka mengatakan, isi inpres nanti mesti mengakomodir pemetaan tata batas antara hutan adat dan hutan negara. Pemetaan wilayah adat penting agar meminimalisir konflik di lapangan. “Pemerintah seharusnya bisa sesegera mungkin melakukan hal ini.”
Dia mengatakan, AMAN sudah pemetaan wilayah adat sejak bertahun-tahun lalu tetapi lambat. “Itu hanya semacam gerakan. Kalau pemerintah memberikan instuksi pemetaan hutan adat, itu akan berjalan cepat. Seluruh instansi terkait masyarakat adat bisa ikut. Jika ini dilakukan, paling setahun selesai,” kata Rukka.
Selain itu, rancangan Undang-undang masyarakat adat juga harus segera disahkan. Saat ini, draf RUU sudah masuk pansus. Ada empat kementerian ditunjuk Presiden membidani UU ini, yakni Kemeterian ESDM, Kehutanan, Dalam Negeri dan Kemenkum dan HAM.
“Mestinya tahun ini sudah selesai. Kalau tidak, akan jadi masalah krusial. Ini untuk memastikan hak-hak masyarakat adat terpenuhi. Sampai sekarang belum ada UU mengatur operasional yang menjamin hak masyarakat adat. Jika RUU disahkan posisi Indonesia akan makin strategis saat berbicara di konferensi internasional nanti,” kata Rukka.

PBB menyelenggarakan konferensi internasinal masyarakat adat pertama kali pada 23-24 September 2014 di New York. Konferensi ini untuk melihat sejauh mana implementasi hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia terpenuhi. “Jadi nanti yang akan dibicarakan adalah aksi-aksi apa saja yang akan dilakukan. Bukan lagi berbicara soal dasar-dasar prinsip hak masyarakat karena sudah ada dalam instrumen HAM internasional. Indonesia sudah meratifikasi hal ini.”
Sebelum konferensi internasional itu, PBB akan berkonsultasi memperkenalkan sekaligus mempersiapkan poin-poin yang akan dibahas. Serangkaian konsultasi itu akan selesai Juni tahun depan.
“Posisi tradisional pemerintah Indonesia kan selalu bilang bahwa mereka mendukung hak-hak Indigenous people’s tapi di Indonesia tidak ada indigenous people. Yang ada masyarakat adat. Maka, kelihatan ada perbedaan antara masyarakat adat dengan pemerintah.” Di Indonesia, masyarakat adat mengaku mereka indigenous people, tapi pemerintah bilang bukan. “Itu bisa jadi alasan bagi pemerintah lepas tangan dari pemenuhan hak-hak masyarakat adat.”
Padahal, yurisprudensi ada di putusan MK tentang UU Kehutanan. Dalam putusan MK, menggunakan referensi dokumen-dokumen HAM tentang perjanjian-perjanjian dunia terkait indigenous people. “Itu sudah jelas menunjukkan MK mendefisikan indigenous people sebagai masyarakat adat.”
Menurut dia, yang menjadi ketakutan berlebihan pemerintah Indonesia soal Papua. “Pemerintah selalu bilang pokoknya Papua itu bagian dari Indonesia. Tapi upaya memastikan masyarakat adat merasa merdeka dalam negara Indonesia itu, tak ada. Kita harus mengurangi kesenjangan. Papua merasa tidak merdeka setelah Indonesia merdeka. Jadi pemerintah harus melakukan banyak upaya memastikan masyarakat adat Papua merasa merdeka,” kata Rukka.
